Kolonialisme Mental

Untoro Hariadi
Oleh Untoro Hariadi
29 November 2025, 07:05
Untoro Hariadi
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Bisakah sebuah bangsa dijajah tanpa tembakan, tanpa kapal perang, tanpa bendera asing berkibar di istana negara? Pertanyaan itu terdengar menggugah, tetapi jawabannya sangat mungkin: penjajahan itu bernama kolonialisme mental. Inilah bentuk penjajahan paling halus, yang tidak menaklukkan tanah dan wilayah fisik, tetapi menguasai cara berpikir sebuah bangsa. 

Kapal penjajah mungkin sudah pulang, kekuasaan politik mungkin sudah diserahkan, tetapi jika rasa rendah diri tertanam dalam pikiran rakyat, maka penjajahan belum berakhir. Itulah kolonialisme yang paling lama bertahan, karena musuhnya bukan lagi orang lain, melainkan sikap dan prasangka di dalam diri sendiri.

Di Nusantara, pengalaman berabad-abad berada di bawah kekuasaan kolonial menciptakan warisan psikologis yang tidak mudah hilang. Kita diajari bahwa diri kita “terbelakang”, dan yang datang dari luar selalu lebih maju. Pengetahuan, budaya, bahasa, teknologi, bahkan cara menilai kemajuan—semuanya harus merujuk ke standar asing agar dianggap “benar”. Maka lahirlah bangsa yang pandai meniru, tetapi ragu mencipta; bangga memakai ukuran dunia, tetapi tidak percaya diri membangun ukuran sendiri.

Akar Sejarah

Kolonialisme mental tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari sistem pendidikan kolonial yang dirancang untuk mencetak pelaksana, bukan pemikir. Pada masa penjajahan, pendidikan dibuat agar pribumi bisa menjalankan administrasi kolonial, namun tidak cukup berbahaya untuk menjadi penantang intelektual. Kita diajari membaca buku Barat, tetapi tidak diajari membaca gunung, laut, angin, dan tanah tempat kita hidup. Kita diperkenalkan sejarah Eropa, tapi tidak sejarah desa kita sendiri. Kita dilatih menghafal logika formal yang tidak salah, tetapi tidak pernah diberi ruang untuk mengembangkan logika kosmologis nenek moyang.

Akibatnya, sejak awal rakyat dibentuk menjadi penerima pengetahuan, bukan penghasil pengetahuan. Dan kebiasaan itu terus hidup hingga hari ini: banyak lulusan perguruan tinggi merasa berhasil jika mampu mengutip teori asing sebanyak mungkin, tetapi jarang yang berani membangun teori dari pengalaman bangsanya. Pendidikan semacam ini menciptakan mentalitas yang percaya bahwa pikiran orang lain lebih ilmiah daripada pikiran sendiri.

Bahasa Penilaian

Kolonialisme mental juga bekerja melalui bahasa penilaian yang kita dengar setiap hari. Kita sering menggunakan istilah seperti “best practice”, “world class”, atau “standar internasional” sebagai ukuran tertinggi. Tidak salah memakai standar global, tetapi persoalannya: mengapa standar nasional atau lokal hampir tidak pernah diberi posisi setara?

Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat hierarki yang tidak diucapkan namun diam-diam diyakini. Sesuatu dianggap lebih baik jika berasal dari luar negeri, dan menjadi kurang bernilai jika berasal dari sendiri. Ilmu dari luar lebih ilmiah, adat dianggap kurang rasional. Kota lebih maju, desa lebih ketinggalan. Modern lebih bernilai daripada tradisi. Bahasa asing lebih prestisius daripada bahasa ibu. Tanpa perlu penjajah datang lagi, cara berpikir semacam ini otomatis menempatkan bangsa sendiri di posisi inferior.

Pertanyaan kritis pun muncul: apakah benar yang datang dari luar selalu lebih baik? Ataukah kita hanya belum percaya bahwa dari tanah ini, dari pengalaman rakyat sendiri, kita juga mampu menghasilkan ilmu baru dan standar baru?

Budaya Minder

Kolonialisme mental juga merasuki gaya hidup dan cita rasa. Kita bangga memakai jas dalam acara resmi, tetapi merasa kurang berwibawa memakai busana adat sendiri. Kita memuji restoran asing dengan harga mahal, tetapi merasa biasa saja terhadap masakan yang diwariskan nenek. Kita kagum pada film internasional, tetapi belum tentu menonton film bangsa sendiri sebelum menilainya rendah. Dalam arsitektur, kita membangun gedung kaca ala Barat yang boros energi, tetapi mengabaikan rumah tropis tradisional yang jauh lebih cocok bagi iklim Nusantara.

Tanpa disadari, bangsa ini belajar mencintai yang jauh sebelum menghormati yang dekat. Nilai kebanggaan kita terbalik: menjadi modern berarti menjadi seperti mereka, bukan menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Ini adalah kolonialisme yang bekerja melalui rasa malu. Tidak ada panser, tidak ada meriam, tetapi rasa minder yang terinternalisasi membuat kita tunduk pada standar orang lain.

Akademisi Jadi Konsumen

Dalam dunia ilmu pengetahuan, gejala kolonialisme mental tampak jelas. Mahasiswa Indonesia sering diajari mencari referensi teoretis dari Barat, kemudian mengambil contoh kasus dari desa sendiri untuk menyesuaikan teori tersebut. Jarang ada yang melakukan kebalikannya: menulis teori dari pengalaman lokal lalu memperlihatkannya kepada dunia. Maka ilmuwan Indonesia banyak menjadi pemasok data, bukan penentu perspektif. Kita menjadi konsumen pengetahuan global, bukan produsen.

Seorang akademisi muda bisa sangat percaya diri mengutip pemikiran tokoh dunia, tetapi ragu menyatakan gagasan sendiri. Bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena sistem pengetahuan kita sudah lama membisikkan bahwa pikiran kita tidak mungkin setara. Inilah kolonialisme mental yang tidak lagi butuh tentara untuk menaklukkan. Kita sendiri yang menjalankannya atas nama “kemajuan”.

Ukuran Kemajuan

Kolonialisme mental juga bekerja dalam cara kita mengukur pembangunan. Banyak kebijakan nasional menilai kemajuan dari indeks internasional: Human Development Index, ranking pendidikan global, pertumbuhan ekonomi berdasarkan angka PDB, kualitas kota berdasarkan tinggi gedung atau jumlah kendaraan. Jika angka naik, kita bersorak, meski kenyataan sosial belum tentu berubah signifikan.

Masalahnya bukan pada angka, melainkan pada logika dasarnya: kita menyerahkan definisi kemajuan bangsa kepada lembaga luar negeri. Nilai yang dibangun dari pengalaman lokal tidak selalu muncul. Masyarakat dianggap maju jika sesuai ukuran dunia, bukan sesuai kebutuhan dan martabat bangsanya sendiri.

Pertanyaannya: kapan bangsa ini menjadi pemilik definisi kemajuannya sendiri?

Jalan Pemulihan

Dekolonisasi mental bukan berarti menolak pengetahuan luar. Kita bukan bangsa anti-dunia. Pertukaran gagasan tetap penting, belajar dari luar tetap perlu. Yang harus ditolak adalah kepasrahan intelektual—cara berpikir yang meyakini bahwa kita hanya mungkin menjadi pengikut, bukan pemimpin; hanya mungkin menjadi pelaksana, bukan penemu.

Dekolonisasi mental berarti menegakkan kembali kepercayaan pada kemampuan diri. Menulis teori dari pengalaman sendiri, menilai kualitas bangsa menggunakan nilai sendiri, memandang masa depan dengan sudut pandang sendiri. Bangsa yang merdeka secara mental tidak alergi pada dunia, tetapi juga tidak kehilangan keberanian untuk memimpin percakapan global dengan identitasnya sendiri.

Penutup

Kolonialisme mental adalah penjajahan yang tidak terlihat. Tidak ada kapal perang, tetapi ada struktur psikologis yang membuat bangsa ini terus memandang dirinya dari kacamata orang lain. Selama kemajuan hanya dimaknai sebagai keberhasilan mengikuti ukuran luar, selama kita bangga sebagai peniru tetapi takut menjadi pencipta, maka kolonialisme belum selesai. 

Kemerdekaan sejati baru dimulai ketika bangsa ini melihat dirinya dengan matanya sendiri, menilai dirinya dengan nilainya sendiri, dan percaya bahwa pikiran anak negeri mampu menjadi mercusuar bagi dunia.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Untoro Hariadi
Untoro Hariadi
Dosen Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Janabadra Yogyakarta

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...