Untung Rugi Redenominasi yang akan Ubah Rp 1.000 Jadi Rp 1
Wacana kebijakan redenominasi alias penyederhanaan digit mata uang, misalnya mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1 kembali muncul dalam rapat dengan DPD RI pekan lalu. Rencana ini tak melulu memberi dampak positif, tetapi juga memiliki risiko negatif yang perlu diantisipasi.
BI menyebut Indonesia sebetulnya sudah siap secara teknis untuk melaksanakan redenominasi sejak 2019 atau sebelum Covid-19. Perekonomian dan politik saat itu juga sangat stabil.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menjelaskan, persiapan teknis saat itu sudah dilakukan hingga level ritel. Skema price tagging juga sudah ditentukan, misalnya dengan mengubah pecahan Rp 50.000 menjadi Rp 50.
Hal itu disampaikan Destry menanggapi pertanyaan anggota DPD RI soal nasib wacana redenominasi. Rencana ini mandek bertahun-tahun di tengah dilematis, apakah perubahan tersebut benar-benar berdampak positif atau sebaliknya?
Ekonom yang juga Direktur Eksekutif CORE Indonesia menjelaskan, penyederhanaan digit mata uang akan meningkatkan kredibilitas nilai tukar. Penghapusan tiga nol misalnya, akan membuat rupiah secara psikologis lebih kuat.
"Mempermudah teknis transaksi juga. Jika nominalnya lebih sedikit, maka akan lebih mudah dalam hal pencatatan akuntansinya," kata Faisal, Senin (19/6).
Urgensi untuk penyederhanaan proses akuntansi inilah yang juga menjadi alasan Kementerian Keuangan pada 2019 lalu mengusulkan adanya RUU redenominasi dalam rencana strategis 2020-2024. Redenominasi akan membantu menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan dalam APBN.
Alasan lainnya, redenominasi diharapkan dapat mendorong efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, mengurangi risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena jumlah digitnya lebih sedikit.
Meski demikian, Faisal melihat redenominisasi tak melulu menghasilkan dampak baik. Risiko ekses negatif seperti lonjakan harga-harga barang atau jasa, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap uang yang mereka pegang, hingga kepanikan jika proses perubahan tersebut tidak direncanakan dan disosialisasikan dengan matang.
"Apalagi, jumlah penduduk kita banyak, mencapai lebih 200 juta dan mereka memegang uang, di sisi lain sebagian besar mereka berpendidikan menengah bawah, tantangan besarnya di situ," kata Faisal.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti juga menyinggung soal kekhawatiran inflasi yang menjadi salah satu alasan dibalik redenominasi yang mandek. Ia menyebut bukan tidak mungkin ada pihak yang mencoba mengambil untung dengan melakukan manipulasi psikologis terhadap harga barang.
Ia mencontohkan, barang x sebelum redenominasi bernilai Rp 50 ribu, tetapi karena redenominasi tiga nol maka seharusnya harga berubah menjadi Rp 50. Namun aksi nakal dengan mengubah harganya menjadi Rp 75 bisa saja dilakukan dengan memanipulasi pembeli bahwa seolah harganya tetap jauh lebih murah dari harga sebelum redenominasi.
Di sisi lain, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, belum ada urgensi untuk mengeksusi rencana redenominasi saat ini. Dia menilai redenominasi justru akan memakan biaya yang cukup besar.
Menurut dia, redenominasi memang akan menyederhanakan pencatatan akuntansi. Namun demikian, akan ada 'biaya' yang timbul karena aktivitas seperti perdagangan internasional perlu menyesesuaikan dengan denominasi yang baru.
"Saya rasa memang tidak ada keuntungan yang signifikan dengan redenominasi ini, sementara kebutuhan atau cost untuk eksekusi itu justru cukup besar karena perlu persiapan panjang padahal belum ada urgensi yang betul-betul mendesak," kata Riefky, Jumat (16/6).