Fakta Lesunya Ekonomi Cina: Deflasi hingga Perang Diskon Makanan
Cina mengalami deflasi 0,3% secara tahunan pada Juli. Harga-harga barang dan jasa di ekonomi dunia terbesar kedua ini menurun dibandingkan tahun lalu seiring keengganan masyarakat untuk berbelanja atau daya beli yang menurun.
Permintaan yang menurun memicu perang harga di antara rantai restoran kelas bawah di Cina. Di restoran Nanchengxiang di Beijing, pelangganmemanjakan diri dengan sarapan prasmanan dengan tiga jenis bubur nasi, sup asam dan pedas, dan susu . Semuanya hanya seharga 3 yuan atau setara Rp 6.300, dengan asumsi kurs Rp 2.100 per yuan.
"Banyak pilihan bagus dan murah bermunculan selama pandemi," kata Gao Yi, 71 tahun, sambil berbagi sarapan dengan cucunya di salah satu dari 160 gerai di ibu kota Cina.
Ia mengatakan, tidak semuanya bertahan lama. Namun, selalu ada penawaran harga yang bagus. "Anda hanya perlu keluar untuk menemukannya," kata dia.
Para analis khawatir kondisi saat ini merugikan bisnis kecil yang berjuang untuk mengikuti diskon yang ditawarkan oleh pemain besar.
Seperti yang disaksikan oleh Jepang pada 1990-an, deflasi - jika berkepanjangan - dapat membebani pertumbuhan ekonomi.
"Kesepakatan yang bagus diperlukan untuk mendapatkan konsumen sehingga ada banyak tekanan pada bisnis ini untuk menemukan margin," kata Ben Cavender, direktur pelaksana di China Market Research Group di Shanghai.
Tidak seperti di negara-negara Barat, orang Cina sebagian besar dibiarkan mengurus diri sendiri secara finansial selama pandemi. Sementara dukungan pemerintah diarahkan terutama ke sektor manufaktur. Adapun begitu pembatasan dicabut, tidak ada pembelian langsung dari konsumen seperti yang diprediksi oleh beberapa ekonom.
Dengan upah dan uang pensiun yang hampir tidak berubah disertai pasar kerja sangat tidak pasti, selera belanja masyarakat terbatas. Kepercayaan masyarakat pun rendah seiring ekonomi yang hampir tidak tumbuh.
"Strategi diskon, menawarkan konsumen pilihan yang lebih hemat, cocok dengan situasi ekonomi saat ini," kata Zhu Danpeng, seorang analis makanan dan minuman dan wakil kepala Aliansi Promosi Keamanan Pangan Provinsi Guangdong.
Outlet pusat Nanchengxiang penuh sesak pada hari Kamis (10/8), seperti yang terjadi setiap pagi sejak promo makanan 3 yuan diluncurkan pada Mei. Perusahaan tidak menanggapi pertanyaan Reuters tentang margin keuntungan dan strategi bisnis mereka.
Xishaoye, waralaba burger yang berbasis di Beijing, juga mengiklankan harga yang lebih rendah. Staf mereka mengatakan beberapa barang akan semurah 10 yuan atau setara Rp 21 ribu. Yum China (9987.HK), operator KFC di negara tersebut, memikat pelanggan dengan menu burger, makanan ringan, dan minuman seharga 19,9 yuan atau setara Rp 21 ribu.
"Lalu lintas kembali, tetapi pengeluaran per orang turun," kata Joey Wat, kepala eksekutif Yum, kepada Reuters.