Studi Cambridge: Akun Palsu Dijual Mulai Rp1.200, Rawan Hoaks di Medsos
Sebuah studi terbaru dari Universitas Cambridge mengungkap maraknya pasar gelap akun palsu media sosial yang dijual dengan harga sangat murah, mulai dari US$ 8 sen atau sekitar Rp1.200 per akun. Praktik ini dinilai menjadi salah satu sumber utama penyebaran misinformasi, manipulasi opini publik, hingga intervensi pemilu di berbagai negara.
Temuan ini dipublikasikan melalui Cambridge Online Trust and Safety Index (COTSI), sebuah platform yang melacak harga pembuatan akun palsu secara real time di lebih dari 500 platform digital, seperti Instagram, TikTok, X, Amazon, dan LinkedIn.
Melansir Euronews (12/12), peneliti menemukan akun palsu biasanya digunakan untuk membangun “pasukan bot”, yakni akun-akun otomatis yang dibuat agar terlihat seperti pengguna asli. Bot ini dapat membanjiri kolom komentar, menaikkan jumlah like dan pengikut, hingga menyebarkan pesan politik secara terkoordinasi.
Menurut para penulis studi, bot tersebut dapat digunakan untuk membanjiri diskusi daring, mempromosikan produk atau penipuan, hingga mendorong pesan-pesan politik tertentu.
Situasi ini dinilai semakin mengkhawatirkan karena sejumlah platform media sosial mulai mengurangi moderasi konten dan menerapkan skema pembayaran berbasis interaksi, yang berpotensi mendorong aktivitas palsu.
Masalah ini semakin parah dengan berkembangnya kecerdasan buatan (AI). Bot kini bisa menulis pesan yang terdengar lebih manusiawi dan menyesuaikan isi komentar dengan lawan bicaranya, sehingga semakin sulit dikenali.
Harga pembuatan akun palsu berbeda-beda di tiap negara. Verifikasi SMS untuk satu akun palsu rata-rata hanya US$0,08 atau setara Rp 1.200 (kurs Rp16.668 per US$) di Rusia, US$0,10 atau Rp1.600 di Inggris, dan US$0,26 atau Rp4.300 di Amerika Serikat.
Sebaliknya, biaya di Jepang jauh lebih mahal, mencapai hampir US$5 atau Rp 83 ribuan per akun, karena aturan kartu SIM yang lebih ketat.
Studi ini juga menemukan adanya lonjakan permintaan akun palsu menjelang pemilu. Harga akun di aplikasi pesan seperti Telegram dan WhatsApp naik hingga belasan persen sebelum hari pencoblosan, karena akun harus didaftarkan dengan nomor lokal.
Tim peneliti menilai, pengetatan aturan kartu SIM dan verifikasi identitas pengguna bisa menjadi cara untuk menekan peredaran akun palsu.
