Presiden Jokowi "Sentil" Jonan Soal Go-Jek
KATADATA - Kontroversi kebijakan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang melarang layanan angkutan umum berbasis online mulai mendapat perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Presiden akan memanggil Jonan.
"Saya segera panggil Menhub," kata Jokowi dalam cuitannya yang diungggah ke akun Twitter @jokowi, sekitar pukul 11.00 WIB, Jumat (18/12). Berbeda dengan Jonan, Presiden menilai layanan ojek masih dibutuhkan masyarakat. Meski perlu penataan, dia menganggap, peraturan tersebut jangan sampai membuat rakyat susah. "Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata."
Saat ditanya wartawan di Istana Bogor, Jokowi menjelaskan selain dibutuhkan masyarakat, aturan yang dibuat jangan sampai mengekang inovasi. Apalagi aplikasi ini dibuat anak-anak muda Indonesia yang kreatif. Menurut Jokowi saat ini yang perlu dibuat adalah aturan transisi supaya keselamatan dan keamanan lebih terjamin.
Sebelumnya, para ekonom juga menyoroti dan mengkritik keras kebijakan pelarangan layanan kendaraan umum berbasis online oleh Kementerian Perhubungan. Ekonom Senior dan pendiri Creco Consulting Raden Pardede mengatakan teknologi yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas tidak bisa dilarang. Sebaliknya teknologi yang merugikan masyarakat luas harus diatur atau dilarang oleh pemerintah. Menurut Raden, Indonesia harusnya menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang cepat. "Kalau tidak ya ketinggalan. Bagai katak dalam kuali berisi air yang dipanaskan pelan-pelan," kata Raden.
Sebelumnya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengirimkan surat kepada Kapolri meminta adanya tindakan terhadap kendaraan pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum. Dalam suratnya bertanggal 9 November 2015, Jonan menyebutkan berbagai layanan pemesanan kendaraan online seperti Go-Jek, Go-Box, Grabbike, Uber, Blu-Jek dan Lady-Jek. Alasannya, pengoperasian kendaraan pribadi untuk angkutan umum tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 74/2014.
Ekonom Senior Destri Damayanti mengatakan di tengah ekonomi dengan daya beli masyarakat yang lemah, semestinya pendapatan masyarakat bawah harus ditingkatkan. Keberadaan layanan kendaraan berbasis online sangat membantu meningkatkan daya beli masyarakat. "Tahun depan ekonomi kita masih berat," kata Destry. "Keberadaannya (layanan kendaraan berbasis online) akan sangat membantu mendorong daya beli."
Alasan Menteri Perhubungan bahwa layanan angkutan umum online tidak sesuai peraturan juga dinilai tidak tepat. Ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya mengatakan peraturan harusnya menyesuaikan inovasi dan bisnis model baru. Ia mencontohkan Filipina yang memperbolehkan Uber beroperasi dengan alasan memberikan manfaat besar pada masyarakat luas. Menurut Berly, larangan beroperasi bagi angkutan online tidak hanya berdampak pada Go-Jek atau Grabbike, tapi juga ojek pangkalan yang sudah puluhan tahun beroperasi.
Layanan kendaraan berbasis online selama ini menjadi transportasi alternatif bagi masyarakat di kota-kota besar. Go-Jek misalnya, kini telah memiliki 200 ribu pengemudi di lima kota besar. Di Jakarta saja ada sekitar 100 ribu pengemudi. Aplikasi layanan ojek ini sudah diunduh lebih dari 6 juta kali.
Ekonom Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo menilai layanan transportasi online tidak bisa dilarang selama pemerintah belum bisa menyediakan angkutan umum yang memadai. Ia membandingkan layanan transportasi online dengan penjual bensin eceran. Menurut Rimawan penjual bensin eceran muncul karena tidak semua lokasi terdapat SPBU. Apalagi sebagian besar SPBU ada di pulau Jawa. Jadi walaupun melanggar hukum, keberadaan penjual bensin eceran dibiarkan pemerintah. "Sama dengan Go-Jek. Pertanyaan saya, memang pemerintah menyediakan sarana transportasi publik apa?"