BNI Tegaskan Tidak Terdampak Bangkrutnya Silicon Valley Bank
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menegaskan bangkrutnya Silicon Valley Bank atau SVB tidak berdampak pada kinerja perseroan. Walaupun, sentimen penutupan SVB sempat membuat saham sektor keuangan secara global ikut terguncang, termasuk di Tanah Air.
Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengaku perseroan saat ini tidak memiliki eksposur langsung dengan bank yang berbasis di California, Amerika Serikat itu. Menurutnya model bisnis yang dijalankan perseroan sudah sangat kuat. Perusahaan memiliki rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) di atas 20%.
"Ini tentunya jauh di atas ketentuan minimum regulator dan juga lebih tinggi dari bank-bank global lainnya," kata Novita, saat konferensi pers Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BNI, Rabu (15/3).
Selain itu, Novita menyampaikan, BNI memiliki likuiditas yang baik. Hal tersebut tercermin dari rasio kecukupan likuiditas atau Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang jauh di atas persyaratan peraturan yang ditetapkan otoritas jika bandingkan dengan bank-bank di global.
Lalu, jika diliat dari liabilitas perseroaan didominasi dari pendanaan yang stabil. Di mana DPK kurang dari 10% yang berasal dari pendanaan wholeshale. Dari sisi aset, BNI 80% dari kredit dan 20% berupa obligasi.
"Memang dari porsi obligasi komposisinya 94% adalah obligasi pemerintah, dan kalau kita lihat tenornya merupakan tenor yang pendek sehingga risikonya relatif lebih rendah," kata Novita.
Novita juga mengatakan BNI selalu menjalankan bisnis dengan mitigasi risiko dan melakukan stressting secara berkala. Kemudian terkait dengan suku bunga, perseroan juga melakukan diversifikasi aset untuk mengurangi risiko.
Untuk diketahui, Silicon Valley Bank ditutup oleh otoritas setempat pada Jumat pekan lalu setelah harga sahamnya jatuh 60% sehari sebelumnya.
SVB mengalami krisis modal yang disebabkan separuh aset perusahaan disimpan di aset obligasi pemerintah terkena imbas kenaikan suku bunga tinggi The Federal Reserve. Alhasil, bank beraset US$ 209 miliar ini kolaps, menandai terjadinya krisis keuangan terbesar Amerika sejak 2008 silam.