Kantongi Rp 2,79 T dari IPO, Superbank (SUPA) Naik Kelas Jadi Bank KBMI 2
PT Super Bank Indonesia Tbk (SUPA) mengantong dana segar mencapai Rp 2,79 triliun dari gelaran penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO). Perolehan dana tersebut mendorong modal inti bank digital ini mencapai Rp 8 triliun hingga Rabu (17/12) sehingga dapat naik kelas untuk masuk kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI) 2.
“Secara modal kami as per today, 17 Desember 2025 kapital kami sudah Rp 8 triliun. Dari segi kualifikasi untuk KBMI 2, kami sudah masuk pada hari ini,” ujar Presiden Direktur SUPA Tigor M. Siahaan saat konferensi pers SUPA di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Rabu (17/12).
Meski demikian, menurut Tigor, pihaknya harus mengikut administrasi penyesuaian status KBMI yang berlaku di OJK. Ia menegaskan fokus utama perseroan adalah menjaga fundamental bisnis agar tetap tumbuh berkelanjutan.
SUPA akan memprioritaskan akuisisi dan layanan nasabah, peningkatan kinerja keuangan, serta penciptaan laba sebelum pajak. “Yang kita harapkan terus growing pada tahun 2026,” kata dia.
OJK sebelumnya mewacanakan kemungkinan untuk menghapus kategori KBMI 1 atau bank dengan modal inti di bawah Rp 6 triliun. Bank-bank dalam kelompok tersebut telah menerima surat imbauan dari regulator untuk memperkuat permodalan melalui konsolidasi atau langkah strategis lainnya.
Adapun imbauan tersebut telah disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae pada akhir Oktober lalu.
Dian mengatakan, kebijakan tersebut merupakan bagian dari strategi OJK untuk memperkuat struktur dan ketahanan perbankan nasional, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Menurutnya, bank-bank mini masih memiliki ruang untuk meningkatkan permodalan dan skala usaha, baik melalui penguatan organik maupun anorganik.
OJK juga meminta bank-bank KBMI 1 melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja bisnis, permodalan, kualitas aset, tata kelola, serta prospek jangka panjang. Selain itu, bank diminta mengidentifikasi opsi penguatan modal dan peluang konsolidasi yang sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Dian menilai penguatan permodalan menjadi krusial di tengah pesatnya digitalisasi perbankan, ketidakpastian ekonomi global, serta meningkatnya risiko serangan siber. Dengan permodalan yang lebih kuat, pertumbuhan perbankan yang berkelanjutan dapat terus didorong.
“Pendekatan OJK saat ini masih bersifat persuasif. Kami mendorong dan juga mempertimbangkan pemberian insentif bagi bank yang melakukan konsolidasi,” kata Dian beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, meski pengelompokan bank masih berbasis pada modal inti, OJK juga mempertimbangkan faktor lain seperti kesiapan transformasi digital, kekuatan infrastruktur teknologi informasi, keamanan siber, dan manajemen risiko. Faktor-faktor tersebut menjadi bagian dari dialog pengawasan dan akan dipertimbangkan dalam penyempurnaan kerangka pengelompokan bank ke depan.
“Kami akan melihat perkembangannya terlebih dahulu, apakah nantinya perlu diatur lebih lanjut melalui POJK atau ketentuan lain,” kata Dian.
Saat ini, pengelompokan bank berdasarkan KBMI terbagi dalam empat kategori, yakni KBMI I dengan modal inti kurang dari Rp 6 triliun, KBMI II Rp 6 triliun hingga Rp 14 triliun, KBMI III Rp 14 triliun hingga Rp 70 triliun, dan KBMI IV dengan modal inti di atas Rp 70 triliun.
