Pertanyaan tentang Nasionalisme dan Orang Indonesia?


Isu nasionalisme kembali mencuat seiring viralnya tagar #KaburAjaDulu di platform media sosial. Salah satunya dari Bahlil Lahadalia yang mempertanyakan nasionalisme orang-orang yang “pergi” dari Indonesia. Meskipun belakangan pernyataan tersebut berasal dari video pada 2023, ketika dia masih menjabat sebagai menteri investasi, yang menjawab pertanyaan wartawan mengenai fenomena WNI yang berpindah kewarganegaraan.
Terlepas dari konteks pernyataan tersebut, momen ini memantik diskusi mengenai nasionalisme dan hubungan rakyat dengan institusi negara. Apa itu nasionalisme? Apakah nasionalisme itu terbatas dalam suatu wilayah tertentu? Atau orang yang pindah ke luar negeri otomatis hilang rasa nasionalismenya? Lalu, siapa itu orang Indonesia?
Apa itu Nasionalisme?
Ada beragam konsep nasionalisme dari yang lampau hingga modern. Konsep nasionalisme lampau mencakup berbagai bentuk kesadaran kolektif yang muncul sebelum konsep negara-bangsa (nation-state) terbentuk secara formal. Nasionalisme ini acapkali berbasis pada identitas etnis, agama, kerajaan, atau loyalitas terhadap kelompok tertentu.
Kini, konsep nasionalisme modern lebih menekankan pada keterikatan warga negara terhadap negaranya berdasarkan prinsip kewarganegaraan, demokrasi, serta identitas nasional. Ini semua dibentuk oleh sistem pendidikan, media massa, hingga kebijakan negara itu sendiri.
Menurut Benedict Anderson, nasionalisme adalah sebuah komunitas imajiner (imagined community). Artinya, sebuah bangsa tidak selalu terikat pada batas negara secara fisik. Lebih dari itu, bagaimana suatu kelompok membayangkan diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar tersebut, dalam hal ini adalah sebuah negara.
Sejalan dengan konsep Ben tersebut, Ernest Renan berpendapat bahwa nasionalisme adalah kehendak bersama untuk hidup bersama sebagai satu bangsa, yang didasarkan pada sejarah dan pengalaman bersama.
Oleh karena itu, kita bisa mengenal konsep nasionalisme yang melampaui batas negara atau yang disebut dengan nasionalisme transnasional. Bentuk ini tidak terbatas pada satu negara saja, tetapi melintasi batas-batas negara karena faktor sejarah, budaya, agama, etnisitas, atau ideologi politik.
Fenomena ini muncul akibat globalisasi, migrasi, serta keterhubungan masyarakat melalui teknologi dan media sosial yang semakin canggih. Contohnya, kelompok etnis atau bangsa yang tersebar di berbagai negara masih mempertahankan ikatan nasionalisme dengan negara asalnya.
Misalnya orang Tionghoa perantauan (Overseas Chinese) yang tetap memiliki hubungan emosional dengan Tiongkok meskipun tinggal di berbagai negara. Selain itu kita bisa melihat adanya nasionalisme yang berlandaskan identitas keagamaan dan menyatukan kelompok di berbagai negara, seperti gagasan tentang solidaritas umat Muslim di seluruh dunia. Bahkan, kita bisa melihat Indonesians yang sudah lama tinggal di luar negeri memiliki perasaan emosional yang kuat terhadap negara asalnya.
Lalu, pertanyaannya, siapakah orang Indonesia? Apakah warga Indonesia hanya orang-orang yang mencari nafkah di dalam negeri saja? Atau kelompok politisi yang menganggap dirinya nasionalis sejati? Apakah pemain sepakbola naturalisasi adalah orang Indonesia dan memiliki nasionalisme? Atau apakah masyarakat keturunan India, Cina, Arab yang tinggal di Indonesia bukan Indonesia? Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dari berbagai perspektif, baik hukum, sejarah, sosial, maupun budaya.
Secara hukum, “orang Indonesia” adalah individu yang memiliki kewarganegaraan Indonesia, baik melalui kelahiran maupun proses hukum lainnya. Jika orang tersebut sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia, maka bisa dipastikan orang tersebut adalah warga Indonesia. Termasuk atlet yang melewati proses naturalisasi dan disahkan oleh lembaga negara.
Walaupun demikian, konsep “orang Indonesia” sebagai identitas nasional tidak bisa disederhanakan begitu saja. Jika melihat sejarah, identitas nasional ini berkembang sejak perlawanan terhadap kolonialisme.
Sebelum abad ke-20, penduduk Nusantara lebih mengidentifikasi diri berdasarkan kesukuan, kerajaan, atau agama (misalnya, Jawa, Minangkabau, Bugis, atau Muslim-Hindu-Buddha). Baru pada Sumpah Pemuda 1928, konsep “Indonesia” sebagai bangsa yang bersatu mulai dideklarasikan.
Indonesia adalah negara multikultural dengan lebih dari 1.300 suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah. Ini menunjukkan bahwa “orang Indonesia” tidak memiliki satu identitas tunggal, melainkan terbentuk dari keberagaman budaya, agama, dan tradisi. Konsep Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) menggambarkan bahwa menjadi orang Indonesia berarti menjadi bagian dari suatu identitas nasional yang plural dan inklusif.
Nasionalisme Inklusif
Nasionalisme hari ini tidak bisa lagi hanya dimaknai sebagai loyalitas terhadap negara secara kaku. Dengan adanya media sosial, migrasi global, dan kerja sama internasional, individu kini memiliki identitas ganda sebagai warga negara dan juga sebagai bagian dari komunitas global. Untuk itu negara harus meresponnya dengan bijak untuk urusan dalam negeri maupun urusan luar negeri.
Dalam kajian politik, kewargaan (citizenship) tidak hanya soal paspor atau dokumen legal, tetapi juga tentang siapa yang diakui dan mendapatkan hak penuh sebagai bagian dari negara. Beberapa kelompok, seperti diaspora Indonesia di luar negeri, tetap merasa “orang Indonesia”, meskipun mereka jauh dari tanah airnya. Bahkan ada juga yang sudah menjadi warga negara asing tapi masih cinta terhadap Indonesia (misalnya eksil).
Sebaliknya, ada juga kelompok minoritas di dalam negeri yang merasa terasing dari identitas kebangsaan karena diskriminasi atau eksklusi sosial. Hal ini dipicu dari identitas “orang Indonesia” yang kompleks karena adanya isu rasial, agama, dan politik yang kadang membatasi siapa yang dianggap sebagai “bagian dari bangsa” itu sendiri.
Misalnya, konflik pendirian rumah ibadah, perayaan hari besar agama minoritas, dan konflik pameran usaha UMKM non-halal yang masih banyak ditemui. Tak hanya itu, juga nepotisme terhadap suatu kelompok dapat menimbulkan kecemburuan sosial diantara masyarakat.
“Nasionalisme Indonesia” bukan hanya soal kewarganegaraan, tetapi juga soal rasa memiliki dan diakui dalam komunitas nasional. Untuk itu, negara harus hadir untuk mengatasi itu semua dalam memastikan setiap warga mendapatkan perlakuan yang sama.
Jangan sampai “nasionalisme lampau” melampau identitas nasional atau nasionalisme sebagai bangsa. Negara harus hadir dalam mencegah kebangkitan nasionalisme etnosentris, di mana kelompok mayoritas dalam suatu negara mendominasi kebijakan nasional dan menekan kelompok minoritas.
Di sisi lain, negara harus memandang diasporanya sebagai “orang Indonesia” yang selalu berkarya untuk bangsa dan tidak cepat menyederhanakan nasionalisme seseorang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.