Profil Anas Urbaningrum, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, pada hari ini, Selasa (11/4). Anas mendekam di Lapas Sukamiskin setelah menerima vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan penjara. Ia didakwa bersalah atas kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang.
Sejak terkuaknya kasus korupsi itu, nama Anas Urbaningrum identik dengan Wisma Atlet Hambalang. Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Gede Pasek Suardika mengatakan Anas akan kembali ke dunia politik dan akan buka-bukaan ihwal korupsi yang menjeratnya.
Siapa sebenarnya Anas Urbaningrum, serta seperti apa sepak terjangnya di dunia politik Indonesia? Simak ulasan singkat mengenai profilnya berikut ini, dirangkum dari berbagai sumber.
Masa Kecil dan Pendidikan Anas Urbaningrum
Anas Urbaningrum lahir pada 15 Juli 1969 di Desa Ngaglik, Srengat, Blitar, Jawa Timur. Ia diketahui menempuh pendidikan dari tingkat dasar (SD) hingga menengah atas (SMA) di daerah kelahirannya, Kabupaten Blitar.
Setelah menamatkan pendidikan menengah atas, Anas melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), di Kota Surabaya. Ia lulus pada 1992 silam. Ia juga diketahui mendapatkan gelar master bidang politik dari Universitas Indonesia pada 2000.
Saat menempuh pendidikan pasca-sarjana di UI, Anas tergolong aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Keaktifannya di HMI ini menjadi awal perkenalannya dengan dunia politik Indonesia.
Saat berkecimpung di HMI, Anas sempat terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI, melalui Kongres HMI di Yogyakarta 1997. Selanjutnya, ia melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan meraih gelar doktor ilmu politik.
Berawal dari HMI, Anas Urbaningrum Melangkah Memasuki Arena Perpolitikan Indonesia
Seperti telah disebutkan sebelumnya, kiprah Anas di dunia politik Indonesia diawali dari keaktifannya dalam HMI, di mana ia terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI pada 1997.
Saat itu, situasi politik Indonesia tengah bergejolak, di mana gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia menuntut adanya reformasi. Anas pun turut aktif bergerak bersama para mahasiswa dalam gejolak politik yang kemudian berujung pada turunnya Presiden Soeharto dari panggung kekuasaan yang telah dipegang selama lebnih dari tiga dekade.
Di awal masa-masa reformasi, Anas anggota Tim Revisi Undang-Undang Politik atau Tim Tujuh. Ia anggota Tim Seleksi Partai Politik atau Tim Sebelas yang bertugas memverifikasi kelayakan partai politik untuk ikut dalam Pemilu 1999. Kemudian, ia menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001-2005 yang mengawal pelaksanaan Pemilu 2004.
Namun, keanggotaannya di KPU tak bertahan lama. Sebab, ia memutuskan mengundurkan diri pada 8 Juni 2005, untuk bergabung dengan Partai Demokrat, yang merupakan partai bentukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY sendiri terpilih menjadi Presiden RI ke-6, melalui perhelatan Pemilu 2004.
Di awal karirnya sebagai anggota Partai Demokrat, Anas mendapatkan jabatan sebagai Ketua Divisi Otonomi Politik dan Daerah DPP Partai Demokrat. Melalui keaktifannya di dalam Partai Demokrat, karier politik Anas makin terbuka, di mana pada Pemilu 2009 ia mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perawakilan Rakyat (DPR).
Dalam Pemilu Legislatif 2009, ia terpilih dengan memperoleh suara terbanyak untuk daerah pemilihan Jawa Timur VII, yang mencakup Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Kediri, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Tulungagung, dengan perolehan 178.381 suara. Di DPR, Anas menjadi Ketua Fraksi Demokrat untuk periode 2009-2014.
Perjalanan karir politiknya makin menjulang, di mana pada Kongres Partai Demokrat yang diselenggarakan pada 20-23 Mei di Bandung, Jawa Barat, ia terpilih menjadi Ketua Umum, mengalahkan calon kuat seperti Andi Malarrangeng dan Marzuki Alie. Anas kemudian dilantik sebagai Ketua Umum, dengan Edi Baskoro Yudhoyono sebagai Sekertaris Jenderal DPP Partai Demokrat untuk periode 2010-2015.
Saat itu, Anas dinilai menjadi salah ketua partai politik termuda di Indonesia, dan memiliki masa depan yang cerah dalam dunia politik Indonesia. Ia bahkan disebut-sebut menjadi bakal calon presiden dari generasi muda.
Terlibat dalam Kasus Korupsi Hambalang, Karir Politik Anas Urbaningrum Terjungkal
Karir Anas di dunia perpolitikan Indonesia tercatat kandas, akibat keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Dalam kasus ini, Anas disebut oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazarudin, menerima sejumlah uang proyek.
Nazaruddin saat itu telah lebih dulu diincar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang yang melibatkan mantan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, dan sejumlah direktur perusahaan yang terlibat dalam pembangunan wisma itu.
Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu sejak 4 Juni 2011, namun melarikan diri ke Singapura sejak 23 Mei 2011 sebelum dicekal oleh KPK. Ia terbukti bersalah karena menerima komisi 13% atau sejumlah Rp25 miliar yang baru diterima sejumlah Rp4,3 miliar.
Nazaruddin ditangkap di Cartagena, Kolombia, pada 6 Agustus 2011 dan menjalani sidang perdana pada 16 November 2011. Dalam nota pembelaan atau eksepsinya, Nazaruddin menyebutkan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet yang lain, Hambalang. Ia menyatakan Anas mengatur agar PT Adhi Karya memenangkan proyek pembangunan wisma atlet di Bogor, Jawa Barat, tersebut.
"Bapak Anas Urbaningrum yang memutuskan bahwa yang menang di proyek Hambalang adalah PT Adhi Karya, bukan PT DGI (Duta Graha Indah). Yang menyampaikan saat itu adalah Bapak Mahfud Suroso (Direktur Dutasari Citralaras,) yang merupakan teman dekat dari Anas Urbaningrum," ujar Nazaruddin saat membacakan eksepsinya pada 7 Desember 2011.
Ihwal keterlibatan Anas sebagai pengatur proyek Wisma Hambalang bernilai Rp 1 triliun itu, Nazaruddin menyebutkan, didasari oleh kebutuhan Anas untuk menyelenggarakan kongres. Menurut Nazaruddin, saat itu Anas membutuhkan sekitar Rp 100 miliar agar dapat terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Nyanyian Nazaruddin mendapatkan perhatian dari KPK. Komisi antirasuah itu serius mendalami dugaan korupsi di sekitar pembangunan Wisma Atlet Hambalang atau Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) dan menetapkan Anas sebagai tersangka pada Februari 2013.
Anas dinyatakan terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 2,21 miliar dari PT Adhi Karya. Selain itu, ada Toyota Harrier seharga Rp 670 juta serta gratifikasi lainnya.
Hakim pengadilan tindak pidana korupsi saat itu menyatakan Anas juga terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 25,3 miliar dan US$ 36,000 dari Permai Group. Dari Nazaruddin sendiri, hakim menyatakan ia terbukti menerima Rp 30 miliar dan US$ 5,2 juta.
Menurut hakim, gratifikasi dari Permai Group dan Nazaruddin digunakan Anas untuk keperluan kongres Partai Demokrat dan mempermulus pencalonannya sebagai ketua umum. Belakangan, penggunaan uang untuk pencalonan ini dinyatakan tak terbukti oleh majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali.
Di pengadilan tipikor, Anas divonis delapan tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider kurungan selama tiga bulan. Ia lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan menerima keringanan hukuman menjadi tujuh tahun penjara dan tetap dikenakan denda Rp 300 juta subsider kurungan tiga bulan.
Ia lalu mengajukan kasasi pada 2015, tetapi saat itu kasasinya ditolak oleh majelis hakim yang diketuai oleh hakim Artidjo Alkostar. Hukumannya justru diperberat menjadi 14 tahun penjara dengan denda sebesar Rp 5 miliar subsider 1,4 tahun kurungan, dan uang pengganti sebesar Rp 57,59 miliar kepada negara.
Hakim saat itu memberi catatan uang pengganti wajib dilunasi Anas dalam waktu satu bulan. Jika tak dilunasi dalam kurun waktu tersebut, seluruh kekayaan Anas akan dilelang. Apabila setelah lelang tidak cukup, ia terancam penjara empat tahun.
Selain itu, Anas diberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik. Hukuman tambahan ini merupakan permohonan dari jaksa KPK yang diakomodir oleh majelis hakim di tingkat kasasi.
Namun, Anas tetap melawan dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam upayanya ini, Anas mendapatkan pengurangan hukuman dari 14 tahun menjadi delapan tahun, sama dengan putusan pengadilan tingkat pertama.
Meski hukumannya menjadi lebih ringan, Anas tetap tak boleh dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak menjalani pidana pokok. Selain itu, Anas tetap berkewajiban mengembalikan uang senilai Rp 57 miliar dan US$ 5.200 kepada negara.