Startup Indonesia Lolos Lomba AI – IoT di Singapura, Buatan Alumni UI dan Binus
Tiga startup Indonesia yakni Oculab, Qarbontech, hingga Mooapps Agriculture Technology menjadi finalis dalam ajang Lee Kuan Yew Global Business Plan Competition (LKYGBPC) edisi ke-12 di Singapura. Salah satunya didirikan oleh alumni UI atau Universitas Indonesia hingga Universitas Bina Nusantara alias Binus.
1. Oculab
Oculab didirikan oleh alumni UI yakni Alifiyah Nur Rochmah Ariandri, Annisa Az Zahra, Dyah Laksmi Mahyastuti, Indri Klarissa Ramadhanti, Luthfi Misbachul Munir, dan Rangga Yudhistira Brata. Pendiri Oculab lainnya yakni alumni Binus Bunga Aura Prameswari dan Magister Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Muhammad Rasyad Caesarardhi.
Startup itu menghadirkan aplikasi berbasis AI pada smartphone untuk mendeteksi tuberkulosis (TBC) dengan akurasi hingga 87%.
Aplikasi Oculab dirancang mendukung lebih dari 11 ribu fasilitas kesehatan di Indonesia yang masih mengandalkan metode mikroskopi, sekaligus menjawab krisis TBC yang pada 2024 mencatat satu juta kasus dengan 17 kematian setiap jam.
Sistem Oculab bekerja dengan cara menghubungkan HP ke lensa mikroskop melalui adaptor. Video hasil pemeriksaan direkam dan dianalisis oleh AI sesuai standar WHO untuk deteksi TBC.
Teknologi itu memangkas waktu pemeriksaan hingga 75%, dari 40 menit menjadi hanya 10 menit.
Model AI Oculab telah dilatih menggunakan lebih dari 12 ribu anotasi bakteri TBC dari tenaga medis profesional dan divalidasi pada lebih dari 1.500 sampel pasien klinis.
Co-founder Oculab Bunga Aura Prameswari menjelaskan inovasi itu mengisi celah operasional kesehatan dengan teknologi AI untuk menekan penyebaran TBC di Indonesia.
Ia tertarik pada isu TBC usai melihat langsung teknisi laboratorium yang harus menghitung bakteri secara manual hingga satu jam per sampel. Menurut dia, kondisi ini menjadi tantangan besar, karena Indonesia memproses lebih dari satu juta tes TBC setiap tahun dengan kapasitas laboratorium yang terbatas.
“Kami menyadari bahwa ada celah yang bisa kami isi melalui teknologi, untuk membantu menyelamatkan lebih banyak nyawa dan menekan penyebaran TBC di Indonesia,” kata Bunga kepada wartawan di Singapura, dikutip Rabu (1/10).
Oculab terus mengembangkan produk berdasarkan masukan dari pengguna yakni teknisi lab atau Ahli Teknologi Laboratorium Medis (ATLM) dan menjalin kerja sama dengan tenaga kesehatan.
“Kedepannya fokus ke research and development-nya, karena itu sangat krusial, apalagi untuk mendapatkan ethical clearance dan validasi apakah produk kami bener-bener bisa ngebantu, apalagi untuk dipakai ke depannya,” ujar Bunga.
Oculab meraih juara 1 pada Youth Innovation EXPO tingkat wilayah Amerika Utara dan mendapatkan sponsor untuk Final Competition di Osaka EXPO 2025. Selain itu, tim juga menjadi 1st Runner-up pada kompetisi Value-Based Health Hackathon di National University of Singapore (NUS), dan mendapatkan sponsor untuk presentasi final di NUS.
2. Qarbotech
Qarbotech merupakan startup nanoteknologi dan agritech yang menciptakan solusi untuk mempercepat fotosintesis tanaman. Perusahaan rintisan ini berfokus pada peningkatan hasil panen sekaligus mendukung pertanian berkelanjutan untuk melawan perubahan iklim dan menjaga ketahanan pangan.
Tim Qarbotech mengembangkan senyawa organik biokompatibel yang mirip klorofil. Saat diaplikasikan ke daun, senyawa ini langsung bekerja di kloroplas untuk mengubah cahaya menjadi energi lebih efisien.
Hasilnya, fotosintesis berjalan lebih cepat dan tanaman bisa tumbuh lebih subur. Inovasi ini membuat tanaman menghasilkan panen lebih banyak dalam waktu lebih cepat.
Indonesia Country Manager Qarbontech Erlambang Aji mengatakan hasil uji coba menunjukkan efektivitas tinggi pada padi, cabai, nanas, kacang tanah, dan sayuran.
“Jadi ini yang sudah dilakukan di tembakau, kadar nikotinnya meningkat hingga 10-15%,” kata Erlambang.
Selain itu, satu siklus penggunaan produk itu bisa berlangsung selama tiga bulan dan biasanya diaplikasikan empat kali. Untuk memproduksi satu liter, perusahaan hanya membutuhkan empat sampai enam gram biochar.
Meski begitu, ia menegaskan ekspansi produksi di Indonesia belum dilakukan karena kapasitas pabrik di Malaysia saat ini sudah mampu menghasilkan hingga 100 ribu liter per bulan. Dari jumlah itu, baru sekitar 10 ribu liter yang digunakan.
Selain itu, ia mengatakan teknologi ini berbasis nano sehingga hanya memerlukan senyawa aktif dalam jumlah sangat kecil. Ia juga menyebut CEO Qarbontech, yang merupakan insinyur asal Inggris, berhasil meningkatkan kapasitas produksi dari awalnya 2.000 liter menjadi 100 ribu liter per bulan.
Erlambang Aji menyampaikan Qarbontech saat ini memperoleh pendanaan dari Breakthrough Energy hingga tahun depan. Dana tersebut digunakan untuk melakukan riset lebih mendalam sekaligus membuktikan konsep teknologi yang tengah dikembangkan.
3. Mooapps Agriculture Technology
Startup MooApps berdiri pada 2022 di Purwakarta dengan misi mengatasi tantangan peternakan di pedesaan, khususnya dalam deteksi dini dan penanganan penyakit pada hewan ternak.
Selama ini, keterbatasan metode tradisional membuat banyak penyakit pada ternak tidak terdiagnosis tepat waktu sehingga menimbulkan kerugian besar bagi peternak dan berdampak pada perekonomian di sektor pertanian.
Melihat kondisi itu, MooApps menawarkan solusi berbasis teknologi Internet of Things (IoT) yang dipadukan dengan terapi jade. Inovasi ini untuk peternak memantau kondisi kesehatan hewan secara real-time, sekaligus memberikan sarana perawatan dan pengobatan yang lebih efektif.
MooApps berupaya memberdayakan peternak agar dapat mengakses informasi kesehatan ternak dengan lebih baik, mengambil langkah proaktif dalam pengelolaan peternakan, serta mendorong praktik berkelanjutan yang ramah lingkungan. Tujuannya yakni meningkatkan produktivitas, serta mengurangi limbah dan ketergantungan pada bahan kimia berbahaya.
Founder Mooapps Agriculture Technology Sandi Pamungkas mengungkapkan bahwa teknologi mereka mampu mendeteksi penyakit dalam hewan ternak dengan akurasi hingga 90%.
Saat ini, sebanyak 15 peternak di Purwakarta telah menggunakan sistem Mooapps untuk memantau sekitar 50 ekor kambing, sapi, dan domba. Sistem bekerja dengan sensor tekanan darah, denyut nadi, dan detak jantung untuk mendeteksi penyakit dalam secara real-time.
Mooapps juga menargetkan ekspansi ke pasar internasional, termasuk Cina dan Taiwan, yang dinilai memiliki potensi besar terhadap teknologi kesehatan hewan berbasis data.
“Jadi, apa pun penyakit yang menyerang titik-titik vital tersebut, nantinya bakal terdeteksi sama alat kami,” kata Sandi ketika ditemui di The Fullerton Hotel Singapura.
Tak hanya itu, ia mengatakan teknologi deteksi penyakit hewan ternak berbasis sensor ini sudah digunakan di Purwakarta dengan sekitar 40 ekor sapi dan di Natuna dengan 10 ekor sapi.
Biaya pemakaian, Mooapps mematok harga sewa sekitar Rp 5 juta per alat per bulan. Sistem ini dirancang agar peternak lebih cepat mendeteksi penyakit dalam ternak sehingga mampu mengurangi risiko kematian hewan.
LKYGBPC merupakan ajang kompetisi startup dua tahunan yang digelar oleh Singapore Management University (SMU) menghadirkan 60 finalis global, yang bersaing memperebutkan total hadiah senilai S$ 2,5 juta atau Rp 32,27 miliar (kurs Rp 12.911 per dolar Singapura).



