Pelajaran yang dapat Dipetik Indonesia dari Perang Alpukat di Meksiko dan Chili

Mohamad Ikhsan
Oleh Mohamad Ikhsan
5 Maret 2025, 07:00
Mohamad Ikhsan
Katadata/ Bintan Insani

Ringkasan

  • Permintaan alpukat AS meningkat drastis, menguntungkan petani Meksiko dan Chili namun merugikan petani AS. Impor alpukat membanjiri pasar AS dan menekan harga, konsisten dengan teori ekonomi Stolper Samuelson Theorem.
  • Lonjakan ekspor alpukat memicu kriminalitas di Meksiko dan kelangkaan air di Chili akibat kegagalan fungsi pasar. Kelompok gangster di Meksiko mengontrol produksi dan ekspor alpukat, sementara privatisasi air di Chili menimbulkan masalah baru.
  • Pemerintah yang efektif berperan penting dalam menjamin keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kegagalan pemerintah menyediakan barang publik seperti hukum dan ketertiban berdampak negatif, terutama bagi kelompok miskin.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Salah satu episode dalam serial dokumenter Rotten di Netflix berjudul “Avocado War.” Episode perang alpukat tersebut sangat menarik dan relevan dalam konteks Indonesia. Bercerita tentang sisi positif dan negatif kenaikan permintaan alpukat di Amerika Serikat (AS) yang berimbas pada kenaikan impor dari Meksiko dan Chili. 

Kenaikan ini berawal dari perubahan diet ke “makanan sehat” seiring fenomena obesitas dan peningkatan penyakit jantung di AS. Alpukat, menurut sejumlah riset, dianggap sebagai makanan sehat karena memiliki “lemak baik” dan kaya antioksidan. Perubahan ini mendorong peningkatan konsumsi alpukat AS secara dramatis dari 1 kg per kapita per tahun pada 1990 menjadi 4 kg per kapita per tahun pada 2023.

Awalnya, pemerintah AS memproteksi petani alpukat dengan menutup pasar impor. Kebutuhan domestik sepenuhnya dipenuhi dari sumber dalam negeri, yaitu dari California. Namun, pasokan dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan, sehingga mendorong pemerintah membuka pasar alpukat dari sumber eksternal (impor). 

Alhasil, alpukat impor membanjiri pasar AS dan menekan harga alpukat. Bagi konsumen ini memberikan keuntungan signifikan. Begitu pula dengan petani produsen di Meksiko dan Chili. Namun, tentu ada yang dirugikan, yaitu petani alpukat AS, seperti yang diceritakan dalam serial tersebut. Mereka terpaksa beralih ke komoditas lain yang bisa menutupi biaya produksi. 

Gambaran empiris ini konsisten dengan prediksi teori ekonomi Stolper Samuelson Theorem. Teorema ini menyatakan dengan asumsi spesifik tertentu, seperti constant returns to scale, perfect competition, equality of the number of factors to the number of products. Bahwa kenaikan harga relatif suatu barang akan mendorong kenaikan tingkat pengembalian riil pada faktor produksi yang digunakan secara intensif dalam produksi barang tersebut. Begitupun sebaliknya. 

Dalam kasus Meksiko, pembukaan pasar ekspor menyebabkan kenaikan harga relatif alpukat. Hal ini menyebabkan kenaikan tingkat pengembalian dari harga tanah dan upah, sehingga secara teoritis meningkatkan kesejahteraan petani alpukat.

Cerita berbeda dalam kasus Chili. Hal ini dikarenakan ada faktor produksi lain yang cukup intensif digunakan dalam produksi alpukat yaitu air. Sekitar 80% dari volume alpukat adalah air. Implikasinya, peningkatan produksi alpukat menyebabkan kenaikan permintaan akan air secara signifikan. 

Dengan cadangan air yang terbatas, kenaikan ini menyebabkan kelangkaan air di luar kegiatan produksi alpukat. Persoalannya, di Chili privatisasi hak kepemilikan air yang disarankan kelompok “Chicago Boys” telah menimbulkan persoalan yang dinamakan “theory of commons” atau dikenal juga sebagai “tragedy of the common goods.”

Sampai di sini, cerita serial dokumenter ini kelihatannya baik-baik saja dan tidak cocok dengan judulnya yaitu “Rotten” yang dalam Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang buruk. Lalu apa yang tidak baik dari fenomena lonjakan impor alpukat di AS ini? 

Cerita dalam seri ini kemudian beralih kepada pengalaman petani alpukat di Meksiko dan Chili. Awalnya, film ini bercerita bagaimana lonjakan ekspor telah meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan produksi dan penciptaan lapangan kerja di provinsi-provinsi di kedua negara tersebut. 

Namun, kenaikan permintaan alpukat AS juga menimbulkan implikasi negatif, yakni fenomena kriminalitas di Meksiko dan kelangkaan air di Chili. Kedua efek negatif tersebut muncul karena mekanisme pasar tidak berfungsi secara sempurna. Penyebabnya, institusi pemerintah yang seharusnya menjamin mekanisme pasar bekerja, tidak berfungsi seperti yang diharapkan.

Kasus Meksiko: Ketiadaan “Law and Order”

Kesepakatan NAFTA pada 1994 telah menyebabkan boom produksi alpukat di Meksiko, khususnya Provinsi Michoacan. Grandmaison and Martinez (2024) mencatat apa yang terjadi antara 1994-2002:

  • Produksi meningkat 213% dari hanya 0,8 juta ton menjadi 2,53 juta ton
  • Yield pun ikut meningkat 8,6 ton per hektare menjadi 10,8 ton per hektare
  • Nilai produksi riil (dalam nilai peso Meksiko 2022) naik 528% dari 10,11 miliar peso menjadi 63,45 miliar peso
  • Harga yang diterima petani alpukat pun naik secara riil (dalam nilai peso Meksiko 2022) sebesar 68%
  • Penggunaan lahan yang ditanami alpukat juga naik 173%

Perkembangan produksi ini memberikan dampak pada penurunan insiden kemiskinan dari 41,2% (2010) menjadi 37,2% (2020). Lambatnya penurunan kemiskinan ini berasosiasi dengan meningkatnya rasa tidak aman (insecurity). Ini tergambarkan dari kenaikan tingkat pembunuhan dari 17 per 100.000 penduduk pada 2005 menjadi 54 per 100.000 penduduk.

Insiden pembunuhan dan penculikan (extortion) yang berkaitan dengan kegiatan produksi alpukat meningkat. Hal ini sebetulnya merefleksikan bahwa kelompok gangster Meksiko sedang meng-“exercise” kekuasaannya kepada para petani alpukat di Provinsi Michoacan. Tujuannya agar petani memenuhi “rules and regulation” yang mereka terapkan.

Kelompok gangster ini makin cerdas. Seperti yang dilaporkan majalah The Economist edisi 11 Mei 2023 dan harian New York Times edisi 4 Mei 2022, mereka memanfaatkan posisi monopoly power dalam pasar alpukat. Caranya seperti ditunjukkan dalam buku teks ilmu ekonomi internasional, yakni dengan mengatur jumlah produksi dan ekspor alpukat ke pasar internasional. 

Dalam posisi dominan, kelompok gangster ini mengatur agar jumlah produksi dan ekspor alpukat berada pada kisaran biaya marginal yang sama dengan penerimaan marginal atau MR=MC. Di Indonesia, praktik ini pernah dilakukan BPPC pada pemerintahan Soeharto awal 1990an dalam monopoli perdagangan cengkeh atau pengaturan produksi jeruk Pontianak. 

Dalam kasus Meksiko, fungsi negara sebagai pemasok “rules and regulations” bergeser ke tangan kelompok preman. Kelompok ini menyadari bahwa fungsi mereka sebagai pengelola “rules and regulations” bersifat temporer sehingga mereka berlaku seperti “roving bandit.” Istilah ini meminjam Profesor Mancur Olson dalam Power and Prosperity. Artinya, mereka ingin memaksimumkan rente secepat mungkin. 

Kasus di Meksiko menunjukkan salah satu bentuk kegagalan pemerintah, bahwa mekanisme pasar tidak dapat berfungsi tanpa eksistensi hukum dan hak atas properti (property right). Hukum memberikan basis bagi penerapan aturan main termasuk pemberian hukuman (penalti) bagi pelaku ekonomi yang melanggarnya. 

Hukum dan pendefinisian property right merupakan barang publik dan domain dari pemerintah. Sejarah ekonomi mengajarkan kita bahwa revolusi industri berjalan dengan sukses sehubungan dengan pelaksanaan hukum (law and order) yang memberikan keamanan dan kepastian (security) bagi sektor bisnis untuk beroperasi. 

Kasus Chili: Kesalahan dalam Penetapan Property Right

Air tanah adalah barang atau sumber daya bersama yang tersedia dan dapat dikonsumsi oleh siapa saja. Tragedy of the commons terjadi ketika barang tersebut menjadi langka akibat konsumsi yang berlebihan, sehingga barang tidak tersedia bagi seluruh masyarakat. 

Salah satu solusi untuk alokasi barang bersama ini adalah mengubah kepemilikan barang tersebut menjadi barang privat. Hak penggunaan air ditransfer kepada individu sehingga pengelolaan atau penggunaan sumber daya (dalam hal ini air) dapat dibatasi kepada yang mendapatkan hak tersebut. 

Dengan mentransfer hak, maka alokasi barang tersebut, sama halnya barang privat, adalah mekanisme permintaan dan penawaran (invisible hand). Inilah yang dilakukan Chili dengan memprivatisasi hak pengelolaan air. 

Lalu apa salahnya? Mentransfer barang bersama seperti air kepada individu tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Mengapa? Karena air tanah tergolong langka dan jumlahnya terbatas, air tanah pun mempunyai eksternalitas negatif. Eksploitasi berlebihan menyebabkan sumber air tanah di luar wilayah pengusahaan yang mendapatkan hak pun akan terganggu pula.

Menyelesaikan eksternalitas negatif memerlukan regulasi. Regulasi yang efektif membutuhkan kekuatan penegakan hukum yang efektif, dan pada akhirnya memerlukan pemerintah yang efektif. 

Jadi sekali lagi, kasus Chili dalam menyelesaikan common good problems dengan privatisasi barang bersama menjadi kepemilikan privat tidak akan menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan efek samping yang lain. Penyelesaian kegagalan pasar dengan solusi privat tetap saja memerlukan fungsi pemerintah yang efektif. 

Pelajaran untuk Indonesia

Cerita di atas sangat relevan dalam konteks Indonesia khususnya pada era Reformasi. Pertama, seperti yang ditulis Chief Economist Financial Times Martin Wolf di edisi 18 Februari 2025: civilized societies depend on institution. The more complex the society, the more vital those institutions (including the government and its rules and regulation). Institutions provide stability, predictability and security.

Bahkan ekonom neoklasik seperti Milton Friedman atau Gary Becker menyatakan pentingnya pemerintah dalam fungsi tertentu. Misalnya, penyediaan barang publik dalam menjamin mekanisme pasar bisa berjalan secara efektif. Demikian pula jika kita mengikuti pandangan ekonom yang lebih mengarah kepada paham Keynesian, seperti Joseph Stiglitz, Dani Rodrik, atau Paul De Grauwe yang menekankan tentang keterbatasan mekanisme pasar.

Growth Commission yang diketuai pemenang nobel ekonomi Michael Spence dan beranggotakan prominent persons—seperti pemenang nobel ekonomi Bob Solow, mantan PM Singapura Goh Chok Tong, mantan Wapres Indonesia Boediono—menyimpulkan, pemerintahan efektif kunci dalam menentukan keberhasilan suatu negara tumbuh secara konsisten dan inklusif. Kesimpulan ini dihasilkan setelah mengamati 13-15 negara yang berhasil tumbuh di atas 6% secara konsisten selama 30 tahun.

Dua cerita dalam kasus ini memberikan contoh, bahwa fungsi mekanisme pasar dan pemerintah bukan merupakan substitusi, melainkan komplemen. Untuk membuat mekanisme pasar menjadi efektif dan efisien membutuhkan sektor pemerintah yang efektif pula. 

Investasi yang dinamakan sebagai market supporting and augmenting public goods menjadi keharusan. Market supporting public goods adalah yang esensial, antara lain iklim berusaha dan penegakan hukum (law and order). Ketiadaan barang publik ini menyebabkan rendahnya kepercayaan para pelaku ekonomi. Kemudian yang juga terjadi adalah pengucilan sosial (social exclusion) terhadap kelompok rumah tangga miskin. 

Sementara kelompok market augmented public goods adalah jenis barang publik yang walau mekanisme pasar berjalan dengan baik, tidak mampu disediakan dengan tingkat yang tepat oleh sektor privat. Umumnya adalah barang jasa seperti pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur dasar. Komplementaritas dari barang publik tersebut sangat tinggi dan menghasilkan tingkat pengembalian ekonomi yang lebih tinggi pula

Contoh di atas juga terjadi di Indonesia. Pemerintah kerap gagal dalam menyediakan market supporting public goods. Misalnya, kurangnya kepastian hukum—dalam kasus ekstrem dan fundamental berupa rendahnya pengakuan hak milik (property right)—kerap terjadi di Indonesia.

Akibatnya, pelaku ekonomi tidak bisa membuat kalkulasi analisis biaya manfaat. Mereka normalnya mereka adalah penghindar risiko (risk averse) sehingga tidak melakukan investasi. Implikasinya, investor asing terutama investor bereputasi baik akan menghindari Indonesia. Begitupula pelaku domestik tidak mau dan tidak berani melakukan investasi new and future goods and services.

Kegagalan pemerintah menjalankan fungsinya dalam menjamin property right ini menyebabkan pasar, baik finansial atau barang, tidak berjalan dengan baik. Ini terlihat dari selisih suku bunga pinjaman dan deposit Indonesia yang relatif tinggi dengan negara lain di kawasan atau yang relatif sebanding. 

Salah satu penyebabnya, risiko institusional yang dihadapi lembaga finansial di Indonesia tergolong sangat tinggi dibandingkan yang ditanggung oleh lembaga serupa di kawasan. Kabar anekdotal yang beredar di kalangan firma hukum di Indonesia menyebutkan, hanya 30-40% keputusan pengadilan yang sudah berketetapan, dapat dieksekusi secara efektif.

Konsekuensinya adalah lembaga finansial di Indonesia terpaksa harus menggunakan jasa debt collector (yang sebetulnya merupakan tipe lain dari gangster) untuk memulihkan jaminan asetnya karena lembaga penegak hukum formal tidak efektif.

Maraknya aktivitas premanisme di kawasan industri dapat dikatakan menyerupai atau mengarah seperti kasus di Meksiko. Premanisme ini seakan dibiarkan aparat penegak hukum, sehingga tidak ada yang menjamin fondasi mekanisme pasar untuk berjalan dengan baik.

Yang perlu disadari pula, bahwa fungsi pemerintah yang tidak efektif akan berdampak distributif juga. Pemerintah yang tidak efektif cenderung regresif. Artinya, beban dari ketidakefektifan pemerintah akan dirasakan lebih besar oleh kelompok rumah tangga miskin dibandingkan kelompok rumah tangga bukan miskin. 

Secara nalar, hal ini bisa dijelaskan dengan mudah. Mekanisme pasar tidak akan mampu mengatasi masalah kemiskinan. Sejarah menunjukkan, hanya dengan pemerintah yang efektif, kemiskinan dapat diturunkan atau dihilangkan. Kalau pemerintah tidak berfungsi dengan baik, tingkat kemiskinan tidak turun.

Bagaimana dengan konteks penegakan hukum dan premanisme terhadap kemiskinan? Studi yang dilakukan Chioda (2017) menunjukkan, kuatnya asosiasi antara kemiskinan dan premanisme. Premanisme berkembang subur di tengah kemiskinan. Pada saat yang sama, rumah tangga miskin akan sukar keluar dari perangkap kemiskinan jika insiden premanismenya tinggi.

Kedua, saya ingin memberikan contoh saat menjadi mahasiswa Universitas Indonesia pada 1980an. Pada waktu itu, saya kerap mengamati perilaku preman—entah bagian dari gerombolan copet atau parkir liar. Mereka ini kerap minum “secara paksa” teh botol (tidak membayar) dari penjual teh botol di depan Masjid ARH di kampus UI Salemba.  

Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi saya pun bertanya berapa botol yang harus direlakan oleh sang penjual, dan berapa botol keuntungannya per hari. Hitungan saya saat itu—kalau tidak salah—mereka harus mengorbankan 30-40% dari keuntungannya untuk “pajak preman.” 

Dugaan saya hal ini berlaku kepada para penjual makanan (food stall) di kota-kota termasuk di Jakarta. Pajak ini tentu lebih besar dari yang dibayarkan oleh perusahaan formal. Premanisme membuat waktu berjualan penjual kaki lima semakin terbatas. Tidak ada konsumen yang berani untuk makan di atas pukul 22.00 di daerah yang dikenal banyak premannya.

Ada perbedaan pokok lain antara rumah tangga miskin dan rumah tangga mampu dalam menghadapi ketiadaan law and order ini. Rumah tangga kaya dapat mempraktikkan apa yang dikemukakan oleh Profesor Albert Hirschman sebagai voice, exit, and loyalty. Mereka dapat melatih kekuatannya melalui voice—dalam bentuk komplain atau memboikot membayar pajak. 

Selanjutnya, mereka akan mempertimbangan sikapnya: loyal jika voice-nya di dengar, atau exit (dengan migrasi atau #kaburajadulu, jargon yang kini populer di media sosial). Sementara untuk rumah tangga miskin opsi ini tidak tersedia. Mereka pasrah terhadap keadaan dan pada akhirnya terjebak dalam perangkap kemiskinan.

Masalah ketidakefektifan pemerintah ini diperparah dengan perbedaan persepsi oleh birokrasi dan apa yang diinginkan oleh investor. Di kepala birokrat, kepastian hukum diterjemahkan semua perlu regulasi. Padahal, yang dimaksud adalah stabilitas dan prediktabilitas dari kebijakan dan regulasi tersebut. Belum lagi studi ini juga menunjukkan regulasi yang buruk menyebabkan cost of doing business lebih tinggi di Indonesia

Law and order adalah padanan yang tidak terpisahkan. Gejala hilangnya ketertiban menyebabkan mafia, preman, bandit, dan korupsi makin merajalela. Kalau dibiarkan, kita bisa mengarah menjadi Meksiko atau bahkan Venezuela. Bisnis geng/preman/mafia kini bukan lagi hanya obat-obatan terlarang, tetapi sudah mengarah pada business extortion dan anti competitive practices.

Kalau kita mau tumbuh tinggi, law and order yang efektif adalah keniscayaan.

Mohamad Ikhsan
Mohamad Ikhsan
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...