Pengusaha Sawit Minta Kejelasan Mengenai Moratorium Lahan Sawit
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta agar aturan Instruksi Presiden mengenai moratorium lahan sawit memiliki kejelasan bagi iklim usaha. Pasalnya, moratorium akan meminta perusahaan perkebunan inti menyisihkan 20% dari luas konsesi Hak Guna Usaha (HGU) mereka untuk petani rakyat.
Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gapki Eddy Martono menyatakan ketidakjelasan penggunaan lahan dinilai bisa mengganggu iklim investasi dan perhitungan bisnis perusahaan. Terlebih untuk syarat kewajiban penggunaan 20% lahan antar kementerian berbeda-beda.
Seperti pada Kementerian Pertanian yang akan mengatur kewajiban 20% penggunaan lahan untuk petani plasma, di luar penggunaan lahan perkebunan. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru meminta 20% penggunaan lahan diambil dari hak lahan hasil pelepasan hutan. Lain lagi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang meminta 20% diambil dari Hak Guna Usaha.
Dengan adanya syarat yang berbeda di setiap kementerian menjadikan pengusaha kebingungan ketika hendak mengikuti aturan yang dipersyaratkan. Sehingga, produktivitas perusahaan pun menjadi terganggu. “Bagaimana untuk anggota Gapki yang sudah menjadi perusahaan publik ? Ada aset valuasi yang mesti diperhitungkan,” jelas Eddy di Jakarta, Selasa (30/1).
Dia mengklim bahwa mayoritas anggota Gapki telah mengikuti aturan Kementerian Pertanian yang telah berjalan sejak 2007. Dia pun menekankan bahwa pengusaha sawit sudah melakukan skema petani plasma sejak lama.
Namun, dengan adanya perubahan peraturan yang kerap tumpang tindih pada setiap kementerian dinilai bakal membuat pengusaha kehabisan waktu dalam mengurus dan memenuhi aturan, bukannya fokus pada peningkatan produktifitas dan ekspor. “Karenanya kebijakan moratorium ini akan terus monitor,” tutur Eddy.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya beberapa waktu lalu pernah menjelaskan 20% penggunaan lahan harus diberikan kepada masyarakat ketika pengusaha mendapat hak pelepasan hutan. Namun, pihak kementerian tetap bisa melakukan evaluasi untuk mengambil kembali lahan yang berada di atas tanah gambut.
“Undang-undang memberikan kewenangan untuk melakukan langkah bagi aspek kehutanan, sambil menyelaraskan peraturan agar tidak bertabrakan," ungkapnya.