ANALISIS DATA

Mengejar Transisi Energi Berkelanjutan
di Kelistrikan


Katadata Insight Center
10 September 2020, 12.00

Foto: 123rf

Di tengah masalah kelistrikan pada masa pandemi, pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) semakin penting untuk ditingkatkan.


Pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara telah membangkitkan kesadaran publik dunia mengenai pentingnya pembangunan berkelanjutan jangka panjang. Pandemi bukan hanya berdampak buruk bagi kesehatan, melainkan juga memicu pengangguran dan kemiskinan. Guna mencegah krisis serupa di masa depan, berbagai lembaga dunia, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dana Moneter Internasional (IMF) dan World Economic Forum (WEF) mendorong pemulihan ekonomi yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan, termasuk penggunaan energi baru dan terbarukan di sektor energi.

Karena itu, energi baru dan terbarukan (EBT) tengah menjadi tren dunia. The Internasional Renewable Energi Agency (IRENA) dan para investor global, bahkan mendorong percepatan investasi energi terbarukan. Bukan hanya di Eropa, banyak negara lain, seperti Vietnam, India, Australia, China juga tengah agresif membangun pembangkit berbasis EBT dalam jumlah besar.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sudah memiliki target bauran energi untuk pembangkit listrik dengan memanfaatkan EBT sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Hingga akhir 2018, proporsi bauran EBT dalam pembangkit listrik masih sekitar 14 persen atau 9 GW. Padahal, Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, mencapai lebih dari 440 GW. Potensi itu mencakup tenaga panas bumi, angin, matahari, air dan lainnya. Meskipun potensi berlimpah, sayangnya pemanfaatan EBT belum maksimal.

Target Bauran Pembangkit EBT Mencapai 23% di 2025 dan 31% di 2031

Mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), rata-rata pengembangan pembangkit listrik EBT baru sebesar 500 MW per tahun selama empat tahun terakhir. Jika tidak ada upaya serius dan konsisten dari para pemangku kepentingan, kapasitas pembangkit EBT hanya akan tumbuh sebesar 2,5 GW pada 2025. Ini berarti akan ada gap sebesar 9-10 GW untuk mencapai target bauran energi 23 persen.

Meski begitu, pemerintah berkeyakinan bisa mengejar target tersebut. "Kami bertekad untuk memenuhi target bauran energi dan konservasi energi. Selain untuk menopang pertumbuhan ekonomi, juga untuk mengejar penurunan emisi gas rumah kaca," ujar Staf Ahli Kementerian ESDM, Sampe L Purba dalam Webinar Katadata, SAFE Forum 2020: The Transition Toward Sustainable Energy, Rabu (26/8).

Kapasitas Pembangkit EBT Pada 2018 Baru Mencapai 14%

Sumber: Outlook Energi Indonesia, 2018.

Tantangan Bagi Investasi Kelistrikan

Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

Sejumlah kalangan mengkhawatirkan Indonesia akan sulit memenuhi target bauran energi tersebut. Selain faktor kesenjangan yang masih besar, kekhawatiran itu dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat, serta permintaan energi yang menurun sehingga akan berpengaruh pada pemenuhan target energi terbarukan.

Permasalahan berikutnya adalah kondisi PLN yang dihadapkan pada kendala keterbatasan dana untuk berinvestasi di sektor kelistrikan. Pada 2016, beban biaya yang ditanggung PLN melonjak hingga 13 persen akibat pembelian tenaga listrik yang mencapai Rp 59,7 triliun.

Gross Margin Semakin Dalam

Sumber: Laporan Keuangan PLN 2019.

Beban biaya dan utang yang ditanggung PLN pun semakin besar. Tekanan akibat tarif listrik yang belum berubah sejak 2017, pendapatan yang tergerus beban usaha, beban bahan bakar yang terus naik, dan selisih kurs (unrealised loss) menjad penyebab

Suntikan Subsidi dan Kompensasi Menjadi Penyelamat

Di sisi lain, ketidakpastian regulasi menjadi tantangan investasi kelistrikan. Pengembang mengeluhkan bahwa pembangunan pembangkit yang membutuhkan modal besar (capital-intensive) masih juga harus berhadapan dengan persyaratan administrasi yang rumit.

Investasi menjadi semakin mahal akibat perizinan yang masih terkendala aturan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang tidak sinkron, regulasi yang tumpang tindih antara kementerian dan pemerintah pusat-daerah, dan bahkan seringkali ada konflik kepentingan.

Salah satu regulasi yang menjadi tantangan adalah Peraturan Presiden No. 14/2017 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Pengembang menganggap komposisi kepemilikan pembangkit antara PLN: Swasta sebesar 51 : 49 tidak menarik.

"Namun, kebijakan tersebut hanya satu dari beberapa hal yang dapat menghambat investasi IPP oleh pihak investor. Hal lainnya terkait dengan persyaratan-persyaratan tender, tarif di daerah yang bersangkutan, isu terkait logistik dari input material dan sebagainya," kata Presiden Direktur PT Adaro Power Wito Krisnahadi, sebagai salah satu IPP kepada tim riset Katadata Insight Center (KIC).

Kendala teknis dalam investasi juga mencakup investasi pada pembangkit EBT. Kendala ini tercermin pada realisasi pendanaan proyek EBT yang masih minim. Apalagi saat ini, skema penentuan harga listrik EBT masih mengacu pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit listrik energi fosil.

Solusi Pengembangan EBT di Pembangkitan

Foto: ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA

Menanggapi keresahan dari investor pemerintah berniat mengeluarkan regulasi khusus untuk memacu perkembangan transisi energi. Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Hariyanto memastikan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembelian tenaga listrik EBT dalam tahap finalisasi dan akan diluncurkan dalam waktu dekat.

“Esensi dari rancangan Perpres tersebut pertama terkait harga. Kami harapkan ini bisa menarik investor,” bebernya menjawab pertanyaan juga di sesi webinar bersama Katadata beberapa waktu lalu.

Fokus dari Perpres nantinya akan berfokus pada pemeberlakuan skema tarif khusus untuk EBT dan pemberian sejumlah insentif ataupun kompensasi. Harapannya, hal ini bisa menjadi stimulus untuk menjadikan pembangkit EBT sebagai opsi yang lebih menguntungkan dibanding pembangkit berbahan bakar fosil.

"Terkait insentif dan kompensasi energi terbarukan, salah satu contohnya adalah di bidang eksplorasi panas bumi. Selama ini biaya masih cukup tinggi. Diharapkan kompensasi dapat menurunkan tarif sehingga kompetitif," ujar Hariyanto.

Selain perbaikan regulasi, untuk mengejar target bauran pembangkit EBT, upaya lain yang perlu dilakukan adalah kolaborasi antara PLN dengan pengembang pembangkit swasta atau independent power producer (IPP). Pada 2018, kapasitas pembangkit swasta baru mencapai 13, 64 GW.

Kontribusi Pembangkit Swasta Masih Perlu Ditingkatkan

Sumber: RUPTL PLN 2018-2019

Berdasarkan RUPTL 2019-2028, dari kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit sebesar 56,4 GW, diharapkan IPP dapat berkontribusi dalam penyediaan 33,7 GW atau sekitar 60 persen.

Sementara kondisi saat ini, baru ada sekitar 767 pembangkit dikelola oleh IPP dengan total kapasitas mencapai 16,1 GW atau baru 28 persen dari kapasitas pembangkit listrik nasional. Hal ini menunjukkan masih besarnya peluang swasta untuk lebih ambil peran dalam mendukung pengadaan pembangkit.

“Perlu peran serta dari swasta khususnya dalam pembangunan pembangkit karena nilainya yang besar. Belum lagi bicara mengenai target energi terbarukan. Selain modal yang dibutuhkan besar, juga terkait teknologi. Sehingga, sulit bagi PLN untuk jalan sendiri,” ujar Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah kepada tim riset KIC, Januari lalu.

Kontribusi Pembangkit Swasta Masih Perlu Ditingkatkan

Sumber: Kementerian ESDM, 2019

Dengan adanya dukungan swasta di pembangkit, PLN akan memiliki kelonggaran untuk lebih fokus pada pembiayaan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi pada 2019 – 2028 yang juga membutuhkan investasi sangat besar.

Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) pun menyambut baik peluang ini. Mereka juga melihat mulai banyak investor yang mulai melirik pengadaan pembangkit EBT di Indonesia. “Kami siap berkolaborasi lebih banyak lagi sehingga transisi energi yang bersifat berkelanjutan bisa terus dipercepat,” ujar ketua APLSI Arthur Simatupang dalam sesi Webinar Katadata, SAFE Forum 2020: The Transition Toward Sustainable Energy, Rabu (26/8).

***

(Artikel ini dibuat berdasar laporan komprehensif bertajuk ‘Kolaborasi Menuju Transisi Energi Berkelanjutan’ yang bisa diunduh di sini)