Kesehatan Finansial Masyarakat Jadi Prioritas PBB, Ini Empat Pilar Pentingnya
Ratu Belanda Maxima mengingatkan, pentingnya kesehatan finansial atau financial health masyarakat karena dampaknya yang luas, tak hanya pada stabilitas finansial individu dan keluarga, tetapi ketahanan ekonomi nasional. Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Inklusi Keuangan dan Kesejahteraan Keuangan (UNSGSA) ini menekankan kesehatan finansial masyarakat sebagai salah satu prioritas PBB.
“Ini akan membantu keberlanjutan ekonomi jangka panjang dan menjadi jaring pengaman agar masyarakat Indonesia lebih produktif,” ujar Maxima usai berdiskusi dengan berdiskusi dengan jajaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Kamis (27/11).
Maxima menjelaskan, kesehatan finansial merupakan ukuran kemampuan seseorang atau keluarga dalam mengelola kewajiban keuangan saat ini dengan baik, serta memiliki keyakinan terhadap kondisi finansial di masa depan.
Berdasarkan data internal PBB, hampir setengah orang dewasa Indonesia memiliki tabungan, tetapi hanya satu dari empat orang yang menabung melalui bank atau dompet elektronik. Mayoritas masih mengandalkan arisan atau mekanisme informal lainnya.
Kemudian pada sisi kredit, hanya satu dari dua orang dewasa pernah meminjam uang, tetapi hanya satu dari tujuh orang yang mengakses kredit dari lembaga resmi. Sebagian besar pinjaman masih bersumber dari keluarga atau teman.
Di sektor pembayaran, adopsi QRIS mendorong perilaku non-tunai. ASPI mencatat pada 2025 terdapat 57 juta pengguna QRIS dan 39 juta merchant yang telah terhubung.
Empat Pilar Kesejahteraan Keuangan
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, konsep kesehatan finansial masih relatif baru di Indonesia, meski praktiknya sudah lazim di tingkat rumah tangga. Adapun saat ini, Indonesia masih fokus pada indikator literasi dan inklusi keuangan.
Mahendra memaparkan, empat pilar utama untuk mencapai kesehatan finansial. Pertama akses dan literasi keuangan. Pilar ini meliputi pemahaman dan akses terhadap produk keuangan seperti tabungan, kredit, pembiayaan dan layanan pembayaran. Pilar ini sejalan dengan mandat UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
“Biasanya ini yang menjadi fokus kita semata-mata dan memang di dalam undang-undang nomor 4 2023 tentang pengembangan penguatan jasa keuangan menjadi tolak ukur yang utama dalam melihat seberapa maju kemajuan inklusi keuangan dan literasi keuangan di kita,” kata Mahendra di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (27/11).
Kedua, ketahanan terhadap guncangan finansial. Menurutnya, masyarakat perlu membangun daya tahan menghadapi risiko seperti sakit, kecelakaan, atau musibah melalui dana darurat, asuransi, dan proteksi pemerintah seperti BPJS Kesehatan.
Ketiga, perencanaan keuangan jangka panjang. Dia menyatakan, termasuk kepesertaan dalam dana pensiun seperti DPLK atau BPJS Ketenagakerjaan, serta tabungan jangka panjang lainnya.
Keempat, kepercayaan diri menghadapi risiko keuangan ilegal. Meningkatkan literasi dan edukasi agar masyarakat mampu mengenali dan menolak produk keuangan ilegal atau scam.
“Kami melihat konsep ini sangat relevan dengan kebutuhan Indonesia dan OJK siap bekerja sama dengan UNSGSA,” ujar Mahendra.
