Rekam Jejak Gus Dur, Pejuang Pluralisme yang Diberikan Gelar Pahlawan Nasional
Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan nama 10 pahlawan nasional. Salah satunya adalah Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur.
Penyerahan gelar kepada Gus Dur diberikan Prabowo dalam prosesi upacara yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11). Dalam acara tersebut, hadir istri Gus Dur Shinta Nuriyah serta putri sulungnya, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid.
"K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh bangsa yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme di Indonesia," demikian penjelasan pembawa acara dalam upacara tersebut.
Profil Gus Dur
Dilansir dari berbagai sumber Gus Dur lahir pada 4 September 1940 di Jombang, Jawa Timur. Kakeknya adalah K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng. Sedangkan ayahnya adalah K.H. Abdul Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama Indonesia.
Menyusul jejak keluarga, ia belajar agama secara mendalam di pesantren tersebut. Selama beberapa tahun kemudian, Gus Dur berpindah tempat ke Surabaya hingga Jakarta mengikuti pekerjaan ayahnya. Ia juga menimba ilmu di beberapa pesantren di Yogyakarta serta Magelang.
Tahun 1963, Gus Dur memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir usai mendapatkan beasiswa Kemenag. Dia lalu pindah ke Universitas Baghdad di Irak dan lulus pada 1970.
Usai lulus, ia sempat berkeinginan untuk melanjutkan studi ke Belanda hingga Kanada, namun urung terlaksana. Gus Dur lalu kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Lembaga tersebut lalu mendirikan majalah Prisma dan Gus Dur aktif menjadi salah satu kontributor. Dia juga aktif mengajar di Pesantren Tambakberas serta Universitas Hasyim Asy'ari untuk mengajar pengamalan Islam.
Gus Dur juga mulai aktif di Nahdlatul Ulama (NU) setelah diminta kakeknya dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri. Pada tahun 1984, ia terpilih menjadi Ketua Umum NU.
Selama masa tersebut, Gus Dur tidak hanya sebagai ulama, tetapi juga sebagai aktivis yang vokal dalam memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.
Pada masa-masa awal Gus Dur memimpin NU, pemerintahan Presiden Soeharto memberikan dukungan. Meski demikian, memasuki tahun 1990-an, Gus Dur kerap mengkritik pemerintahan Orde Baru.
Seiring tumbangnya Orde Baru, pada tahun 1999, Gus Dur mencalonkan diri sebagai calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski gagal dalam pencalonan pertama, popularitasnya terus meningkat.
Pada tahun 2000, Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan B.J. Habibie. Meski masa jabatannya singkat, pemerintahan Gus Dur disebut berusaha memperkuat demokrasi dan keberagaman bangsa Indonesia yang baru saja melewati masa reformasi.
Salah satu hal yang dilakukan Gus Dur adalah mengumumkan Tahun Baru Imlek menjadi hari libur nasional. Gus Dur juga kerap mengunjungi negara-negara lain untuk meyakinkan masyarakat internasional atas situasi Indonesia.
Masa pemerintahannya Gus Dur dipenuhi konflik politik dan tekanan dari berbagai pihak. Pada 2001, melalui mekanisme politik, Gus Dur diberhentikan dari jabatannya.
Setelah lengser, Gus Dur kerap mengisi kegiatan hingga ceramah di berbagai tempat. Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009, setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
