Krisis Sunyi di Balik Kehidupan Remaja: Tanda Bahaya yang Kita Abaikan
Dalam beberapa bulan terakhir, publik dikejutkan oleh dua peristiwa tragis di Sawahlunto dan Sukabumi. Dua remaja, di usia yang mestinya dipenuhi semangat dan rasa ingin tahu, memilih mengakhiri hidup. Kabar itu beredar luas di media sosial, menimbulkan gelombang simpati, lalu tenggelam seiring datangnya isu baru. Namun di balik kesenyapan itu, ada persoalan yang lebih besar: bagaimana mungkin, di tengah kemajuan pendidikan dan teknologi, anak-anak justru merasa terasing di ruang hidupnya sendiri?
Tragedi ini bukan insiden yang berdiri sendiri. Sebuah studi nasional yang dilakukan oleh Minh D. Pham (et,al. 2024), diterbitkan di Journal of Adolescent Health, menunjukkan bahwa hampir satu dari empat remaja Indonesia mengalami tekanan psikologis atau gejala depresi ringan. Sebagian besar dari mereka tidak mengakses layanan profesional, dan banyak yang memilih diam atau mencari pertolongan di luar jalur medis. Data ini menegaskan satu hal: di balik kemajuan material yang kita banggakan, ada masalah sosial yang lebih mendalam—kita sedang kehilangan kemampuan untuk saling mendengarkan.
Kita kerap berbicara tentang bonus demografi, tetapi lupa bahwa bonus itu tak berarti apa-apa bila generasi mudanya tumbuh dalam kesepian sosial. Sekolah sibuk dengan kurikulum dan target nilai, keluarga tenggelam dalam tekanan ekonomi, sementara ruang sosial tempat anak bisa merasa aman makin sempit. Dalam kondisi seperti ini, banyak remaja belajar menahan kesedihan dan menutupi rasa takut. Mereka tumbuh dalam sistem sosial yang menuntut kesuksesan tanpa menyediakan ruang untuk gagal. Retakan itu tidak selalu terlihat, tetapi nyata dalam keseharian: anak-anak yang tampak berprestasi, namun sebenarnya memikul beban yang tak tertangani.
Kerapuhan Sistemik
Setiap kali muncul kasus anak atau remaja yang mengalami tekanan mental, kita selalu terkejut, lalu melupakannya. Padahal, di balik tragedi-tragedi itu, terdapat sistem sosial yang gagal bekerja. Negara, sekolah, dan masyarakat kehilangan fungsi dasarnya untuk merawat. Ketika tragedi sudah berlalu, respons kita berhenti pada belasungkawa dan wacana moral. Tidak ada mekanisme yang memastikan pengalaman itu menjadi pelajaran untuk memperbaiki sistem dukungan yang lebih luas.
Di tingkat struktural, sekolah dijalankan seperti pabrik pengetahuan. Keberhasilan diukur dari nilai ujian, bukan dari kesejahteraan murid. Guru dibebani administrasi, tapi jarang dilatih memahami dimensi emosional anak. Layanan konseling di sekolah sering hanya simbolik. Negara pun hadir sebatas kebijakan di atas kertas—dengan pendekatan administratif, bukan empatik. Kita cepat membuat peraturan, tapi lambat membangun sistem dukungan yang nyata. Kurikulum pendidikan belum menempatkan kesehatan mental sebagai bagian dari pembelajaran karakter. Akibatnya, sekolah sering kali gagal menjadi ruang aman tempat murid belajar mengenali dan menata emosinya.
Namun struktur yang lemah diperkuat oleh budaya yang kaku terhadap kesedihan. Dalam banyak keluarga, pembicaraan tentang rasa takut atau kecewa masih dianggap tabu. Anak yang menangis ditegur agar kuat, remaja yang mengeluh disebut tidak bersyukur. Pola ini menanamkan stigma bahwa perasaan harus disembunyikan. Akibatnya, anak-anak belajar menyamarkan kesedihan di balik senyum dan prestasi. Di ruang digital, tekanan itu berlipat. Media sosial menampilkan kebahagiaan sebagai norma, membuat banyak remaja merasa gagal hanya karena hidup mereka tak seindah yang terlihat di layar. Di balik narasi motivasi dan keberhasilan, ada budaya yang menolak kegagalan sebagai bagian dari proses tumbuh. Padahal kemampuan menerima luka dan kerapuhan justru merupakan fondasi penting dari kesehatan mental.
Budaya yang Membungkam Kesedihan
Logika yang bekerja di masyarakat kita, sayangnya, masih lebih menekankan maskulinitas. Kesedihan kerap diperlakukan sebagai kelemahan moral. Kita terbiasa diminta kuat, tetapi jarang diajarkan mengenali dan mengekspresikan rasa sedih. Pola ini membentuk budaya bisu terhadap emosi, di mana keluhan dianggap gangguan dan kejujuran emosional dibaca sebagai sikap berlebihan. Tradisi sosial yang hierarkis mempersempit ruang dialog antara orang tua dan anak; komunikasi berlangsung satu arah, dan anak diminta patuh sebelum didengar. Banyak remaja akhirnya tumbuh dalam perasaan tidak dipahami, bahkan ketika mereka hidup di lingkungan keluarga yang secara fisik dekat. Di kalangan kelas menengah, tekanan itu diperkuat oleh standar kebahagiaan yang dibentuk media sosial: representasi hidup ideal yang membuat banyak anak muda merasa gagal hanya karena hidup mereka tidak tampak “sempurna”.
Kondisi tersebut menciptakan generasi yang kehilangan bahasa untuk mengungkapkan kesedihan. Padahal, kemampuan mengekspresikan perasaan adalah bagian penting dari kesehatan sosial dan emosional. Tanpa ruang untuk mengakui kerentanan, masyarakat mungkin berkembang secara ekonomi tetapi miskin secara emosional. Budaya yang membungkam kesedihan juga menjauhkan kita dari nilai dasar kehidupan bersama, yaitu empati dan penghargaan terhadap pengalaman orang lain. Ketika empati tidak ditanamkan sejak dini, remaja menginternalisasi gagasan bahwa masalah harus diselesaikan sendiri, meskipun mereka tidak memiliki kapasitas untuk itu. Karena itu, perubahan budaya menjadi prasyarat untuk membangun lingkungan sosial yang lebih aman bagi anak muda—lingkungan yang memberi tempat bagi kegagalan, kesedihan, dan pencarian makna, bukan hanya bagi prestasi dan ketegaran.
Mengembalikan Daya Rawat Sosial
Krisis kesehatan mental remaja tidak bisa diselesaikan hanya melalui program formal atau layanan teknis. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang terhadap manusia dan relasi sosial kita. Mengembalikan daya rawat sosial berarti membangun kembali kemampuan kolektif untuk memahami, mendengar, dan hadir bagi orang lain dalam konteks keseharian. Negara perlu memimpin perubahan ini dengan kebijakan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan emosional, bukan sekadar capaian administratif. Sekolah harus diperkuat dengan konselor yang kompeten, mekanisme deteksi dini, serta sistem dukungan yang berfungsi nyata. Guru perlu didorong untuk berperan sebagai pendamping perkembangan anak, bukan hanya sebagai penyampai materi ajar. Namun perubahan ini tidak dapat berhenti di institusi formal; keluarga dan masyarakat juga perlu membangun budaya baru yang memungkinkan anak dan remaja berbicara tanpa takut dipermalukan atau dihakimi. Ruang dialog yang setara dan terbuka menjadi prasyarat agar tekanan psikologis tidak berkembang menjadi masalah yang lebih serius.
Kita kerap menganggap kekuatan bangsa terletak pada pencapaian intelektual atau keberhasilan infrastrukturnya, padahal kesejahteraan emosional generasi muda jauh lebih menentukan dalam jangka panjang. Kemajuan sejati tidak diukur dari gedung tinggi, peringkat pendidikan, atau statistik ekonomi, tetapi dari kemampuan masyarakat menjaga kondisi psikososial warganya—terutama mereka yang berada pada fase perkembangan paling rentan. Bangsa yang tidak mampu merawat kelompok yang rapuh akan menghadapi risiko kehilangan potensi generasi mendatang. Karena itu, membangun ekosistem sosial yang lebih peduli dan responsif bukan sekadar agenda kesehatan, tetapi merupakan investasi moral dan sosial yang menentukan arah masa depan. Dalam kerangka ini, daya rawat sosial harus ditempatkan sebagai fondasi utama, bukan pelengkap, dari pembangunan manusia Indonesia.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
