Pantun di Persimpangan: Menjaga Tradisi Lisan di Era Bahasa Instan

Firman Firdaus
Oleh Firman Firdaus
20 Desember 2025, 06:05
Firman Firdaus
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Tanggal 17 Desember 2025, Indonesia untuk pertama kalinya memperingati Hari Pantun Nasional secara resmi. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 163/M/2025 yang ditandatangani pada 7 Juli 2025. 

Tanggal tersebut bukan dipilih sembarangan—ia bertepatan dengan hari bersejarah ketika UNESCO menetapkan pantun sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia pada 17 Desember 2020. Lima tahun berlalu sejak pengakuan internasional itu, dan kini negara hadir dengan komitmen formal untuk melestarikan warisan sastra lisan yang telah mengakar berabad-abad lamanya di Nusantara.

Namun, di tengah euforia peringatan ini, sebuah pertanyaan mendasar layak diajukan: seberapa relevankah pantun bagi generasi yang tumbuh dengan bahasa healing, delulu, dan slay? Atau, cukupkah ia hanya dijadikan alat untuk menyiasati kebekuan (ice breaker) dalam pidato-pidato para pejabat?

Dari Sriwijaya hingga Seluruh Nusantara

Pantun adalah warisan yang usianya hampir setua peradaban Melayu itu sendiri. Para ahli linguistik seperti Muhammad Haji Salleh percaya bahwa bentuk pantun tumbuh dan menyebar dari era Sriwijaya, kemungkinan besar dari kota-kota seperti Palembang atau Malayu. Catatan tertulis tertua tentang pantun dapat ditelusuri hingga abad ke-15, pada masa Kesultanan Malaka, ketika tradisi ini mencapai bentuk yang lebih halus dan terkodifikasi.

Kata “pantun” sendiri memiliki akar etimologis yang kaya. Sebagian ahli mengaitkannya dengan kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti “penuntun” atau “petunjuk”—sebuah cerminan fungsi awal pantun sebagai media penyampai nasihat dan panduan hidup. Hipotesis lain menghubungkannya dengan kata sepantun yang bermakna “seperti” atau “ibarat”, menunjukkan sifat metaforis yang menjadi ciri khas bentuk sastra ini.

Dalam perjalanan sejarahnya, pantun tidak pernah menjadi milik eksklusif satu kelompok. Dari istana raja-raja Melayu hingga pondok-pondok nelayan, dari upacara adat hingga percakapan sehari-hari, pantun hadir sebagai bahasa universal yang menembus sekat-sekat sosial. Ia tercatat dalam naskah-naskah klasik seperti Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah, sekaligus hidup dalam tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Penyebaran pantun ke seluruh Nusantara terjadi melalui jalur perdagangan, pelabuhan, dan migrasi yang menghubungkan kepulauan ini selama berabad-abad. Kini, pantun dikenal dalam setidaknya 40 dialek Melayu dan 35 bahasa non-Melayu di Semenanjung Malaya dan kepulauan Asia Tenggara Maritim. Di Jawa, ia menjelma menjadi parikan; di Sunda, menjadi sisindiran. Setiap daerah memberinya sentuhan lokal, namun esensinya tetap sama: permainan kata yang mengandung makna.

Pantun sebagai Guru Berbahasa

Ada sebuah pantun Melayu yang berbunyi: “Yang kurik kundi, yang merah saga / Yang baik budi, yang indah bahasa.” Dalam empat baris sederhana ini terkandung filosofi yang amat dalam tentang hubungan antara kebaikan budi dan keindahan berbahasa. Bagi masyarakat Melayu, keduanya tidak dapat dipisahkan.

Inilah peran yang sering terlupakan dari pantun: ia adalah guru berbahasa yang paling demokratis. Untuk membuat pantun yang baik, seseorang harus memahami irama, memilih diksi yang tepat, dan menyusun struktur yang logis. Sampiran dan isi harus memiliki hubungan—meski tidak selalu langsung—yang menuntut kreativitas dan ketajaman berpikir. Pantun mengajarkan bahwa berbahasa bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga tentang bagaimana pesan itu disampaikan.

Lebih dari itu, pantun membudayakan kesantunan. Dalam tradisi Melayu, pantun sering digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang sulit diungkapkan secara langsung—nasihat, kritik, bahkan pernyataan cinta. Ia mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak harus tampil dalam bentuk khotbah yang panjang, bahwa sindiran yang halus sering lebih efektif dari teguran yang keras. Dalam dunia yang semakin terbiasa dengan komunikasi yang blak-blakan dan tanpa filter, pelajaran ini menjadi semakin berharga.

Pertanyaannya: masihkah nilai-nilai ini tertransfer kepada generasi yang lebih terbiasa dengan caption Instagram ketimbang bait pantun?

Tantangan Baru, Pola Lama?

Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita melihat ke belakang. Kekhawatiran tentang “rusaknya” bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa gaul bukanlah fenomena baru. Pada era 1970-an, bahasa prokem—bahasa sandi kaum preman Jakarta dengan sisipan “-ok-” yang khas—sempat membuat gelisah para pemerhati bahasa. Kata-kata seperti bokap, nyokap, dan gokil dianggap akan merusak bahasa nasional.

Lalu pada 1980-an, film-film seperti Catatan Si Boy dan Warkop DKI mempopulerkan bahasa gaul ke seluruh negeri. Di tahun 1990-an, partikel dong, deh, dan sih menjadi penanda generasi. Era 2000-an menyaksikan lahirnya bahasa “alay” dengan singkatan-singkatan unik seperti “4lay” dan “se7”. Di setiap era, selalu ada kekhawatiran serupa: bahasa Indonesia sedang dalam bahaya.

Namun, ada perbedaan fundamental antara fenomena bahasa gaul dulu dan sekarang. Pertama, kecepatan perubahan. Jika dulu perubahan bahasa gaul terjadi dalam hitungan dekade, kini ia bisa berubah dalam hitungan bulan—bahkan minggu—berkat viralitas media sosial. Sebuah istilah yang dilontarkan kreator konten di TikTok bisa menjadi bahasa sehari-hari dalam semalam.

Kedua, intensitas serapan bahasa asing. Generasi Z tidak hanya mengadopsi istilah asing, tetapi juga mengintegrasikannya ke dalam struktur kalimat Indonesia dengan cara yang lebih masif. Fenomena “Bahasa Jaksel”—campuran Indonesia-Inggris seperti “Literally gue tuh nggak ngerti” atau “Which is kayak, kinda weird gitu”—menunjukkan pergeseran yang lebih struktural, bukan sekadar leksikal.

Ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah tergerusnya kesadaran berbahasa kontekstual. Penelitian menunjukkan bahwa generasi digital semakin kesulitan untuk berpindah ragam bahasa (code-switching) sesuai situasi. Bahasa yang digunakan di kolom komentar Instagram tanpa disadari terbawa ke makalah akademik. Batas antara formal dan informal semakin kabur.

Di sinilah tantangan sesungguhnya bagi pantun. Bukan semata-mata tentang apakah anak muda masih mau berpantun—melainkan apakah mereka masih memiliki kepekaan linguistik yang dibutuhkan untuk mengapresiasi, apalagi menciptakan, pantun yang baik.

Jalan ke Depan

Penetapan Hari Pantun Nasional adalah langkah simbolis yang penting, tetapi tentu tidak cukup. Seperti yang ditekankan oleh Plt Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, Edy Afrizal, momentum ini harus diisi dengan upaya konkret untuk “mendemamkan pantun di masyarakat.”

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, integrasi pantun dalam pendidikan bahasa Indonesia perlu diperkuat—bukan sebagai materi hafalan yang membosankan, tetapi sebagai wahana kreativitas. Kompetisi menulis pantun di platform digital, misalnya, bisa menjadi cara untuk menghubungkan tradisi dengan medium yang akrab bagi generasi muda.

Kedua, para kreator konten dan influencer memiliki peran besar. Jika mereka dapat mempopulerkan kata-kata asing dalam sekejap, mengapa tidak pantun? Sudah ada contoh-contoh keberhasilan: tagar #PantunHariIni di media sosial menunjukkan bahwa pantun masih memiliki daya tarik ketika dikemas dengan tepat.

Ketiga, penting untuk tidak mempertentangkan pantun dengan bahasa gaul. Keduanya bisa hidup berdampingan. Yang perlu ditanamkan adalah kesadaran berbahasa kontekstual—kemampuan untuk memilih ragam bahasa yang tepat sesuai situasi. Seseorang bisa dengan fasih berkata “no cap” di percakapan santai, tetapi juga mampu menyusun pantun yang indah di acara adat.

Keempat, dan ini yang paling mendasar: melestarikan pantun berarti melestarikan cara berpikir yang ada di baliknya—kehalusan budi, kesantunan berbahasa, dan kecerdasan metaforis. Ini bukan sekadar tentang mempertahankan bentuk empat baris bersajak a-b-a-b, tetapi tentang menjaga nilai-nilai yang membuat pantun bermakna.

Penutup

Di Hari Pantun Nasional yang pertama ini, kita diingatkan bahwa bahasa adalah organisme hidup yang terus bermutasi. Pantun sendiri telah bertransformasi selama berabad-abad—dari tradisi istana ke budaya populer, dari lisan ke tulisan, dari kertas ke layar digital. Yang membuatnya bertahan bukan bentuknya yang kaku, tetapi esensinya yang lentur.

Mungkin tantangan terbesar bukan membuat generasi muda berpantun, tetapi membuat mereka memahami mengapa nenek moyang kita memilih untuk tidak berbicara langsung—mengapa mereka menyusun sampiran sebelum isi, mengapa mereka menyembunyikan maksud di balik kiasan. Di era ketika segalanya dituntut serba cepat dan to the point, filosofi pantun tentang kesabaran dan kehalusan mungkin justru menjadi penyeimbang yang kita butuhkan.

Sebagaimana pesan dalam sebuah pantun klasik:

Apa tanda orang Melayu,

Bertanam padi di huma ladang;

Apa tanda orang berbudi,

Berbahasa santun sepanjang zaman.

Selamat Hari Pantun Nasional.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Firman Firdaus
Firman Firdaus
eks wartawan, penikmat dan pemerhati bahasa, IT-Product Manager Katadata

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...