Mitigasi Risiko Bencana di Rumah Susun
Sepanjang 2015-2023, pemerintah telah membangung 65.235 unit rumah susun (rusun), mengacu pada Informasi Statistik Infrastruktur PUPR 2023. Puluhan ribu unit rumah tersebut memiliki risiko kebencanaan yang tinggi. Berdasarkan World Risk Index 2023, Indonesia merupakan negara tertinggi kedua yang memiliki risiko bencana setelah Filipina. Situasi ini menandakan bahwa rumah-rumah susun tersebut perlu memiliki pengelolaan bencana yang maksimal.
Meminjam analisis Tom Horlick-Jones, seorang ahli risiko dan perilaku manusia, risiko dapat diartikan sebagai kegagalan teknologi, kondisi alam, maupun aktivitas sosial. Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa kepadatan penduduk pun dapat memperparah situasi ini, terutama jika tidak memiliki teknologi terbaru, kondisi alam tertentu, dan perilaku manusia yang meningkatkan risiko bencana.
Salah satu kawasan padat penduduk di kampung kota dengan risiko bencana tinggi adalah rumah susun. Rusun tidak hanya berpotensi mengalami keberbahayaan dari bencana yang kerap terjadi seperti kebakaran, gempa bumi, panas berlebihan, korsleting listrik, hingga angin kencang, dan masih banyak lainnya. Melainkan juga kondisi dan teknologi rusun yang belum disesuaikan dengan standar keselamatan terbaru, fasilitas pencegahan dan sistem informasi kebencanaan, dan aktivitas sosial tertentu.
Rumah susun di Indonesia telah hadir sejak masa Orde Lama. Permukiman model ini juga dilanjutkan pada masa Orde Baru dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pada masa itu, persyaratan pendirian rusun dan teknologi kebencanaan dalam rusun tidak sebaik saat ini. Padahal, banyak rusun yang dibangun sejak masa Orde Baru masih digunakan.
Perawatan rusun terkini pun perlu dicek kembali, khususnya dalam menyediakan peralatan pengurangan risiko serta penanganan bencana. Contohnya, alat pemadam kebakaran, alat pendeteksi asap, kemampuan desain bangunan dalam menghadapi gempa, titik evakuasi, dan masih banyak hal lainnya. Oleh karena itu, perlu dicek kembali kondisi bangunannya dan diberikan fasilitas pencegahan dan pengurangan risiko bencana.
Selain itu, persepsi tentang bahaya dan bencana, aktivitas sosial, dan kemampuan warga dalam menghadapi bencana juga berpengaruh pada tinggi-rendahnya risiko yang dihadapi.
Pertama, persepsi tentang bahaya dan bencana. Jika warga tidak memiliki persepsi seberapa besar potensi risiko bencana yang akan dihadapi maka persiapan yang dilakukan pun tidak akan maksimal. Kedua, aktivitas sosial yang berpotensi meningkatkan atau menurunkan risiko bencana, seperti, cara warga menggunakan alat listrik, kompor, tata letak furnitur di dalam rumah dan sebagainya.
Hal itu belum termasuk kemampuan warga dalam menghadapi bencana. Kemampuan politik ekonomi dan modal sosial warga berpengaruh terhadap daya resiliensi warga dalam menghadapi bencana. Oleh karena itu, memastikan bahwa warga kota berdaya menjadi salah satu pekerjaan penting bagi pemerintah kota dalam mengatasi bencana.
Terakhir, tata kelola kependudukan. Sebelumnya disebutkan bahwa kepadatan penduduk juga akan berpengaruh terhadap peningkatan risiko bencana. Hal ini menandakan bahwa distribusi kependudukan juga perlu diatur secara merata di level nasional dengan melakukan pembangunan wilayah berkeadilan.
Pengurangan Risiko Bencana Secara Holistik
Persoalan kondisi dan teknologi bangunan, persepsi bencana dan perilaku warga, dan tata kelola kependudukan yang dapat meningkatkan risiko bencana tersebut perlu diminimalisasi secara holistik atau multi-sektor. Paulus Wirutomo, sosiolog Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa pembangunan holistik bukanlah pembangunan yang dibagi pada setiap sektor melainkan pembangunan yang mencakup semua elemen sosial, yakni elemen struktural, kultural, dan prosesual.
Elemen struktural merupakan segala sesuatu yang mengikat dan memaksa subjek untuk melakukan sesuatu. Bentuknya bisa berupa kondisi alam, struktur bangunan dan tata kota, serta regulasi di berbagai level pemerintah. Melalui elemen struktural ini, kita dapat menyusun regulasi dan standardisasi bangunan sesuai dengan kondisi alam dan kebutuhan warga. Selain itu, harus ada regulasi yang mendorong peningkatan modal ekonomi, politik, dan sosial karena inilah yang membantu kemampuan warga dalam melakukan resiliensi atas bencana yang sedang dihadapi.
Elemen kultural yaitu nilai, kebiasaan, dan tradisi yang biasa dilakukan oleh warga. Dalam konteks kebencanaan, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah nilai-nilai kepekaan terhadap bencana dan budaya solidaritas dan aksi kolektif dalam menghadapi situasi genting. Memupuk budaya ini tentu tidak mudah karena relasi antarwarga di dalam satu permukiman juga rawan konflik. Oleh karena itu, dalam mengembangkan budaya ini kita memerlukan regulasi di level RT/RW maupun elemen lain yakni prosesual.
Elemen prosesual adalah dinamika interaksi antarwarga. Pada elemen ini, relasi kebertetanggaan, komunikasi antarwarga, dapat digunakan untuk meningkatkan nilai-nilai kewaspadaan terhadap kebencanaan dan meningkatkan solidaritas. Meskipun demikian, dalam pengurangan risiko kebencanaan, perlu ada konten dan agensi yang menjadi stimulan dalam menyebarkan nilai-nilai kepekaan dan cara menghadapi bencana. Hal inilah yang perlu disusun bersama dengan warga.
Digitalisasi
Untuk mengubah elemen prosesual, kultural, dan struktural, kita memerlukan partisipasi dari warga yang bukan menempatkan mereka sebagai objek sosialisasi, melainkan menjadi bagian dari pembuatan konten kebencanaan. Bahan ini juga dapat menjadi acuan dalam meningkatkan kepekaan, aktivitas sosial advokasi kebijakan pembangunan permukiman dan pemenuhan fasilitas mitigasi bencana di rusun yang dapat disebarkan kepada semua warga melalui beberapa media sosial.
Kurniawan, Sutan, Nurmandi, Loilatu & Salahudin (2021) menjelaskan, media sosial menjadi ruang untuk memberikan informasi terkini tentang bencana, distribusi bantuan, berkoordinasi dan mengkritik pemerintahan. Namun, tidak semua sosial media dapat menjadi acuan persebaran kebencanaan karena tergantung dari gelembung algoritma dan keinginan warga untuk membuka sosial media. Oleh karena itu, dalam meningkatkan penanganan bencana kita memerlukan penyebaran konten dengan media yang melekat pada warga seperti pesan instan daring, yakni WhatsApp group.
Untuk menghasilkan konten secara partisipatif tersebut, Tim Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Indonesia bekerja sama dengan serikat SINDIKASI Jabodetabek, menyusun program pembuatan konten kebencanaan pada Rumah Susun Harum Tebet, Jakarta.* Pada salah satu sesi, tim pengabdian melakukan focus group discussion untuk menggali permasalahan kebencanaan yang dialami oleh warga. Berikutnya, warga difasilitasi oleh Tim Pengabdian kepada Masyarakat dan SINDIKASI Jabodetabek untuk menghasilkan konten-konten kebencanaan sesuai dengan yang dialami dan dibutuhkan oleh warga.
Dengan adanya pembuatan konten ini, diharapkan agar warga dapat memiliki ikatan emosi yang kuat dengan konten kebencanaan sehingga materi yang mereka buat akan lebih mudah terinternalisasi oleh mereka maupun warga lainnya.
*) Kegiatan ini merupakan bagian dari Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Indonesia dengan judul “Peningkatan Persepsi dan Mitigasi Risiko Kebencanaan Bagi Pekerja Lepas Perempuan di Rumah Susun Harum Tebet, DKI Jakarta” dengan Nomor:PKS-58/UN2.PPM/HKP.05.01/2024
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.