Mengenal Sosok Sultan Muhammad Salahuddin, Pahlawan Nasional dari Tanah Bima
Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025 menjadi momentum bersejarah bagi Indonesia, termasuk bagi masyarakat Bima dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dalam upacara peringatan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan 10 tokoh baru yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, salah satunya Sultan Muhammad Salahuddin.
Salahuddin merupakan tokoh penting dalam sejarah Kesultanan Bima, salah satu kerajaan Islam tertua di Kepulauan Sunda Kecil, yang berada di bagian timur Pulau Sumbawa, NTB.
Kesultanan Bima didirikan pada abad ke-17, tepatnya pada 7 Februari 1621 Masehi. Tanggal tersebut bertepatan dengan masuk Islamnya raja terakhir Kerajaan Mbojo Bima, La Kai, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir sebagai sultan pertama.
Sejak saat itu, Kesultanan Bima dipimpin oleh 14 sultan, dengan Sultan Muhammad Salahuddin sebagai sultan terakhirnya.
Mengubah Keadaan Politik dan Pemerintahan
Mengutip catatan sejarah dan arsip, Sultan Muhammad Salahuddin adalah putra Sultan Ibrahim. Ia naik tahta pada 1915 dan melakukan berbagai pembaruan dalam bidang politik, pemerintahan, dan pendidikan.
Selama pemerintahannya, Sultan Salahuddin mendirikan sekolah Islam di Raba dan Kampo Suntu, serta membangun masjid di setiap desa dalam wilayah Kesultanan Bima.
Ia juga membentuk peradilan urusan agama yang disebut Badan Hukum Syara, serta berupaya mengurangi pengaruh Hindia Belanda melalui perjuangan dan pembentukan organisasi yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Pada 1 Februari 1947, ia mengembalikan Kejenelian Dompu menjadi Kesultanan Dompu sebagai penyeimbang antara Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa. Sementara Kejenelian Sanggar memilih tetap menjadi bagian dari pemerintahan Bima.
Atas persetujuan Sultan Sumbawa dan Sultan Dompu, Sultan Muhammad Salahuddin diangkat menjadi Ketua Dewan Raja Pulau Sumbawa, yang kemudian bersama-sama mendeklarasikan bergabung dengan Republik Indonesia sebagai Federasi Pulau Sumbawa.
Punya Ilmu Pengetahuan yang Luas
Sejak kecil, Muhammad Salahuddin telah mendapat pendidikan agama dan pemerintahan dari para ulama dan pejabat istana. Ia menekuni ilmu tauhid, politik, Al-Qur’an, dan hadis, serta dikenal sebagai murid yang rajin dan cerdas.
Dalam catatan Sejarawan Bima, Sultan Salahuddin memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi buku karya ulama besar, termasuk Imam Syafi’i.
Berkat akhlak dan kecerdasannya, pada 2 November 1899, ia diangkat sebagai Putra Mahkota oleh Majelis Hadat. Kemudian pada 23 Maret 1908, ia menimba pengalaman pemerintahan dengan menjabat sebagai Jeneli Donggo (setingkat camat).
Setelah ayahnya wafat pada 1915, Sultan Salahuddin mulai aktif di pemerintahan dan secara resmi menjadi Sultan Bima XIV pada 1917, memimpin hingga 1951 Masehi.
Setia kepada Negara
Pasca kemerdekaan Indonesia, Sultan Muhammad Salahuddin menunjukkan loyalitas tinggi terhadap Republik Indonesia.
Pada 22 November 1945, ia mencetuskan Pernyataan Jiwa Rakyat Bima, yang berisi dukungan penuh terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
“Pemerintah Kerajaan Bima berdiri di belakang pemerintahan Negara Republik Indonesia,” demikian bunyi pernyataan Sultan Muhammad Salahuddin dalam arsip sejarah Bima.
Dalam pernyataan tersebut, ia juga menegaskan bahwa segala hubungan pemerintahan di wilayah Bima bersifat langsung dengan pusat pemerintahan Republik Indonesia, bukan melalui struktur kolonial atau pemerintahan asing.
