Kisah Yenny Wahid, Pernah jadi Wartawan sebelum Terjun ke Politik
Nama Yenny Wahid masuk dalam bursa bakal calon wakil presiden (cawapres) 2024. Ada dua partai yang sudah menyatakan dukungan kepada Yenny, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Nasional Demokrat (NasDem).
PSI sudah lebih dulu mendeklarasikan dukungan kepada Yenny sebagai cawapres PSI untuk Pemilu 2024, pada Oktober 2022 lalu. Kini ia mengaku mendapat tawaran dari Partai NasDem untuk memasukkan namanya dalam bursa bakal cawapres dari bakal capres Anies Baswedan.
"Saya tentunya memberi apresiasi atas kepercayaan yang diberikan. Sebuah kepercayaan yang harus saya pegang dengan baik dan saya berterima kasih,” ucap Yenny saat ditemui di acara ASEAN Intercultural dan Interreligious Dialogue Conference (AIIDC) 2023, Hotel Ritz Carlton Jakarta, Senin, (7/8).
Meski begitu, ia mengaku belum mengambil keputusan akan berlabuh dengan partai mana. Menurutnya gejolakk politik ini masih terus berubah, dan butuh pertimbangan matang untuk menentukan keputusan politiknya.
“Pada akhirnya seluruh barisan Gus Dur ini akan melabuhkan dukungan ke mana, masih akan berproses. Ini proses politiknya masih panjang," kata Yenny.
Tanggalkan Profesi Wartawan demi Karier Politik
Yenny Wahid punya nama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh. Ia merupakan putri kedua Gus Dur dan Sinta Nuriyah. Lahir di Jombang, Jawa Timur, 29 Oktober 1974 lalu, Yenny memutuskan bekerja sebagai wartawan pasca lulus studi desain dan komunikasi visual dari Universitas Trisakti.
Kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan Yenny tak main-main, ia berani ambil risiko untuk meliput Timor Timur dan Aceh meski banyak reporter memilih keluar dari wilayah itu karena kerusuhan dan krisis di akhir dekade 90-an.
Yenny bertugas sebagai koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne) antara tahun 1997 dan 1999. Liputannya mengenai Timor Timur pasca referendum mendapatkan anugrah Walkley Award, penghargaan bergengsi dari Australia untuk karya jurnalistik.
Ia juga sempat meliput kerusuhan 1998, tapi memutuskan berhenti menjadi wartawan sejak Gus Dur terpilih menjadi presiden RI ke-4. Yenny memilih mendampingi sang ayah dengan mengambil posisi sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik.
Setelah Gus Dur lengser, Yenny mengejar titel Magister Administrasi Publik dari Universitas Harvard dengan beasiswa Mason. Sepulangnya ia dari Amerika Serikat pada tahun 2004, Yenny mengelola pendirian Wahid Institute dan bertindak selaku direktur hingga saat ini.
Wahid Institute merupakan lembaga yang punya misi mewujudkan cita-cita intelektual Gus Dur dalam membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme, dan toleransi
Yenny sempat kembali menjabat sebagai staf khusus bidang Komunikasi Politik di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun jabatan itu hanya ia pertahankan selama setahun sampai akhirnya Yenny undur diri dengan alasan tidak mau ada gesekan kepentingan dengan jabatannya di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Saat itu Yenny juga menjabat sebagai Sekjen PKB periode 2005-2010. Namun pada tahun 2008 ia diberhentikan oleh Cak Imin dan membuat partai tandingan PKB bernama Partai Kedaulatan Bangsa.
Yenny menjabat sebagai ketua umum pada periode 2008-2012. Pada 2012, Partai Kedaulatan Bangsa melebur dengan Partai Indonesia Baru (PIB) dan mendeklarasikan diri sebagai Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) pada 12 Juli 2012. PKBIB sempat mendaftar menjadi peserta Pemilu 2014, namun gagal dalam tahapan verifikasi.