Cerita 7 Programmer Muda Juara Kompetisi Siber Dunia, Modal dari Kantong Sendiri
Tujuh programmer muda Indonesia membuktikan bahwa semangat dan kemampuan bisa menembus batas dunia. Tampil dengan nama Satuan Koalisi Siber Dadakan (SKSD) tim yang mereka bentuk sejak masa kuliah ini berhasil menyabet juara kedua dalam ajang Security Analyst Summit Capture The Flag (SAS CTF) 2025.
SAS CTF merupakan kompetisi keamanan siber dunia yang digelar perusahaan global Kaspersky di Khao Lak, Thailand, 26–28 Oktober 2025. Dalam forum itu bertemu para praktisi dan peneliti keamanan siber dunia dari berbagai latar belakang.
Prestasi yang ditorehkan SKSD dalam forum itu bukan hasil perjalanan instan. Di balik layar, ada kisah panjang tentang semangat belajar, kerja sama lintas kampus, dan perjuangan mandiri tanpa sponsor besar.
Tim SKSD terbentuk pada 2021, berawal dari pertemuan antar mahasiswa dalam sebuah ajang kompetisi CTF (Capture The Flag) di Indonesia. Saat jeda lomba, beberapa peserta saling mengobrol dan menyadari bahwa mereka punya minat sama di bidang keamanan siber.
Bermula dari obrolan ringan lalu berlanjut menjadi tekad serius untuk membentuk tim nasional yang bisa bersaing di level dunia. Sejak itu mereka yang tergabung dalam komunitas berbagi info mengenai kompetisi level dunia yang digelar di berbagai negara.
“Karena nyambung dan sama-sama suka tantangan siber, akhirnya sepakat bikin tim,” cerita Linuz Tri Erianto, lulusan IPB yang kini menjadi salah satu motor tim kepada Katadata.co.id seperti dikutip Kamis (30/10).
Nama Satuan Koalisi Siber Dadakan (SKSD) lahir secara spontan, menggambarkan semangat gotong royong mereka. Meski “dadakan”, kemampuan para anggotanya tak bisa dianggap remeh.
Mereka berasal dari berbagai universitas besar seperti Institute Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institute Teknologi Surabaya (ITS), Binus dan President University. Mereka adalah Linuz Tri Erianto (IPB, lulus), Achmad Zaenuri Dahlan Putra (ITS, lulus), Bill Elim (Binus, masih kuliah), Bambang Priyanto (President University, masih kuliah), Rendi Yuda (IPB, lulus), Moch Sofyan Firdaus (ITB, lulus), dan Achmad Fahrurrozi Maskur (ITB, lulus).
Linuz mengatakan anggota dalam komunitas siber mereka sebenarnya tak hanya tujuh orang. Ada banyak alumni dan mahasiswa kampus ternama Tanah Air yang terhubung. Hanya saja, karena panitia CTF membatasi maksimal 7 peserta, hanya tujuh orang berangkat. Beberapa anggota komunitas lainnya ada yang bergabung dengan tim internasional.
Motivasi hingga Modal Mandiri
Tak ada sponsor besar di balik keberangkatan mereka ke Thailand. Biaya perjalanan dan akomodasi ditanggung sendiri, hasil dari uang kas yang mereka kumpulkan lewat kemenangan di kompetisi-kompetisi daring sebelumnya.
“Biasanya kalau menang lomba CTF online dan dapat hadiah uang, kami sisihkan buat tabungan tim. Nah, uang itu dipakai buat berangkat ke event besar kayak SAS ini,” ujar Bill Elim yang kini kuliah di Binus.
Semangat itu berbuah manis. Dari lebih dari 900 tim asal 80 negara, hanya delapan yang lolos ke babak final, termasuk SKSD dari Indonesia. Mereka bersaing melawan tim-tim kuat dari Rusia, Jepang, dan beberapa tim internasional lain untuk memperebutkan total hadiah US$ 18.000. SKSD berhasil finis di posisi kedua dan membawa pulang US$ 5.000 atau sekitar Rp 83 juta.
Meski banyak anggotanya masih kuliah, ritme latihan SKSD tergolong disiplin. Secara berkala mereka mengikuti berbagai lomba CTF daring untuk melatih kemampuan teknis mulai dari kriptografi, reverse engineering, keamanan web, eksploitasi biner, hingga forensik digital.
“Persiapan khusus sih enggak banyak, tapi kami rutin ikut lomba. Kadang malam sebelum lomba kami udah siapin strategi, paginya soal keluar malah beda jauh,” ujar Achmad Zaenuri, lulusan ITS.
Bagi mereka, kompetisi seperti SAS CTF bukan sekadar ajang menang-kalah. Di sana mereka belajar tentang bagaimana tim-tim terbaik dunia berpikir, berkolaborasi, dan menyelesaikan masalah keamanan digital yang rumit.
Perkenalan para anggota SKSD dengan dunia siber tak semua karena latar belakang kampus di bidang teknologi. Ada juga anggota SKSD yang mengenal dunia siber bukan dari kampus, melainkan dari game.
“Dari situ muncul rasa penasaran, gimana sih sistemnya bisa diubah. Lama-lama malah keterusan belajar hal-hal teknis dan ikut kompetisi,” ujar Bill Elim.
Menanti Dukungan Pemerintah
Bagi SKSD dan anggota komunitas lainnya, keamanan siber bukan sekadar karier, tapi juga permainan logika dan ketekunan, layaknya e-sport. Bedanya, yang dipertandingkan bukan refleks tangan, melainkan kecepatan berpikir dan kemampuan memecahkan kode.
Menurut Linuz saat mengikuti kompetisi di kancah global mereka kerap bertemu dengan praktisi siber profesional yang sudah berkarir di berbagai perusahaan internasional. Tak sedikit pula mereka bertemu dengan programmer dan bahkan hacker yang membutuhkan semakin banyak keahlian.
Meski sudah menorehkan prestasi dunia, para anggota SKSD menilai dukungan terhadap komunitas keamanan siber di Indonesia masih terbatas. Mereka berharap pemerintah dan lembaga terkait lebih aktif berkolaborasi dengan komunitas, sebagaimana dilakukan negara-negara lain.
“Di Jepang dan Korea, event besar itu hasil kerja sama antara pemerintah dan komunitas. Di Indonesia, semuanya masih jalan sendiri-sendiri,” ujar Linuz. “Padahal, talenta kita banyak dan ilmunya bisa dipakai untuk keamanan nasional,” tambahnya.
Para anggota SKSD juga menyoroti pentingnya literasi digital di kalangan generasi muda. Menurut mereka, internet dan teknologi adalah alat yang bisa jadi pisau bermata dua tergantung siapa yang menggunakannya.
“Internet itu kayak pisau, bisa dipakai buat masak, bisa juga buat nyakiti. Yang penting, anak-anak muda harus diarahkan biar tahu cara manfaatin teknologi dengan benar,” ujar Moch Sofyan Firdaus.
Capaian SKSD di ajang SAS CTF menjadi bukti nyata bahwa talenta muda Indonesia mampu bersaing di level global. Di tengah minimnya dukungan dan fasilitas, mereka tetap melangkah, mengandalkan semangat, kemampuan, dan solidaritas.
“Bangga banget bisa bawa nama Indonesia,” kata Bambang Priyanto yang masih kuliah di President University. Ia pun berharap agar makin banyak anak muda yang ikut terjun di dunia siber. “Karena di sini bukan cuma soal teknologi, tapi juga masa depan keamanan negara."
Selain SKSD dalam kompetisi SAS CTF ada pula tim Pig Sekai yang juga diperkuat anak muda Indonesia. Mereka adalah Yudistira Arya (Binus, masih kuliah), Zafir Rasyidi Taufik (UI, lulus), dan Aimar Sechan Aditya. Meski berbeda tim, mereka ikut mengukir prestasi dengan semangat yang sama dan masuk sebagai finalis. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak muda Indonesia punya potensi besar untuk bersinar di kancah keamanan siber dunia.

