Cerita GKR Hayu Puteri Keraton Yogya Kembangkan Digitalisasi Wayang - Gamelan
Keraton Yogyakarta mulai memanfaatkan teknologi digital untuk melestarikan budaya. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu berkomitmen kini aktif memanfaatkan teknologi untuk melestarikan dan menyebarluaskan pengetahuan budaya Jawa.
“Jadi eksklusifitas dan jarak antara keraton ini kan sangat sayang, karena kalau di mana di situ kekurangan informasi, kalau kita nggak isi yang official (di media sosial), akan diisi oleh disinformasi,” kata GKR Hayu di forum She-Connects 2025 Seri Yogyakarta, Kamis (6/11).
Dalam mendirikan sosial media informasi publik keraton, GKR Hayu mendirikan Tepas Tandha Yekti, divisi teknologi dan informasi Keraton Yogyakarta.
“Ekspektasinya dulu hanya untuk IT-nya keraton. Tapi setelah saya menikah pada 2013, saya sadar banyak sekali pengetahuan keraton yang tidak keluar. Eksklusivitas ini justru menciptakan jarak,” katanya.
Inilah yang mendorongnya membuka akses informasi, termasuk dokumentasi budaya dan komunikasi digital resmi tentang keraton kepada publik melalui akun media sosial @kratonjogja. Akun centang biru ini memiliki 479 ribu pengikut.
Melalui akun ini, publik dapat melihat berbagai kegiatan, tradisi, dan nilai-nilai luhur yang dijaga oleh keraton, mulai dari dokumentasi upacara adat, pertunjukan seni seperti gamelan dan wayang wong, hingga arsitektur dan keseharian para abdi dalem.
Salah satu proyek digitalisasi lain yang dilakukan adalah perekaman dan penayangan pementasan wayang wong di kanal YouTube Keraton Yogyakarta. Dokumentasi dilakukan secara menyeluruh agar nilai budaya tetap terjaga.
“Banyak orang mengira teknologi itu musuh budaya. Tapi tidak. Justru teknologi bisa menyesuaikan dengan budaya,” ujarnya.
Dalam proses digitalisasi wayang, tim keraton tidak hanya memotret ukuran fisik wayang sebagaimana dilakukan di luar negeri. “Di Yale University, wayang hanya diukur dari size. Tapi bagi kita, wayang Wong itu ditentukan oleh gerak dan stance-nya,” jelasnya.
Karena itu, pengambilan gambar dilakukan dengan melibatkan dalang dan seniman keraton agar setiap gerak, riasan, dan kostum terdokumentasi sesuai maknanya. “Wayang Wong tidak bisa sekadar dipamerkan di manekin, karena ia adalah kesatuan antara dandanan, riasan, dan cara menarinya,” katanya.
Selain itu, gending-gending Jawa Keraton Yogyakarta kini juga tersedia di platform musik digital seperti Spotify dan iTunes. Masyarakat global bisa mengenal dan menikmati kekayaan musikal tradisi Jawa, yang selama ini hanya terbatas pada kalangan tertentu.
GKR Hayu mencontohkan bagaimana pihaknya belajar dari cara lembaga kerajaan lain di dunia menampilkan identitas budaya mereka di ruang digital.
“Kalau kita lihat British Royal Family, yang mereka tampilkan bukan kebudayaan, tapi keluarga kerajaan. Kita beda. Yang kita tampilkan adalah budaya yang hidup di keraton, pengetahuan, seni, dan tradisi,” kata dia.
GKR Hayu kerap menegaskan teknologi bukanlah ancaman bagi kebudayaan. Ia menolak pandangan modernisasi identik dengan westernisasi. “Pesan dari Ngarsa Dalem (Sri Sultan) yang selalu kami pegang adalah: modernisasi itu bukan berarti westernisasi. Kita punya nilai-nilai sendiri yang harus dilestarikan,” ujarnya.
