Membangun Bahasa Bersama di Tengah Fragmentasi Dunia
Dalam mitologi Abrahamik, sebagian orang berpendapat bahwa tragedi terbesar manusia bukan ketika mereka diusir dari surga, melainkan ketika gagal membangun Menara Babel. Setelah Adam dan Hawa jatuh dan berpencar, mereka masih bisa bertemu kembali dan membangun peradaban. Namun, ketika Menara Babel runtuh, manusia tidak lagi berkomunikasi dalam satu bahasa yang sama. Semenjak itu, kepercayaan retak dan peradaban manusia tercerai-berai.
Kini dunia seakan menyaksikan bayangan dari kisah reruntuhan Babel. Alih-alih bekerja sama, negara-negara justru membangun tembok tarif dan proteksionisme. Sejak awal tahun 2025, Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif impor lebih agresif, dan yang terkini menyasar obat serta furnitur. Kebijakan yang dimaksudkan memperkuat daya saing justru mulai memperlambat perekonomiannya sendiri. Studi CEPR (2025) menunjukkan kebijakan tarif AS berpotensi merugikan bukan hanya dunia, tetapi juga AS. Seperti Babel, proyek besar yang berdiri di atas arogansi bisa berbalik menghantam dirinya.
Selain perang dagang, konflik geopolitik, seperti di Israel-Palestina, memperdalam jurang antarnegara. Indikator global menunjukkan eskalasi risiko. Geopolitical Risk Index sempat menembus 221,73 pada Juni 2025, dan meski turun ke 119,51 pada September 2025 tetap di atas rata-rata historis. Trade Policy Uncertainty Index melonjak ke 465,31 pada September 2025, atau lebih dari 3,6 kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan harga emas dunia, sebagai aset aman (safe haven), melonjak lebih dari 45% YoY dalam setahun terakhir. Pergeseran tarif mendadak memicu volatilitas harga, mengganggu rantai pasok, dan merusak perencanaan investasi. UNCTAD (2025) mencatat ketidakpastian ini menimbulkan biaya tinggi yang berujung pada perlambatan ekonomi, risiko stabilitas keuangan, dan terkikisnya kepercayaan.
Jika tren ini berlanjut, dampaknya diperkirakan akan menekan kinerja ekonomi dunia. Bank Dunia (Juni 2025) dalam Laporan Global Economic Prospects merevisi turun pertumbuhan ekonomi global hanya sekitar 2,3% tahun ini, lebih rendah dibandingkan perkiraan awal sebesar 2,7%. Proyeksi Bank Dunia dan IMF terkini juga menunjukkan bahwa sebagian perekonomian besar, termasuk AS, Tiongkok, India, dan kawasan Euro, akan mengalami perlambatan ekonomi dibandingkan tahun lalu. Tekanan ini dapat menyebar luas bagi perekonomian global.
Siklus Besar dan Ancaman Kemunduran
Fenomena tarif, proteksionisme, dan ketidakpastian kebijakan sejatinya merupakan gejala permukaan dari kerentanan yang lebih mendasar. Dalam jangka panjang, fragmentasi politik dan konflik antarnegara dapat memicu apa yang Ray Dalio sebut sebagai “Siklus Besar” kemunduran peradaban. Selama 500 tahun pengamatan, Dalio menemukan pola berulang: imperium lahir, tumbuh, mencapai puncak, lalu merosot. Penyebabnya mencakup gabungan berbagai faktor, meliputi inovasi yang melambat, utang yang membengkak, kesenjangan yang melebar, konflik internal, dan perang eksternal. Ketika faktor-faktor itu berlarut, kemunduran makin sulit dihindari.
Kombinasi faktor yang berkelindan ini mulai tampak pada retaknya kohesi sosial. Di banyak negara, kepercayaan terhadap institusi menurun, polarisasi meningkat, dan ketegangan sosial makin sering muncul. Global Protest Tracker mencatat lebih dari 142 protes besar terhadap pemerintah di 68 negara dalam 12 bulan terakhir. Motifnya beragam, namun mayoritas digerakkan oleh generasi muda, khususnya Gen Z. Dari demonstrasi di Indonesia, Nepal, Filipina, dan yang terkini di Maroko, suara generasi muda yang secara demografi kian dominan makin terdengar, menegaskan kebutuhan akan perubahan.
Harapan dan Agenda Perubahan
Di sinilah harapan muncul. Generasi muda lebih cepat menyerap teknologi, sadar isu moral global, dan memiliki jejaring lintas batas lewat media sosial. Mereka dapat menjadi katalis perubahan dan penyambung aspirasi. Bagi pembuat kebijakan, memberi ruang partisipasi yang lebih besar bagi generasi muda sekaligus menjembatani jarak antargenerasi penting agar mesin pertumbuhan tetap tumbuh sehat. Partisipasi itu tidak hanya soal keterlibatan politik, tetapi juga perlu ditopang oleh kesempatan ekonomi yang memberi peluang berkembang: pendidikan berkualitas, pelatihan keterampilan baru, serta akses modal untuk pertumbuhan sektor swasta.
Karena itu, kebijakan fiskal dan moneter yang pro-pertumbuhan perlu disertai investasi besar pada generasi muda. Pendidikan dan keterampilan harus dipandang sebagai infrastruktur masa depan, bukan sekadar belanja sosial. Pada saat yang sama, reformasi perdagangan, kepastian regulasi, dan tata kelola global yang lebih adil harus diperkuat. Bagi negara berkembang, langkah ini dapat membuka arus investasi baru sekaligus memperkuat kerja sama antarnegara.
Membangun Kembali “Bahasa Bersama”
Kita mungkin tidak bisa menghindari siklus sejarah sepenuhnya. Namun, kita bisa memperpanjang masa kejayaan dan memperkecil dampak kemunduran. Runtuhnya Menara Babel mengajarkan bahwa kehilangan “satu bahasa”, yakni kepercayaan, tujuan bersama, serta aturan yang adil, berarti kehilangan daya kolektif. Tantangan mendatang bukan hanya mengelola neraca perdagangan atau mengelola utang publik, melainkan membangun kembali kepercayaan lintas batas dan lintas generasi.
Saya teringat pada kisah Babel, yang dipercaya terjadi setelah peristiwa Banjir Besar. Keturunan Nuh, generasi muda kala itu, membangun satu kota agar manusia tidak tercerai-berai. Babel menjadi simbol tekad manusia untuk bersatu setelah bencana, sebuah proyek bersama generasi yang selamat. Belajar dari kisah itu, kesombongan dan hilangnya satu tujuan dapat memecah manusia.
Generasi muda hari ini mewarisi dunia yang terfragmentasi, versi modern dari reruntuhan Babel. Akan tetapi, mereka juga memiliki kesempatan unik untuk membangunnya kembali. Dalam satu suara, kita bisa mengubah siklus kemunduran menjadi siklus kemajuan peradaban.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
