BRI akan Perketat Kriteria Penyaluran Kredit, Ini Alasannya
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Sunarso mengatakan jika perusahaan memiliki strategi dalam menghadapi kenaikan inflasi maupun suku bunga acuan. Salah satunya memperketat loan portfolio guideline (LPG) atau kriteria portofolio pinjaman.
"BRI dalam menavigasi strateginya memperhatikan potensi untuk naikknya inflasi dan suku bunga dan nanti ada rasio likuiditas," kata Sunarso dalam konferensi pers Paparan Kinerja Kuartal I 2024, Kamis, (25/4).
Hal ini, sebut Sunarso, menimbulkan biaya tinggi dari sisi biaya dana atau cost of fund. Biaya itu akan berpengaruh terhadap kualitas kredit dan lainnya. Singkatnya, mengelola risiko-risiko yang datang dari global maupun domestik, setiap perbankan harus memiliki kemampuan melakukan simulasi.
"Simulasinya yaitu kami buat beberapa kemungkinan yang dimatrikan dengan tingkat risiko. Perkiraaan kami sampai di kuartal kedua, kita berada di risiko tinggi potensi pertumbuhan moderat," tutur Sunarso.
Dari penjelasan tersebut, Sunarso menyatakan hingga Juni 2024 mendatang BRI tetap harus ekspansi kredit namun moderat. Walau demikian loan portfolio guideline (LPG) atau pedoman pinjaman akan diperketat. Artinya kriteria-kriteria untuk menyalurkan kredit akan diperketat oleh BRI.
Lalu, BRI akan memonitoring rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) secara cermat. "Selanjutnya simulasi dan stress test harus dilakukan secara berkala," katanya. Stress test merupakan pengujian daya tahan untuk menentukan batas kritis di dalam suatu kondisi kritis.
BRI juga akan menjaga cakupan bunga atau interest coverage ratio (ICR). Sunarso menjeaskan jika terjadi pemburukan kualitas aset, maka BRI harus memperhatikan NPL Coverage Ratio atau rasio pencadangan yang harus dijaga dalam level yang tinggi.
Menurutnya sangat penting untuk bank-bank membuat stress test secara bulanan tidak hanya per kuartal dalam menghadapi kondisi ekonomi saat ini. "Bahkan yang paling penting menurut saya sudah perlu bank membentuk namanya unit banking crisis center untuk menguji simulasi," sebut Sunarso.
Kepala Divisi Riset Bursa Efek Indonesia (BEI) Verdi Ikhwan sebelumnya menjabarkan tantangan yang dihadapi oleh perbankan saat ini. Pertama, risiko inflasi di era suku bunga tinggi.
Kedua, risiko perlambatan ekonomi global. Pertambatan ekonomi Cina dan era suku bunga tinggi berpotensi menyebabkan kenaikan cost of funds sehingga dapat membatasi pertumbuhan kredit.
Ketiga, kenaikan imbal hasil instrumen safe haven. Meningkatnya ketidakpastian ekonomi global mendorong investor untuk mengalihkan kepemilikan asetnya dari aset yang berisko tinggi menuju aset yang bersifat safe haven.
Keempat, yaitu adanya tensi geopolitik. Eskalasi konfik geopolitik di Timur Tengah dapat menyebabkan terganggunya rantai pasok giobal sehingga berpotensi terjadi inflasi harga komoditas penting dunia dan perlambatan ekonomi global.
Kelima yaitu pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) melambat. DPK perbankan tumbuh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan penyaluran kredit per Februari 2024. Hal tersebut berimplikasi pada kenakan Loan to Depost Ratio (LDR) atau pengetatan likulditas sehingga menyebabkan kenaikan biaya dana.