Mengapa Kekerasan oleh Negara Berulang Kali Terjadi?

Febby R. Widjayanto dan Agie Nugroho Soegiono
Oleh Febby R. Widjayanto - Agie Nugroho Soegiono
17 September 2025, 06:05
Febby R. Widjayanto dan Agie Nugroho Soegiono
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia telah menyaksikan berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan negara. Dari kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek yang terlindas kendaraan rantis Brimob, penangkapan aktivis yang menyuarakan perbaikan demokrasi, hingga penyerangan kampus di Bandung.

Semua kejadian tersebut mencerminkan terorisme oleh negara (state terrorism). Menurut ilmuwan politik, keamanan, dan terorisme, Richard Jackson (2010), state terrorism adalah penggunaan ancaman, paksaan, dan kekerasan oleh aktor negara—baik aparatur sipil, keamanan, maupun pejabat politik—untuk mengintimidasi dan menebar ketakutan pada masyarakat sipil.

Kekerasan-kekerasan yang dilakukan negara, mulai dari penggunaan senjata, pembunuhan, penculikan, penghilangan paksa, hingga penganiayaan, kerap kali menjadi instrumen sistematis untuk mempertahankan status quo politik. Dalam praktiknya, terorisme oleh negara relatif digunakan untuk melindungi rezim konservatif atau populis, dan tidak jarang diarahkan kepada kelompok oposisi yang kritis serta menolak tunduk pada kediktatoran. Ironisnya, praktik semacam ini justru menempatkan negara pada posisi diametral yang berhadapan langsung dengan warga negaranya sendiri.

Mengapa Terjadi Terorisme oleh Negara?

Terorisme oleh penyelenggara negara kerap terjadi karena beberapa hal. Pertamakekerasan dijadikan sebagai ungkapan kefrustrasian atas ketidakmampuan aktor-aktor negara dalam menyelesaikan masalah ekonomi yang kronis, khususnya di negara otoriter. 

Alih-alih memperbaiki perekonomian, rezim lebih sibuk menggunakan kekerasan dengan dalih menjaga kewibawaan negara. Langkah ini dianggap lebih mudah daripada bekerja keras mengandalkan modalitas dan kapasitas yang terbatas untuk merancang kebijakan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan. 

Tidak mengherankan, sebuah studi ekonomi politik menunjukkan bahwa rezim otoriter memang rentan dilanda krisis ekonomi karena ketiadaan akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam konteks kondisi perekonomian, kecenderungan tersebut tampak jelas: negara memilih tampil represif guna menutupi ketidakmampuannya mengatasi problem ekonomi yang sebenarnya.

Kedua, terorisme negara juga sengaja dilakukan agar ketakutan kolektif menjadi norma yang utama dalam masyarakat. Dalam sebuah bab tulisan, Ruth Blakely—seorang akademisi yang berfokus pada kajian terorisme negara—menyebutkan bila terorisme negara tidak hanya tentang upaya menghancurkan mereka yang menjadi sasaran (seperti aktivis, atau kelompok oposisi yang bersuara kritis), tetapi juga aksi yang didorong dengan maksud untuk menebar rasa ngeri bagi orang lain; atau, agar warga sipil dipaksa untuk mengubah perilaku agar tunduk secara buta pada negara.

Cara ini dirasa jauh lebih ampuh dan bekerja efektif dengan cara menciptakan intimidasi dan ketakutan bagi semua masyarakat sipil dengan hanya menargetkan beberapa kelompok yang dianggap vokal dan berpengaruh. Taktik ini dipilih karena cukup menyasar sebagian kelompok masyarakat, namun dapat menciptakan efek kecemasan ke seluruh populasi.

Semenjak dulu, terorisme negara selalu dilakukan dengan kejam. Di masa lampau, aksi ini  melibatkan hukuman fisik seperti pemotongan tangan atau cambuk. Sedangkan korbannya diarak, ditampilkan, dan dipermalukan di muka umum. Ini agak mirip dengan yang terjadi sekarang karena orang-orang yang ditangkap adalah yang dianggap bertentangan dengan negara. Tujuannya agar—secara tidak langsung—menjadi tontonan sekaligus memberi pesan ke masyarakat sipil bahwa mereka yang kritis akan ditindak dengan kekerasan oleh negara.

Terlebih lagi, terorisme negara acapkali lebih brutal dibandingkan terorisme yang dilakukan oleh kelompok kriminal atau oposisi yang non-negara. Berbeda dengan kelompok teroris non-negara, terorisme negara jauh lebih berbahaya karena pengoperasiannya ditopang oleh struktur kekuasaan yang solid dan permanen, serta didukung dengan sumber daya  yang begitu melimpah.

Sifatnya juga struktural karena beroperasi di tengah bobroknya sistem hukum dan lemahnya kontrol sipil. Hal ini hanya akan mereproduksi kekerasan serta terorisme oleh negara secara terus-menerus. Misalnya, selama UU Polri justru memberikan ruang yang besar bagi kontrol polisi atas sipil, maka reproduksi kekerasan dan terorisme akan terus terjadi terhadap warga sipil.

Pengalaman di Amerika Latin pada 1980-an mirip dengan Indonesia, baik di era orde baru atau pun saat ini. Kala itu, berbagai organisasi yang berfokus pada perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) mendokumentasikan terorisme oleh negara di Amerika Latin dan Asia. 

Kekerasan itu mencakup penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan secara diam-diam, serta pemenjaraan tanpa proses pengadilan. Ini menyiratkan bahwa setelah reformasi 1998, nyatanya negara tidak berbenah secara fundamental.

Kajian dari Adhi Priamarizki (2019) yang berjudul “old wine in a new bottle” mengungkapkan dua hal penting mengapa terorisme dilakukan negara, dan musabab gagalnya reformasi di tubuh aparat yang berkaitan dengan pemangkasan kekerasan (yang tidak perlu) serta menghasilkan aparat yang humanis. 

Negara sendiri menggunakan ketakutan massal dan menyebar teror untuk meniadakan suara-suara kritis. Sedangkan reformasi tidak berjalan karena kultur lama yang korup warisan orde baru tidaklah hilang, melainkan hanya berubah tampilan luarnya saja. Misal, jargon profesionalisme aparat sering didengungkan dan  tertuang dalam dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh lembaga kepolisian; namun, praktiknya masih sangat jauh dari kata ideal. 

Dalam studi yang sama diungkapkan, tuntutan publik yang berisikan pembenahan institusi keamanan dianggap dapat mengganggu kenyamanan akses para elit-elit ekonomi (oligarki), politik, dan militer terhadap sumber daya—yang selama ini dipelihara melalui praktik penyelewengan kekuasaan seperti kronisme, kartel, korupsi, kolusi, serta nepotisme.

Terjadinya terorisme oleh negara berarti adanya pelanggaran kontrak sosial antara negara dengan masyarakat sipil. Implikasinya, legitimasi publik terhadap negara pun rawan hilang. Padahal, legitimasi adalah unsur terpenting dalam negara demokrasi. 

Kegagalan Pelembagaan Demokrasi

Bekerjanya sistem demokrasi tidak hanya ditentukan dari keberadaan mekanisme pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil.

Akan tetapi, bagi Juan Linz (seorang akademisi ternama dalam studi demokrasi) esensi dari demokrasi tidaklah berhenti pada keberhasilan penyelenggaraan suksesi kepemimpinan melalui pemilu semata, melainkan bagaimana mengelola konflik, perdebatan, serta perbedaan pandangan yang ada di dalam masyarakat maupun antarwarga sipil dengan negara melalui pelembagaan yang baik sebagai bagian dari kontrak sosial (pembuatan aturan dan hukum yang berpihak pada kepentingan publik, serta menjalankan hukum tersebut dengan berbasiskan pada asas kesetaraan dan keadilan)—dengan  berorientasi pada minimalisasi kekerasan.

Parahnya, aksi teror oleh negara terlihat sangat gamblang dari bagaimana sekelompok polisi memberondong kampus dan mahasiswa di Bandung dengan tembakan peluru dan gas air mata. 

Ini adalah salah satu contoh tidak berjalannya aturan sesuai asas kesetaraan yang menjadi landasan negara hukum. Di Pasal 8 dan 54 dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Kebebasan Akademik misalnya—termaktub bahwa kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan sivitas akademika (baik dosen dan mahasiswa) di perguruan tinggi dijamin oleh hukum.

Artinya, perguruan tinggi sebagai ruang berlangsungnya pendidikan dan pengajaran yang memiliki kebebasan mimbar akademik tidak dibenarkan untuk menjadi sasaran kekerasan negara atas alasan apa pun. 

Sebab, Undang-undang ini pun juga tidak terbukti bertentangan dengan Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945—sebagai sumber hukum tertinggi. Mengabaikan aturan ini sama halnya negara  bertindak di atas hukum. Sedangkan dalam negara hukum (rule of law), tidak ada satu pihak pun yang dikecualikan dari hukum. Artinya, terorisme oleh negara jelas merupakan pelanggaran hukum.

Pelembagaan demokrasi di Indonesia yang masih lemah membuktikan bila demokrasi di Indonesia masih dipraktikkan sebatas pada keberadaan penyelenggaraan pemilu yang merupakan prasyarat minimum saja (bare minimum)—sekalipun pemilihan umumnya juga mengandung masalah malpraktek dan kecurangan, juga belum menyentuh aspek kelembagaan secara substantif.

Aksi terorisme seperti ini menggambarkan pola pengelolaan konflik dan kritik yang disikapi dengan respon militeristik dan otoriter. Pola seperti ini jika terus dibiarkan hanya akan semakin memperuncing friksi yang terjadi antara masyarakat sipil dan negara. 

Sebab, absennya dialog menyebabkan munculnya krisis politik. Jika sudah demikian krisis yang terus-menerus terjadi dapat berujung pula pada krisis hak asasi manusia karena merajalelanya perampasan hak-hak sipil atas kebebasan dari ancaman, paksaan, serta kekerasan. Implikasinya, keadaan negara berisiko menjadi negara gagal (failed state) atau bahkan bubar (collapsed state).

Padahal, demokrasi dibangun melalui pengelolaan dan penyelesaian konflik yang ditempuh dengan berbagai alternatif yang lahir dari perdebatan dan dialog antara masyarakat sipil dan penyelenggara negara. 

Itulah mengapa sistem demokrasi disebut sebagai governance by reasons—yakni tata kelola pemerintahan yang diselenggarakan dengan berdasarkan pada logika, rasionalitas, data, serta analisis untuk menjamin terciptanya akuntabilitas, transparansi, serta efisiensi—dan bukanlah sistem yang dibangun dari favoritisme, kesukaan atau ketidaksukaan pribadi, bias personal, kekerabatan dinasti, reaksi emosional, dan keputusan yang sewenang-wenang. 

Proses ini pada akhirnya menciptakan kepastian hukum dan stabilitas politik yang menjadi syarat utama bagi distribusi kesejahteraan publik sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Tantangan Masyarakat Sipil: Apa yang Harus Diperbuat?

Sebagai pemegang kedaulatan dalam negara demokratis, warga negara berhak untuk memberikan reaksi yang keras terhadap praktik kekerasan negara. Gerakan yang relevan dapat diwujudkan dalam bentuk aktivisme warga yang disengaja (deliberative activism), yakni gerakan dengan tuntutan yang konsisten, massif, dan berkesinambungan. 

Saat ini, tuntutan 17+8 warga sipil Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri memerlukan perhatian serta pengawalan kolektif agar dipenuhi oleh penyelenggara negara. Namun, agar gerakan tersebut tidak berhenti pada simbol atau sekadar momentum, masyarakat sipil dihadapkan pada sejumlah tantangan mendasar. 

Pertama, akses terhadap informasi dan kebenaran harus dijamin. Tanpa transparansi dan keterbukaan data, warga sulit membangun argumen kritis serta melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Kedua, ruang kebebasan sipil wajib terus diperjuangkan. Kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat adalah fondasi demokrasi; ketika ruang itu dipersempit melalui intimidasi maupun kriminalisasi, maka suara publik akan teredam dan masyarakat terjebak dalam ketakutan yang sengaja direproduksi oleh negara.

Ketiga, jejaring solidaritas lintas sektor dan lintas negara perlu diperkuat. Pengalaman dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa kekuatan masyarakat sipil tidak hanya bertumpu pada satu kelompok atau satu isu, melainkan pada kemampuan untuk merajut aliansi yang luas: antarmahasiswa, pekerja, akademisi, organisasi masyarakat sipil, bahkan dengan gerakan global yang sama-sama menolak praktik kekerasan negara.

Tatkala hukum hanya dipakai untuk memberangus warga sipil dan justru diabaikan oleh penyelenggara negara, maka bentuk aktivisme dapat diwujudkan secara lebih konkret melalui pembangkangan sipil (civil disobedience). Salah satu cara yang paling keras adalah penolakan membayar pajak, sebagai bentuk protes moral terhadap negara yang memakai uang rakyat bukan untuk kesejahteraan, melainkan untuk menghabisi rakyatnya sendiri.

Kekecewaan mendalam ini tentu beralasan, tetapi tidak cukup berhenti pada kemarahan. Aktivisme sipil harus bertransformasi menjadi gerakan jangka panjang yang berakar pada pencarian kebenaran, pembelaan kebebasan, penguatan solidaritas, dan keberanian untuk melawan represi negara. Hanya dengan cara itu, masyarakat sipil bisa menegaskan kembali posisinya sebagai penentu arah demokrasi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Febby R. Widjayanto dan Agie Nugroho Soegiono
Febby R. Widjayanto
Staf pengajar di FISIP Universitas Airlangga

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...