Cek Data: Sukatani Diintimidasi, Bagaimana Kebebasan Berkesenian di Indonesia?

Muhammad Almer Sidqi
12 Maret 2025, 08:52
Cek Data: Sukatani Diintimidasi, Bagaimana Kebebasan Berkesenian di Indonesia?
ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/nz
Vokalis Sukatani band Novi Chitra Indriyati menyanyikan lagu hitnya saat tampil pada konser Crowd Noise di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (23/2/2025) malam. Sukatani band yang berasal dari Purbalingga tersebut menyanyikan sebanyak enam lagu.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Band Sukatani akhirnya angkat bicara. Melalui unggahan di Instagram resminya @sukatani.band, mereka membenarkan telah terjadi intimidasi dari pihak kepolisian karena lagu “Bayar Bayar Bayar.” Lagu berdurasi tak lebih dari empat menit itu memotret tingkah-polah oknum polisi yang kerap melakukan pungutan liar. 

“Tekanan dan intimidasi dari kepolisian terus kami dapatkan, hingga akhirnya video klarifikasi atas lagu yang berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’ kami unggah melalui media sosial,” tulis Sukatani pada 1 Maret lalu. 

Sukatani yang merupakan band bergenre punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, mendadak viral karena tiba-tiba membuat video permintaan maaf kepada kepolisian melalui akun Instagram mereka pada 20 Februari. Mereka bahkan menarik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari berbagai platform mendengarkan musik, seperti YouTube dan Spotify

Karena video permintaan maaf ke polisi tersebut, Sukatani dan lagu “Bayar Bayar Bayar” justru kian populer. Lagu itu telah diputar hingga jutaan kali di berbagai platform media sosial. 

Kontroversi

Band Sukatani menjadi individu atau kelompok seni ketiga yang mengalami represi di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 

Sebelumnya, pementasan teater berjudul “Wawancara dengan Mulyono” yang disiapkan kelompok Teater Payung Hitam pada 15-16 Februari 2025 di Bandung, Jawa Barat, juga batal berlangsung. Pihak Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung menggembok studio teater yang tadinya disiapkan sebagai tempat pertunjukan tersebut.

Pendiri Teater Payung Hitam, Rachmat Sabur, menilai tindakan ISBI Bandung tak lain adalah bentuk pembungkaman. “Tapi kami tidak mati. Tidak pernah mati. Teater tidak pernah mati!” katanya lewat siaran pers pada 3 Maret lalu. 

Pada akhir 2024, Galeri Nasional Indonesia membatalkan pameran tunggal Yos Suprapto, perupa asal Yogyakarta. Lima lukisan Yos dituduh bermuatan politik karena menggambarkan raja Jawa mirip Jokowi, Presiden Indonesia ke-7.

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pun angkat bicara mengenai berbagai sensor seni yang terjadi belakangan. DKJ mendorong pemerintah dan semua pihak menghormati dan melindungi hak-hak seniman berkarya, serta memastikan ruang-ruang ekspresi seni tetap terbuka dan bebas dari intervensi.

“Negara harus menjamin kebebasan berekspresi agar tidak ada pembungkaman karya-karya seni,” tulis DKJ dalam siaran resminya pada 20 Februari. 

Faktanya

Pelanggaran atas kebebasan berkesenian di Indonesia mengalami tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data yang dikumpulkan Koalisi Seni, organisasi advokasi kebijakan seni di Indonesia, menunjukkan adanya lonjakan kasus yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Jumlah kasus represi seni mengalami fluktuasi hingga 2020, dengan angka yang relatif rendah, berkisar antara 1 hingga 17 kasus per tahun. Namun, sejak 2021, terjadi lonjakan signifikan dengan 53 kasus. Puncaknya terjadi pada 2024 dengan 60 kasus. 

Data itu dihimpun Koalisi Seni melalui platform pencatatan terbuka mereka pada situs koalisiseni.or.id. Total 300 kasus yang dicatat Koalisi Seni tidak hanya mencakup represi seni secara langsung, tetapi juga berbagai pelanggaran hak lainnya yang berdampak pada kebebasan berkesenian, seperti kekerasan seksual, pelanggaran hak ekonomi, hingga pembatasan hak berpindah tempat. 

“Meski begitu, semuanya tetap berkaitan dengan represi, karena negara bisa merepresi melalui berbagai cara, termasuk penghalangan hak ekonomi,” ujar Koalisi Seni dalam keterangan tertulisnya kepada Katadata.co.id, Selasa, 4 Maret.

Selain itu, Koalisi Seni juga mencatat ada banyak kasus yang memiliki dampak lintas wilayah atau berskala nasional, sehingga masuk dalam lebih dari satu kategori lokasi. “Hal ini menyebabkan jumlah berdasarkan wilayah bisa lebih besar dibandingkan total kasus yang dicatat,” tulisnya.

Adapun menurut bidangnya, musik mengalami represi tertinggi, mencapai 37,86%. Bidang seni tari berada di posisi kedua dengan 19,94%, diikuti oleh film 14,16%. Sastra menjadi bidang seni dengan tingkat represi terendah, yakni 4,34%. 

Data di atas mengindikasikan represi terhadap kebebasan berkesenian cenderung lebih dominan dalam bidang seni pertunjukan, terutama musik dan tari. Jika digabung dengan teater, represi di bidang seni pertunjukan mencapai 68,49%.

Polisi menempati posisi tertinggi sebagai pelaku represi seni dengan 154 kasus, jauh melampaui kategori lainnya. Pejabat pemerintah lokal berada di urutan kedua (57 kasus), diikuti oleh organisasi masyarakat (50 kasus). Fakta ini menunjukkan bahwa institusi negara dan kelompok tertentu memiliki peran besar dalam tindakan represif terhadap kegiatan kesenian.

Selain itu, individu atau kelompok berpengaruh di komunitas (11 kasus) dan tempat kerja (9 kasus) juga terlibat, mengindikasikan adanya tekanan sosial terhadap kebebasan berekspresi. 

Represi terhadap kebebasan berkesenian ternyata bukan hanya terjadi karena kebijakan negara, tetapi juga dipengaruhi oleh tekanan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk di lingkungan pendidikan. Pelaku yang berasal dari kategori administrator sekolah, misalnya, tercatat 10 kasus.

Korbannya ternyata tak melulu seniman. Nonseniman juga mengalami represi dalam jumlah yang cukup besar, yaitu 155 kasus atau sekitar 38,3%.

Represi seni, dengan kata lain, tidak hanya berdampak pada para pelaku seni, tetapi juga meluas ke masyarakat umum. Nonseniman yang menjadi korban boleh jadi adalah penyelenggara acara, aktivis, atau individu lain yang terlibat dalam ekosistem seni dan budaya.

Menbud: Seni Harus Ada Batasnya

Meski mengaku mendukung kebebasan seni, Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon memandang seni harus memiliki batasan tertentu. Batasan itu antara lain tidak menyinggung suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) serta institusi.

“Kalau mengkritik pelaku atau oknum saya kira nggak ada masalah. Tapi kalau itu bisa membawa institusinya kemudian terkena dampak, ini yang mungkin bisa jadi masalah,” kata Fadli pada 21 Februari.

Menurut Fadli, mengkritik institusi akan mengandung masalah karena ada kecenderungan memukul rata. “Misalnya kalau wartawan, pers, dipukul rata seperti itu, saya kira teman-teman pers juga akan protes. Tidak semua pers seperti itu,” kata dia. 

Adapun pameran Yos, menurut Fadli, dibatalkan atas inisiasi kurator, bukan pemerintah. “Beberapa lukisan itu, menurut kurator tidak tepat dengan tema. Ada yang motifnya politik, bahkan mungkin makian terhadap seseorang. Kemudian juga ada yang telanjang, itu tidak pantas,” katanya. 

Yos, di sisi lain, mengatakan karya-karyanya dibuat berdasarkan hasil riset ilmiah yang kemudian dituangkan menjadi karya seni. Riset Yos itu, seperti dikutip dari Antara, menyoroti isu kerusakan tanah dan pentingnya metode pertanian berkelanjutan.

Referensi:

Antaranews. 2024. Alasan Pameran Lukisan Yos Supraptop Batal Digelar Galnas (diakses 11 Maret 2025)

DKJ. 2025. Pernyataan Dewan Kesenian Jakarta Menanggapi Sensor Pemerintah terhadap Karya Seni (diakses 7 Maret 2025)

Koalisi Seni. 2025. Database Kebebasan Berkesenian (diakses 7 Maret 2025)

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...