Profil PDIP, Partai Besar yang Punya Sejarah Panjang Sebagai Oposisi
Hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga survei menyimpulkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) unggul sementara dibandingkan partai politik peserta lain Pemilu 2024. Hasil penghitungan suara nyata alias real count sementara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menunjukkan PDIP meraih suara tertinggi dalam Pemilu Legislatif 2024.
Berdasarkan real count KPU per Jumat 16 Februari 2024 pukul 14.32 WIB, PDIP masih unggul dengan perolehan 16,86 persen suara. Partai Golkar menempati posisi kedua dengan 13,9 persen suara menyalip Partai Gerindra dengan 12,44 persen di urutan ketiga. Sekadar informasi, data yang masuk ke KPU saat itu sudah 137639 TPS dari total 823236 TPS atau mencapai 16.72%.
Meski masih dalam perhitungan sementara, peluang kemenangan PDIP sudah terlihat. Namun, kemenangan PDIP ini ternyata berbanding terbalik dengan calon presiden yang diusungnya, yakni paslon nomor urut 2 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Hasil quick count sejumlah lembaga dan real count KPU, menunjukkan perolehan suara Ganjar-Mahfud berada di urutan terakhir. Berdasarkan real count KPU dalam waktu yang sama, Ganjar-Mahfud hanya mendapat 18,02 persen suara, sedangkan Anies-Muhaimin 24,98 persen dan Prabowo-Gibran 57 persen.
Sinyal kekalahan PDIP di eksekutif membuka peluang partai ini untuk kembali menjadi oposisi. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto tidak secara tegas menyatakan PDIP akan menjadi oposisi. Namun, kata dia, partainya punya pengalaman panjang sebagai oposisi.
"Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan tahun 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri," kata Hasto dalam keterangan tertulis, Kamis (15/2).
Dari PDI Menjadi PDIP
Pada era orde baru, Presiden Soeharto menggagas penggabungan atau fusi partai politik pada 1971. Dari 10 partai pada Pemilu 1971, kemudian dirampingkan menjadi hanya 3 partai. Sejumlah partai islam sepert NU, Parmusi, Perti dan PSII bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai yang berideologi nasionalis dan di luar islam, yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Formasi PPP, PDI, dan Golkar terus dipertahankan sejak Pemilu 1977 hingga 1997. Selama periode tersebut Golkar selalu menang pemilu, PPP menduduki peringkat kedua dan PDI di urutan ketiga. Sejak kelahirannya, PDI selalu menjadi oposisi.
Sepanjang pemerintahan orde baru, PDI tak diberi cukup ruang oleh pemerintah Orde Baru untuk berkampanye. PDI dianggap sebagai partai kecil karena hanya mendapat kurang dari 30 kursi di Parlemen.
PDI juga mengalami banyak konflik yang disebabkan dari internal maupun eksternal. Pemerintah Orde Baru pun ikut terlibat dalam penyelesaian konflik tersebut. Namun, penyelesaian yang terjadi hanya menambah masalah.
Pada 1993, Caretaker PDI mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) diadakan di Surabaya. Pemerintah saat itu sempat melarang pencalonan Megawati. Namun, Megawati justru malah menang menjadi Ketua Umum PDI periode 1993-1998 melalui KLB tersebut.
Sebagian kader dan anggota menentang hingga membuat kongres tandingan di Medan dan memutuskan Soerjadi sebagai ketua umum. Akibatnya konflik semakin membesar ditambah campur tangan pemerintah yang mendukung Soerjadi. Peristiwa berdarah, kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) merupakan puncak dari konflik PDI.
Meki banyak mendapatkan tekanan, pengaruh Megawati sebagai anak Proklamator RI Soekarno justru banyak mendapatkan simpati masyarakat. Jumlah kader dan simpatisan PDI yang dipimpin Megawati pun bertambah besar.
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 PDI pimpinan Megawati berganti nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Lambang partai pun berubah dengan kepala banteng bermata merah dan mulut putih itu berada di dalam lingkaran.
Perjuangan berpuluh tahun sebagai oposisi membuahkan hasil. PDIP pun memenangkan Pemilu 1999. Kemenangan ini juga mampu mengantarkan Megawati naik menjadi wakil presiden pada 1999 dan Presiden RI pada periode 2001–2004.
Kembali Menjadi Oposisi
Sepanjang keikutsertaan PDIP dalam Pemilu, partai ini mampu meraih suara yang cukup banyak. Tercatat sejak Pemilu 1999 hingga kini, PDIP selalu masuk dalam tiga besar partai dengan suara terbanyak. Namun, hal ini tidak lantas membuat PDIP terus menerus berkuasa.
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap PDIP setelah Megawati berkuasa membuat perolehan suara partai ini menurun. Pada Pemilu 2004 PDIP harus menerima kekalahan atas Partai Demokrat dan Golkar.
Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka usung, yakni Megawati dan Hasyim Muzadi juga kalah melawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla. Usai pemilihan presiden 2004, PDIP kembali memutuskan untuk menjadi oposisi.
Meski masih masuk dalam daftar tiga partai besar, PDIP tetap menjadi oposisi pada dua kali pemerintahan SBY. Banyak kader PDIP yang menjadi kepala daerah menentang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah SBY. Perwakilan PDIP di parlemen pun sering mengkritisi dan menolak kebijakan SBY.
Setelah 10 tahun menjadi oposisi di era pemerintahan SBY, PDIP kembali bebenah. Mereka pun berhasil kembali berkuasa dengan kemenangan di parlemen dan calon presiden yang diusungnya, yakni Joko Widodo (Jokowi). PDIP mampu membayar kekalahannya dengan berkuasa 10 tahun di masa pemerintahan Jokowi.
Pada pemilu 2024, Jokowi yang dari awal menjadi kepala daerah hingga menjadi presiden diusung oleh PDIP menyatakan keluar dari partai tersebut. Namun, pengaruhnya masih cukup kuat untuk mendulang suara.
Makanya, Prabowo yang sudah tiga kali pilpres selalu kalah, kali ini berpeluang menang, salah satu faktornya karena menggaet putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangannya. Kekalahan Ganjar-Mahfud mungkin bisa membuat PDIP memutuskan untuk kembali menjadi oposisi.
Namun, saat ini kondisinya berbeda. Sebelumnya, PDIP menjadi oposisi karena kekalahan di legislatif dan eksekutif. Kini, PDIP berpeluang menang di parlemen, tapi calon presiden yang diusungnya kalah. Dengan kondisi apakah PDIP akan kembali menjadi oposisi?