Deret Aksi Emiten EBT TOBA, ARKO hingga ARCI di 2025, Ada Kinerja Melesat 553%
Sejumlah emiten-emiten kompak memperkuat bisnisnya di segmen energi baru terbarukan (EBT). Momentum ini dimanfaatkan korporasi besar lintas sektor untuk mengamankan pangsa pasar di industri energi hijau yang tengah tumbuh pesat.
Laju bisnis energi terbarukan juga dipengaruhi rencana Danantara Investment Management (DIM) akan menjajaki peluang investasi pada sejumlah proyek listrik berbasis energi baru terbarukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan dampak sosial berkelanjutan. Selain mengikuti arah kebijakan pemerintah dalam bauran energi nasional, langkah ini juga menjadi strategi menjaga daya saing bisnis di tengah tekanan dekarbonisasi global.
Sejumlah nama besar tercatat sudah lebih agresif menggarap proyek EBT. Misalnya PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO), dan PT Arkora Hydro Tbk (ARKO). Kemudian PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) melalui anak usahanya memperkuat operasional PLTS di kawasan industri.
Lalu ada PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) memperdalam portofolio panas bumi sembari membangun rantai pasok panel surya nasional. Sementara PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) gencar mengembangkan pembangkit geothermal serta bersiap memasuki energi angin. Lalu bagaimana kinerja saham dan prospek mereka?
Kinerja saham per penutupan perdagangan BEI 2025:
| No. | Perusahaan | Harga Saham | Kapitalisasi Pasar | Kinerja Year to Date (YTD) |
| 1. | PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) | Rp 740 | Rp 6,11 Triliun | 85,93% |
| 2. | PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) | Rp 1.810 | Rp 53,20 triliun | –25,51% |
| 3. | PT Arkora Hydro Tbk (ARKO) | Rp 5.950 | Rp 17,42 Triliun | 546,74% |
| 4. | PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) | Rp 9.700 | Rp 1.297 Triliun | 4,58% |
| 5. | PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) | Rp 1.620 | Rp 40,88 Triliun | 553,23% |
| 6. | PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) | Rp 101.000 | Rp 778,26 Triliun | 172,97% |
| 7. | PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) | Rp 1.670 | Rp 208,47 Triliun | Belum Ada |
Babak Baru PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA)
TOBA memasuki babak baru transformasi bisnis yang menandai pergeseran besar dari perusahaan berbasis batu bara menuju pemain energi hijau regional. Transformasi ini menjadi pijakan penting dalam pelaksanaan peta jalan dekarbonisasi yang telah diluncurkan sejak 2021 sekaligus menegaskan ambisi TOBA untuk keluar sepenuhnya dari bisnis batu bara sebelum 2030.
Presiden Direktur TBS Energi Utama Dicky Yordan mengatakan perubahan identitas bukan sekadar pergantian nama, melainkan simbol perjalanan panjang perusahaan dalam membangun pondasi bisnis hijau yang memberikan nilai ekonomi dan sosial.
Direktur TBS Energi Utama Juli Oktarina menambahkan bahwa cadangan batu bara perusahaan diproyeksikan habis dalam dua tahun ke depan, sehingga transisi ke bisnis energi hijau terus dipercepat. “Kami sudah menyiapkan fase transisi, termasuk rencana penutupan tambang yang sesuai regulasi. Tahun depan fokus kami mendorong tiga pilar bisnis baru tadi,” kata Juli.
Untuk mendukung ekspansi, TBS mengalokasikan belanja modal hingga US$ 600 juta atau sekitar Rp 10 triliun dalam lima tahun, sejalan dengan roadmap TBS2030. Di sektor waste management, TBS memperkuat bisnis dengan mengakuisisi AMES dan ARAH Environmental Indonesia.
Kemudian TOBA juga mengembangkan ekspansi regional lewat akuisisi Sembcorp Environment di Singapura yang kini bertransformasi menjadi CORA Environment. CORA menyiapkan investasi lebih dari S$200 juta hingga lima tahun mendatang guna memperluas layanan pengelolaan limbah dan daur ulang di Asia Tenggara.
Di sisi lain saham TOBA kini berada di level Rp 740 atau turun 2,63% pada penutupan perdagangan saham 2025, Selasa (31/12) dan kapitalisasi pasarnya sebesar Rp 6,11 triliun. Secarayear to date (ytd) saham TOBA telah naik 85,93%, akan tetapi turun 11,38% dalam sebulan terakhir.
Geliat PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO)
PT Alamtri Resources Indonesia Tbk atau AlamTri (sebelumnya bernama PT Adaro Energy Indonesia Tbk/ADRO) kini berfokus pada bisnis mineral dan energi terbarukan. Hal itu usai memisahkan perusahaan bisnis batu baranya di PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI).
Selain itu, perusahaan menjalankan bisnis energi terbarukan melalui anak usahanya, PT Alamtri Renewables Indonesia. Pengembangan proyek-proyek energi terbarukan tersebut menjadi bagian dari komitmen perusahaan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia.
Adapun proyek yang tengah dan akan digarap mencakup pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kalimantan Tengah serta pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di kawasan industri Kalimantan Utara.
Di sisi lain saham ADRO kini berada di level Rp 1.810 atau turun 6,94% pada penutupan perdagangan saham 2025, Selasa (31/12) dan kapitalisasi pasarnya sebesar Rp 53,20 triliun. Secara year to date (ytd) saham ADRO merosot 25,51% dan stagnan dalam sebulan terakhir.
Aksi PT Arkora Hydro Tbk (ARKO)
Harga saham PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), emiten yang terafiliasi dengan Grup Astra, naik 546,74% sejak awal tahun atau year to date (ytd). Pada 2 Januari, harga saham ARKO Rp 915 per lembar. Kini harganya menjadi Rp 5.950 pada penutupan perdagangan saham 2025, Selasa (31/12) dan kapitalisasi pasarnya sebesar Rp 17,42 triliun.
Adapun ARKO tengah membangun dua PLTA baru. Pertama, bernama Kukusan II di Tanggamus, Lampung yang mulai dibangun pada 2022. Proyek Kukusan II ditargetkan beroperasi komersial pada 2025. Kapasitasnya 5,4 MW dengan output tahunan sekitar 35.054 MWh. Pembangkit memanfaatkan debit 5 m kubik per detik dan net head 124,6 meter dengan dua turbin Francis horizontal.
Kedua, proyek Tomoni di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang mulai dibangun pada 2024 dan diproyeksikan beroperasi pada 2026. Pembangkit berkapasitas 10 MW ini diperkirakan menghasilkan 56.940 MWh per tahun, memanfaatkan debit 11,9 m kubik per detik dan net head 95 meter, juga menggunakan dua turbin Francis horizontal.
Untuk kedepannya, ARKO telah menempatkan Proyek Pongbembe di Tana Toraja dalam daftar pipeline. Proyek PLTA tipe run-of-river ini disebut akan menjadi proyek terbesar yang pernah dikerjakan perseroan. “Ini akan menjadi proyek terbesar kami, for now. Unwrapped soon,” tulis manajemen ARKO dalam situs resminya, dikutip Senin (1/12).
PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN)
Emiten energi baru terbarukan (EBT) milik konglomerat Prajogo Pangestu berencana meningkatkan portofolio bisnisnya di bidang pengembangan pembangkit panas bumi (geothermal) mencapai 910,3 megawatt (MW) dan pembangkit listrik tenaga angin (wind farm) sebesar 78,75 MW.
Direktur Utama BREN Tan Hendra Soetjipto mengatakan, kedua lini bisnis ini masih akan menjadi fokus utama perseroan dalam jangka menengah dan panjang. Dia juga tidak menutup kemungkinan BREN akan berekspansi di sektor energi baru terbarukan (EBT) lainnya.
“Tergantung sektor-sektor lain di luar geothermal dan wind farm memberikan tingkat ekonomi return menarik atau tidak. Tapi tetap fokus kami mengembangkan portofolio itu [geothermal dan wind farm],” kata Hendrea dalam paparan publik virtual, Selasa (11/11).
BREN membidik total kapasitas pembangkit listrik mencapai 2.300 MW pada 2032. Salah satu cara mencapai target tersebut adalah dengan mengembangkan empat proyek strategis yang sedang dieksekusi. Keempat proyek tersebut adalah pertama, Proyek Wayang Windu Unit 3 dengan proyeksi tambahan kapasitas lebih dari 30 MW, ditargetkan rampung pada kuartal keempat 2026.
Kedua, Proyek Salak Unit 7 dengan tambahan lebih dari 40 MW, diproyeksikan selesai pada kuartal keempat 2026. Ketiga, Wayang Windu Unit 1 dan 2 Retrofit akan menambah 18,4 MW dan ditargetkan tuntas pada kuartal keempat 2025. Serta keempat adalah Proyek Darajat Unit 3 Retrofit akan menambah lebih dari 7 MW setelah selesai pada 2026.
Saat ini, BREN mengoperasikan tiga aset panas bumi yang berasal dari tiga proyeknya yakni, Wayang Windu, Salak dan Darajat dengan total kapasitas terpasang 710 MW. Kapasitas ini menjadikan BREN sebagai pemimpin di sektor panas bumi nasional.
Geliat Archi Indonesia (ARCI)
Emiten perusahaan pertambangan mineral emas dan perak, PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) kini bergeliat masuk ke bisnis pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal. Perusahaan di bawah kendali konglomerat Peter Sondakh lewat PT Rajawali Corpora itu bergerak cepat melebarkan sayap bisnis.
Dalam aksi terbaru, Archi Indonesia membentuk perusahaan patungan (joint venture) dengan PT Ormat Geothermal Indonesia (Ormat) bernama PT Toka Tindung Geothermal (TTG). Dalam kerja sama ini, Ormat menguasai 95% saham, sementara Archi memiliki 5% saham.
Corporate Secretary Archi Indonesia, Hidayat Dwiputro Sulaksono, menjelaskan pembentukan perusahaan patungan itu bertujuan untuk kerja sama dalam mengembangkan fasilitas panas bumi. Kerja sama ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pengeboran eksplorasi, perancangan, pengadaan, pembiayaan, konstruksi, pengujian, komisioning, hingga pengelolaan dan pemeliharaan.
Seluruh kegiatan itu akan dilakukan di dalam area konsesi pertambangan anak usaha Archi Indonesia, yaitu PT Meares Soputan Mining dan PT Tambang Tondano Nusajaya. Hidayat mengatakan, langkah ini dapat memberikan dampak positif terhadap keberlangsungan usaha perseroan dan entitas anak usaha.
“Di mana kegiatan usaha atas perusahaan usaha patungan tersebut memiliki prospek untuk dapat melakukan produksi dan penjualan tenaga listrik dengan fasilitas panas bumi,” ucap Hidayat.
Berdasarkan laporan perusahaan, PT Toka Tindung Geothermal (TTG) resmi memasuki bisnis pembangkit listrik tenaga panas bumi pada 2024. Perusahaan ini merupakan hasil kerja sama antara PT Archi Indonesia Tbk dan PT Ormat Geothermal Indonesia (Ormat), perusahaan energi terbarukan global yang telah membangun sekitar 190 pembangkit dengan total kapasitas mencapai 3.400 MW.
Selain itu TTG telah memperoleh Izin Panas Bumi (IPB) pada 13 Juni 2025, dengan lokasi proyek di Bitung, Sulawesi Utara, tepatnya di Kecamatan Ranowulu, Desa Pinasungkulan. Proyek ini menargetkan kapasitas sebesar 40 MW. Ke depannya TTG berencana melengkapi proses dengan persetujuan lingkungan dan melanjutkan eksplorasi lanjutan untuk memastikan suhu dan besaran potensi sumber daya panas bumi.
Propek Dian Swastatika (DSSA)
Emiten grup Sinarmas PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) terus mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) hingga memperkuat rantai pasok nasional berbasis teknologi rendah karbon.
Melalui anak usahanya, PT DSSR Daya Mas Sakti, DSSA menggandeng PT FirstGen Geothermal Indonesia mempercepat pengembangan portofolio sumber daya panas bumi dengan potensi kapasitas awal mencapai 440 MW. Proyek panas bumi ini tersebar di enam wilayah panas bumi strategis, yakni Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Jambi, Sumatra Barat, dan Sulawesi Tengah.
Presiden Direktur Dian Swastatika Sentosa, L. Krisnan Cahya, menyatakan bahwa sektor energi dan teknologi global tengah mengalami perubahan besar. Ia juga menyebut fokus perusahaan saat ini tidak hanya menjaga kestabilan bisnis.
Selain itu DSSA juga terus meningkatkan kontribusi energi rendah karbon dan mendukung target transisi energi nasional. Perseroan juga memperluas pengembangan industri surya melalui perusahaan patungan dengan Trina Solar Energy Development Pte. Ltd. dan PT PLN Indonesia Power Renewables.
Melalui kolaborasi tersebut, perusahaan membangun pabrik sel dan panel surya berkapasitas 1 GW per tahun di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah, yang kini telah mulai beroperasi. Produk sel dan panel surya dengan merek Dian Solar juga telah dipasarkan melalui entitas anak perusahaan.
Menjelang 2026, DSSA optimistis dengan berkembangnya pipeline proyek EBT serta meluasnya infrastruktur digital menjadi pondasi bagi perusahaan untuk menjaga kinerja positif. Dengan dukungan tersebut, DSSA menargetkan dapat memperkuat bisnisnya sebagai perusahaan energi dan teknologi terintegrasi yang adaptif dan berorientasi masa depan.
Langkah Chandra Daya (CDIA)
Semangat PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) menggarap proyek energi terbarukan dikebut melalui anak usahanya. PT Krakatau Chandra Energi (KCE) yang berada di bawah Danantara kini mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baru berkapasitas 4,7 megawatt-peak (MWp).
Presiden Direktur CDI Group Fransiskus Ruly Aryawan mengatakan, fasilitas tersebut telah mencapai Commercial Operation Date (COD) pada 17 November 2025, lebih cepat satu minggu dari target awal. Dengan beroperasinya PLTS ini, maka total kapasitas terpasang CDI Group meningkat menjadi 11 MWp.
Dia menjelaskan, energi yang dihasilkan PLTS ini akan langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kawasan Industri Krakatau, Cilegon, Banten. Menurut Fransiskus, tambahan kapasitas ini akan memperkuat posisi kawasan tersebut sebagai salah satu kawasan industri strategis nasional.
“Pengoperasian PLTS oleh KCE ini menegaskan komitmen CDI Group untuk menghadirkan infrastruktur energi yang lebih efisien, bersih dan berkelanjutan bagi sektor industri nasional,” ujar Fransiskus dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Senin (24/11).
Proyek ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang CDIA sebagai bagian dari CDI Group untuk memperkuat pilar energi melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT), sekaligus mendukung target bauran energi nasional. Fransiskus menjelaskan, fasilitas baru ini juga menambah portofolio energi terbarukan CDI Group dan berkontribusi pada percepatan transisi energi di sektor industri. PLTS ground-mounted dibangun di atas lahan seluas 5 hektare yang sebelumnya tidak produktif.
Fasilitas ini menjadi salah satu proyek strategis CDI Group yang mengoptimalkan pemanfaatan lahan melalui konversi area nonproduktif menjadi aset energi hijau. Dengan kapasitas 4,7 MWp, PLTS ini diproyeksikan mampu mengurangi emisi karbon hingga 5.086,74 ton CO?eq per tahun, setara dengan penyerapan lebih dari 243 ribu pohon per tahun.
