Investasi ke Startup Indonesia Anjlok 87%, Minat Investor Menurun?
Investasi ke startup Indonesia anjlok 87% secara tahunan atau year on year (yoy) dari US$ 3,3 miliar menjadi hanya US$ 400 juta atau sekitar Rp 6,3 triliun selama Semester I. Apakah minat investor menurun?
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy SEA 2023’, penurunan investasi ke startup tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga lima negara lainnya di Asia Tenggara.
Investasi ke startup di Asia Tenggara anjlok 69,2% yoy dari US$ 13 miliar menjadi US$ 4 miliar selama Semester I. Penurunan nilai investasi di masing-masing negara di Asia Tenggara sebagai berikut:
- Filipina turun 79% dari US$ 800 juta menjadi US$ 200 juta
- Thailand turun 66% dari US$ 300 juta menjadi US$ 100 juta
- Indonesia turun 87% dari US$ 3,3 miliar menjadi US$ 400 juta
- Malaysia turun 52% dari US$ 500 juta menjadi US$ 200 juta
- Singapura turun 63% dari US$ 7,5 miliar menjadi US$ 2,8 miliar
- Vietnam turun 24% dari US$ 700 juta menjadi US$ 600 juta
Sementara itu, rincian jumlah kesepakatan investasi ke startup sebagai berikut:
- Filipina turun dari 68 menjadi 23
- Thailand turun dari 42 menjadi 24
- Indonesia turun dari 301 menjadi 100
- Malaysia turun dari 77 menjadi 47
- Singapura turun dari 572 menjadi 318
- Vietnam turun dari 148 menjadi 48
Dari data tersebut terlihat bahwa nilai investasi ke startup Indonesia merupakan yang anjlok. Hal ini membuat peringkat Indonesia turun di bawah Vietnam dan Singapura.
Minat Investor ke Startup Indonesia Menurun?
Google, Temasek, dan Bain and Company mengungkapkan alasan penurunan investasi ke startup Asia Tenggara meski dry powder atau dana yang tersedia meningkat pada 2022. Alasan yang dimaksud yakni:
- Investor semakin terdesak untuk merealisasikan dana keluar atau berinvestasi, memberikan imbal hasil, dan mendistribusikan modal
- Pemberian dana yang dimulai pada pertengahan 2010, kini berada pada tahap akhir panen. Hal ini memberikan tekanan kepada modal ventura untuk memberikan imbal hasil.
- Separuh investor hanya mampu memenuhi sebagian atau tidak mencapai target divestasi
- Merealisasikan imbal hasil dan mendistribusikan dana menjadi tantangan utama dalam penggalangan dana
- 87% investor merasa bahwa penggalangan dana menjadi lebih sulit
- 64% investor mengalami penurunan ketertarikan untuk berinvestasi
- 88% investor merasa mereka menghadapi tantangan penggalangan dana yang lebih sulit
“Exit tetap menjadi perhatian utama, karena investasi ke startup di Asia Tenggara dinilai menghasilkan pengembalian modal yang lebih sedikit dibandingkan wilayah lain,” kata Google, Temasek, dan Bain and Company dalam laporan, Kamis (2/11).
Exit yang dimaksud yakni pendekatan yang direncanakan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian. Caranya bisa melalui pencatatan saham perdana alias initial public offering (IPO), merger atau akuisisi.
Google, Temasek, dan Bain and Company menyampaikan, pendanaan ke startup Asia Tenggara anjlok ke level terendah dalam enam tahun karena biaya modal yang meningkat.
“Ketika para investor mengkalibrasi ulang ekspektasi mereka, para startup berupaya memperpanjang runway dengan membelanjakan dana secara lebih efisien. Ini supaya mereka tumbuh berkesinambungan,” ujar Google, Temasek, dan Bain and Company.
Dalam konteks startup, runway mengacu pada berapa lama perusahaan dapat bertahan di pasar, jika pendapatan dan pengeluaran konstan atau sebelum kehabisan uang.
Penurunan pendanaan ke startup Asia Tenggara juga mengindikasikan investor sulit mendapatkan imbal hasil dari investasi yang disalurkan.
Merujuk pada riset tersebut, Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menyampaikan bahwa berdasarkan pengetahuannya sebagai investor asal Indonesia, investasi pada 2010 hingga 2018 sudah banyak yang menghasilkan imbal hasil.
Oleh karena itu, menurutnya alasan investasi ke startup Indonesia menurun yakni:
1. Kondisi makro ekonomi yang membuat pasar atau investasi terkoreksi. Kapitalisasi dari laporan startup menjadi stagnan bahkan cenderung turun.
2. Tekanan situasi geopolitik dan kenaikan suku bunga yang masih berlanjut
“Tekanan kondisi pasar tentu berpengaruh kepada investasi startup di fase growth stage,” kata Edward kepada Katadata.co.id, Kamis (2/11). “Namun, seharusnya tidak sebesar pengaruhnya ke startup fase early stage.”
3. Animo investor berkurang untuk mendanai ‘follow on’ investasi ke startup, sehingga para modal ventura sulit mendapatkan likuiditas
“Akibatnya, laporan kepada para investor menjadi kurang memadai untuk meyakinkan investasi berikutnya dari para limited partners,” Edward menambahkan.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia alias Amvesindo Eddi Danusaputro menjelaskan, biasanya para investor mulai menarik imbal hasil lewat strategi exit pada tahun kelima sampai kedelapan sejak investasi.
“Sebab, uang investor harus dikembalikan,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, Kamis (2/11).
Selain itu, iklim investasi dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi dan suku bunga tinggi.
Menurut dia, penurunan investasi juga bukan hanya karena faktor investor. “Jika startup sudah menggalang dana pada 2022, mungkin tidak urgen mencari pendanaan tahun ini,” katanya.