Indonesia Diterima Masuk Organisasi Global Anti Pencucian Uang
Mayoritas anggota organisasi internasional yang gencar melawan kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme, Financial Action Task Force (FATF), setuju untuk memasukkan Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut. Sebelumnya, Indonesia sempat masuk daftar hitam (blacklist) FATF sebagai negara yang rawan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Kementerian Keuangan melansir, dalam Sidang Pleno FATF yang digelar pada Jumat (23/6) di Valencia, Spanyol, sebanyak 37 anggota FATF setuju untuk memulai proses keanggotaan Indonesia. Anggota yang setuju termasuk Amerika Serikat, Inggris, Singapura, dan Malaysia. Alhasil, Presiden FATF Juan Manuel Vega-Serrano memutuskan untuk segera memproses keanggotaan Indonesia.
"Saya menginformasikan kepada Anda (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati) bahwa (keinginan Indonesia menjadi anggota FATF) ini mendapatkan dukungan bulat dan Sidang Pleno menyepakati bahwa keanggotaan seharusnya terbuka untuk Indonesia," kata tutur Vega-Serrano seperti dikutip dari keterangan pers Kementerian Keuangan, Jakarta, Minggu (2/7). (Baca juga: Ingin Ikut Badan Anti Pencucian Uang, Sri Mulyani Cari Dukungan G20)
Rencananya, pembahasan akhir mengenai keanggotaan Indonesia akan dilakukan pada Sidang Pleno FATF di Argentina, Oktober 2017 mendatang. Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti, disetujuinya proses keanggotaan Indonesia ini berkat lobi intensif yang dilakukan delegasi Indonesia.
Delegasi itu terdiri dari Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Madrid, dan Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk Jenewa.
FATF merupakan forum kerja sama internasional yang menetapkan standar global rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta hal-hal lain yang mengancam sistem keuangan internasional. Sebagai salah satu kekuatan ekonomi besar dunia dan anggota G-20, Indonesia memang dinilai sudah selayaknya berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan strategis yang dapat menentukan sistem keuangan internasional.
“Dengan menjadi anggota FATF, maka Indonesia menjadi setara dengan negara-negara maju dalam memerangi secara aktif TPPU (tindak pidana pencucian uang) dan pendanaan terorisme. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap meningkatnya kredibilitas Indonesia sebagai negara yang bermartabat di mata dunia internasional,” kata Nufransa.
Ada beberapa perkembangan positif di dalam negeri yang mendasari persetujuan FATF atas keanggotaan Indonesia, di antaranya kemajuan signifikan dalam aspek regulasi, koordinasi dan implementasi rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Kemajuan Indonesia dinilai signifikan karena telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, dan menerbitkan peraturan bersama mengenai proliferasi senjata pemusnah massal.
Pengalaman dan kapasitas Indonesia dalam isu ini juga dinilai bisa memberi nilai tambah yang signifikan bagi FATF. Nufransa memaparkan, di tingkat internasional, Indonesia adalah anggota aktif dalam The Egmont Group, Asia-Pacific Group on Money Laundering (APG), dan giat dalam mendorong kerja sama Financial Intellegence Unit (FIU) Indonesia dengan FIU negara-negara lain.
Selain itu, Indonesia juga juga turut menyusun Regional Risk Assessment on Terrorism Financing yang pertama di dunia, menginisiasi National Risk Assessment on Money Laundering/Terrorist Financing, dan menyusun AML/CFT Perception Index yang pertama di dunia.
Menurut Nufransa, Indonesia berkomitmen untuk memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi anggota FATF, termasuk dengan menyelesaikan proses Mutual Evaluation Review (MER), sebagai bukti kepatuhan Indonesia terhadap rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.