AFPC 2025 Digelar di Jakarta, jadi Tempat Masyarakat ASEAN Saling Berdialog
Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) akan mengadakan ASEAN for the Peoples Conference (AFPC), yang akan berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, pada 4-5 Oktober 2025. Acara ini berupaya mewujudkan visi agenda masyarakat sebagai prioritas utama di ASEAN, dengan
AFPC merupakan forum untuk organisasi masyarakat sipil se-ASEAN saling berdialog terkait tantangan-tantangan mendesak termasuk perubahan iklim, tata kelola pemerintahan yang baik, keamanan digital, migrasi, perdamaian, pendidikan, kesehatan, hingga kualitas hidup. Konferensi ini mengusung tema ‘Hanessing Southest Asia’s Greatest Resource’.
Pendiri FPCI, Dino Patti Djalal menyoroti selama beberapa dekade awal, ASEAN cenderung berkembang sebagai kelompok tingkat atas yang diisi pemerintah dan pejabat, dan cenderung tidak melibatkan masyarakat.
“Pada tahun 2015, dan ini tercermin dalam Deklarasi Kuala Lumpur, ASEAN membuat keputusan yang sangat strategis tentang arah kawasan dan tentang dirinya sendiri,” kata Dino di Auditorium Prof. Dr. Hasjim Djalal, FPCI Secretariat, Jakarta, Selasa (30/9).
Meski demikian, di masa depan, ASEAN akan menjadi komunitas yang berpusat kepada masyarakatnya. Menurut Dino, cara pandang ini akan mengubah ASEAN di masa depan.
"Hal ini mengubah struktur ASEAN. Hal ini mengubah arah ASEAN, dan membentuk cara ASEAN akan tumbuh dalam dekade berikutnya,” kata Wakil Menteri Luar Negeri periode 2014 itu.
Namun, Dino mengatakan, membangun hubungan antar masyarakat tidak mudah. Ia mencontohkan, persebaran mahasiswa ASEAN di Indonesia masih sedikit, begitu pula sebaliknya.
“Di beberapa negara ASEAN, situasinya kurang lebih sama, mungkin kecuali di Singapura. Setahu saya, Malaysia punya banyak mahasiswa Indonesia, tapi tidak banyak mahasiswa Filipina,” kata dia.
Ia juga menyinggung sektor perdagangan karena dari 38 provinsi di Indonesia, kurang dari 12 provinsi yang berdagang secara signifikan dengan negara-negara ASEAN. Kondisi serupa tergambar dari organisasi masyarakat sipil yang tidak saling berkomunikasi di tingkat ASEAN.
“Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja lalu terwujud dengan sendirinya. Hal ini harus direkayasa, harus dipromosikan, didorong, dan diberi insentif,” kata Dino.
Gambaran inilah yang kemudian menjadi latar belakang diselenggarakannya AFPC. Karena menjadi wadah pertemuan antar-masyarakat dengan skala besar. Sejauh ini, tercatat 5.000 orang sudah terdaftar. Ia menargetkan 8.000 orang akan berganung dalam konferensi ini.
Dino mengatakan, hal lain yang menjadikan AFPC berbeda karena pendekatannya. Sebelumnya, ada pertemuan antar-masyatakat di ASEAN, namun berfokus pada isu-isu spesifik seperti HAM dan pekerja migran.
Dia menjelaskan, pendekatan dalam acara tersebut terkadang konfrontatif sehingga menciptakan jurang pemisah dengan pemerintah. Apalagi sistem politik negara-negara ASEAN sangat berbeda.
“Oleh karena itu, menurut saya, AFPC memiliki arti penting secara historis. Ini pertama kalinya pertemuan tingkat tinggi antar-masyarakat diselenggarakan dalam skala sebesar ini,” kata Dino.
Dari segi pembahasannya, ia menyebut cakupannya luas, di antaranya pendidikan, kecerdasan buatan (AI), toleransi beragama, Keberlanjutan, pekerjaan, seni dan budaya, kesehatan, hingga kepemudaan.
“Ada sekitar 20 isu yang telah kami identifikasi relevan bagi masyarakat ASEAN. Beberapa isu penting bagi pemerintah,” katanya.
