Bola Api Melintas di Cirebon Diduga Meteor, Begini Penjelasan NASA

Desy Setyowati
6 Oktober 2025, 09:55
Fenomena bola api di Cirebon pada 5 Oktober 2025, penjelasan NASA soal bola api, kata brin soal bola api di Cirebon,
Instagram @trenster
Fenomena bola api di Cirebon pada 5 Oktober 2025
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Fenomena tampak seperti bola api melintas di sekitar Cirebon, Jawa Barat, pada Minggu (5/10) malam. Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN menduga hal itu disebabkan oleh jatuhnya meteor besar. Bagaimana penjelasan NASA terkait meteor jatuh?

Profesor astronomi dari BRIN Thomas Djamaluddin menduga dentuman dan visual bola api di Cirebon itu disebabkan oleh jatuhnya meteor besar di Laut Jawa. "Saya menyimpulkan itu adalah meteor cukup besar yang melintas," kata dia dikutip dari Antara, Senin (6/10).

Ia menyebutkan meteor itu jatuh di wilayah Laut Jawa, setelah sebelumnya melintasi wilayah Kabupaten Kuningan dan Cirebon dari arah barat daya sekitar, Minggu (5/10), pukul 18.35 WIB - 18.39 WIB.

Menurut dia, suara dentuman yang besar dihasilkan oleh proses masuknya meteor ke wilayah dengan atmosfer yang lebih rendah.

"Ketika memasuki atmosfer yang lebih rendah, (mmaka menimbulkan gelombang kejut berupa suara dentuman dan terdeteksi oleh BMKG Cirebon pukul 18.39.12 WIB," kata dia.

Thomas juga menyebut dentuman dan cahaya yang disaksikan oleh masyarakat tidak menimbulkan bahaya apapun.

Fenomena itu terlihat warga pada Minggu (5/10), sekitar pukul 18.30 WIB di beberapa kecamatan di Cirebon bagian timur, terutama di kawasan Lemahabang.

Sensor seismik milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG dengan kode ACJM mendeteksi adanya getaran yang signifikan pada pukul 18.39 WIB

Di samping itu, terdapat pula kesaksian berupa bola api yang meluncur disertai rekaman kamera pengawas pada pukul 18.35 WIB

Sejumlah warga melaporkan melihat bola api melintas cepat sebelum menghilang di kejauhan serta mendengar suara dentuman keras.

BMKG Stasiun Kertajati mengumpulkan data terkait suara dentuman keras disertai bola api terang yang diduga meteor di Cirebon, Jawa Barat, pada Minggu (5/10) malam.

Kepala Tim Kerja Prakiraan, Data, dan Informasi BMKG Kertajati Muhammad Syifaul Fuad mengatakan instansi masih melakukan pengumpulan data awal terkait fenomena itu.

Ia menjelaskan dari sisi meteorologi, suara dentuman dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti sambaran petir, aktivitas gempa bumi atau peristiwa longsor. "Namun, berdasarkan citra satelit, tidak ada indikasi awan konvektif di sekitar wilayah Cirebon saat kejadian,” ujarnya.

Fuad menegaskan hingga kini pihaknya belum mencatat, adanya aktivitas cuaca ekstrem atau fenomena meteorologis yang signifikan di wilayah tersebut.

Selain itu, dia menyampaikan hasil pantauan pun belum menunjukkan adanya aktivitas getaran yang signifikan di wilayah Cirebon.

Pada dasarnya, fenomena yang berkaitan dengan meteor merupakan kewenangan lembaga yang membidangi antariksa. Ia menyebutkan BMKG tidak memiliki instrumen khusus, untuk mendeteksi pergerakan meteor atau benda langit.

“Terkait fenomena meteor atau benda antariksa merupakan kewenangan lembaga yang membidanginya seperti BRIN,” kata dia.

BMKG terus memantau perkembangan informasi dari berbagai sumber, termasuk laporan masyarakat, untuk memastikan fenomena yang terjadi di wilayah Cirebon tersebut.

Penjelasan NASA soal Fenomena Bola Api

IMO Fireball melaporkan ada fenomena bola api di Jawa Tengah, Indonesia, Abruzzo atau Lazio, Italia, dan Arizona atau California, Amerika Serikat pada 5 Oktober.

Laporan dari IMO kadangkala berdasarkan pengamatan visual amatir dan ada potensi salah, terutama terkait koordinat dan waktu.

IMO Fireball adalah bagian dari International Meteor Organization atau IMO, lembaga nirlaba berbasis di Belgia yang sejak 1988 menjadi pusat pengumpulan data hujan meteor dan bola api dari pengamat di seluruh dunia.

Sementara itu, NASA memiliki proyek ASGARD atau All-Sky and Guided Automatic Real-time Detection, sistem perangkat lunak dan jaringan kamera yang secara otomatis mendeteksi meteor yang melintas seperti bola api dan meteoroid yang memasuki atmosfer.

Berdasarkan penelusuran Katadata.co.id, laman itu mencatat ada meteor yang memasuki atmosfer pada 5 Oktober, namun tidak memerinci titik koordinat lokasinya. Saat ini, operasional NASA terganggu akibat pemerintahan tutup alias government shutdown di Amerika Serikat.

Fenomena bola api juga sempat melintas di Jepang pada 20 Agustus. NASA menyebut objek yang menyebabkan peristiwa bola api semacam itu bisa berukuran lebih dari satu meter.

Fenomena serupa juga muncul di langit tenggara Amerika pada 26 Juni, siang, lalu meledak di atas Georgia. NASA menduga batu yang tampak sangat terang disebut bola api ini bagian dari hujan meteor Beta Taurid.

Bola api melintas di langit Amerika pada 26 Juni 2025
Bola api melintas di langit Amerika pada 26 Juni 2025 (X @MatthiasBranz, kualitas ditingkatkan dengan AI)

Dikutip dari laman NASA, ketika batu angkasa memasuki atmosfer dengan sendirinya dan terbakar, maka disebut meteor. Batu itu disebut meteorit, jika berhasil melewati perjalanan dan menyentuh tanah sebelum terbakar. 

Bola api yang meledak di atmosfer secara teknis disebut bolida, meskipun istilah bola api sering digunakan, dikutip dari The Guardian pada Agustus.

Dikutip dari CNEOS atau Center for Near Earth Object Studies, objek penyebab bola api biasanya tidak besar atau cukup untuk selamat melewati atmosfer utuh. Selain itu, terkadang fragmen meteorit jatuh ke permukaan.

Banyak batu meteorit berukuran besar yang tidak sampai ke tanah, terpecah ketika tekanan dan panas melebihi kekuatan struktur batuan itu sendiri. Proses pecah ini bisa menghasilkan semburan cahaya ekstra dan ledakan di udara yang bisa terdengar oleh manusia

Pakar meteor Robert Lunsford dari American Meteor Society mengatakan, terkadang, hanya butuh meteor seukuran bola softball untuk menciptakan kilatan seterang bulan purnama.

"Jadi, meteor seukuran bola golf pun masih bisa tampak seperti bola api dari permukaan tanah. Kebanyakan meteor hanya seukuran kacang polong," kata Robert dikutip dari Space.com, pada Agustus.

"Kecepatan ekstrem inilah yang membuatnya begitu terang (seperti bola api), bahkan meteor tercepat pun menghantam atmosfer dengan kecepatan lima puluh mil per detik," ia menambahkan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Desy Setyowati, Antara

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...