Membaca Diplomasi Komunikasi Menlu Sugiono
Betapa cepatnya sebuah kritik berubah menjadi tontonan nasional di era media sosial. Rekaman berisi kritik Dino Patti Djalal terhadap Menteri Luar Negeri Sugiono beredar luas, dibagikan berulang kali, lantas viral dan ditafsirkan seolah-olah sebagai evaluasi menyeluruh atas kinerja diplomasi Indonesia. Padahal, sedikit melirik ke belakang, peristiwa semacam ini sama sekali bukan hal baru dan luar biasa. Menteri mendapat kritik—baik dari mantan pejabat, akademisi, maupun praktisi—adalah bagian normal dari dinamika politik dan pemerintahan.
Dalam perspektif teori sistem, kritik publik semacam ini justru tidak perlu dibaca secara dramatis. Gunaratne (2008) dalam “Understanding Systems Theory: Transition from Equilibrium to Entropy” menyebut kritik sebagai irritation (iritasi), yakni gangguan dari lingkungan yang memaksa sistem untuk merespons, bukan dengan meniru lingkungan tersebut, melainkan melalui logika internalnya sendiri. Dengan kata lain, kritik Dino Patti Djalal tidak serta-merta mengancam eksistensi diplomasi Indonesia, melainkan hanya memicu respons komunikasi dari sistem kementerian luar negeri.
Fragmentasi dalam Masyarakat Digital
Konteks masyarakat digital hari ini membuat iritasi semacam itu terasa lebih bising. Kita hidup dalam masyarakat yang sangat terfragmentasi: opini bertebaran, otoritas terpecah, dan batas antara pakar, politisi, serta warganet semakin kabur. Fragmentasi ini juga berdampak pada sistem pemerintahan, termasuk kementerian luar negeri.
Niklas Luhmann (1989) dalam Ecological Communication, telah mengingatkan bahwa dalam lingkungan kompleks dan terfragmentasi, komunikasi bukan sekadar penyampaian pesan, melainkan mekanisme utama yang memungkinkan sistem bertahan. Komunikasi membantu sistem mempertahankan diferensiasinya dari lingkungan. Artinya, kritik, viralitas, dan opini publik memang mengiritasi sistem diplomasi, tetapi tidak otomatis mengendalikannya.
Di titik inilah kesalahpahaman sering muncul. Publik kerap mengira bahwa viralitas identik dengan kebenaran atau urgensi kebijakan. Padahal, sebagaimana diingatkan Schroeder (2018), bahwa dalam logika sistem, viralitas hanyalah intensitas gangguan, bukan ukuran validitas keputusan.
Visi Presiden, Bukan Visi Menteri
Kebijakan luar negeri Indonesia sepanjang 2025 justru menunjukkan sistem diplomasi yang berjalan dengan agenda relatif stabil dan terukur. Pada 21 Desember 2025, Indonesia menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Eurasian Economic Union (EAEU), sebuah blok ekonomi yang dipimpin Rusia dan mencakup sejumlah negara Eurasia. Kesepakatan ini membuka akses pasar yang lebih luas bagi produk Indonesia dan mempertegas orientasi diplomasi ekonomi Indonesia di tengah lanskap global yang multipolar. Langkah ini bukan reaksi atas kritik, melainkan bagian dari strategi jangka menengah yang telah lama dirancang.
Di saat yang sama, Indonesia juga memperkuat perannya dalam kerja sama multilateral. Keanggotaan penuh Indonesia dalam BRICS sejak awal 2025, menandai fase baru diplomasi Indonesia sebagai jembatan kepentingan negara berkembang di tengah kompetisi global. Pemerintah secara konsisten menyuarakan reformasi tata kelola keuangan global dan pembangunan berkelanjutan melalui berbagai forum internasional. Fakta ini menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia bergerak di atas rel yang jauh lebih struktural daripada sekadar dinamika opini publik harian.
Di titik inilah penting mengingat kembali pernyataan Presiden Joko Widodo yang pada Oktober 2019 menegaskan bahwa tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi presiden. Pernyataan ini memiliki makna struktural yang sering dilupakan. Menteri bukan aktor soliter dengan agenda pribadi, melainkan bagian dari sistem pemerintahan yang bekerja dalam kerangka visi presiden sebagai kepala pemerintahan. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, arah kebijakan luar negeri ditetapkan secara institusional, bukan ditentukan oleh popularitas atau tekanan media sosial.
Mengapa Sugiono Jadi Sorotan?
Lalu mengapa kritik terhadap Menlu Sugiono kali ini terasa begitu gaduh? Jawabannya terletak pada cara komunikasi yang dipahami secara keliru. Baraldi, Corsi, dan Esposito (2021) menjelaskan bahwa dalam teori sistem, komunikasi bukan transmisi pesan dari pengirim ke penerima, melainkan sintesis dari tiga unsur: informasi, ujaran, dan pemahaman. Kritik Dino Patti Djalal adalah ujaran. Media sosial dan pemberitaan menambahkan lapisan informasi—acap kali tidak utuh. Sistem diplomasi kemudian membentuk pemahamannya sendiri berdasarkan prosedur, kepentingan, dan logika internal.
Padahal, dalam logika sistem, pemahaman tidak dibentuk di ruang publik, melainkan di dalam mekanisme internal institusi. Di sinilah jarak antara persepsi publik dan proses kebijakan seringkali melebar, sebagaimana dicatat Dal Yong Jin (2019) bahwa platform digital kerap menciptakan ruang persepsi yang terpisah dari logika institusional, sehingga publik mudah menganggap representasi media sebagai realitas kebijakan.
Autopoiesis dan Diplomasi Indonesia
Dalam kajian komunikasi di Indonesia, pemikiran Luhmann mulai dibaca sebagai alternatif terhadap pendekatan yang terlalu aktor-sentris. Wahyuni (2025) menekankan bahwa konsep autopoiesis membantu kita memahami bagaimana sistem sosial menciptakan dan mereproduksi elemen-elemennya sendiri melalui mekanisme rujukan-diri dan pembedaan-diri. Kementerian luar negeri, dalam kerangka ini, tidak sekadar menanggapi kritik, melainkan mengolahnya sebagai bagian dari proses diferensiasi untuk memperkuat posisinya di dalam sistem pemerintahan.
Dengan demikian, viralitas kritik Dino Patti Djalal seharusnya dibaca sebagai gejala komunikasi politik di masyarakat digital, bukan sebagai indikator kegagalan diplomasi. Kritik adalah iritasi yang memicu refleksi, bukan palu godam yang meruntuhkan sistem. Fakta bahwa diplomasi Indonesia terus bergerak—melalui perjanjian perdagangan, kerja sama multilateral, dan diplomasi ekonomi—menunjukkan kapasitas sistem untuk tetap bekerja di tengah tekanan lingkungan yang semakin kompleks.
Pelajaran dari Viralitas Kritik
Ada beberapa pelajaran penting dari viralnya kritik Dino Patti Djalal. Pertama, kritik adalah iritasi, bukan ancaman. Ia memicu refleksi, bukan kehancuran. Kedua, komunikasi adalah sintesis, bukan sekadar siapa berkata apa. Ketiga, fragmentasi digital menuntut kemampuan adaptasi yang lebih canggih dari sistem pemerintahan. Keempat, visi presiden tetap menjadi acuan utama kerja menteri. Kelima, autopoiesis memperkuat sistem melalui penciptaan mekanisme internal yang konsisten.
Pada akhirnya, kewarasan berbangsa diuji justru di tengah viralitas semacam ini. Apakah kita membaca kritik sebagai bagian dari dinamika demokrasi, atau sebagai drama politik yang mengaburkan kerja institusional? Dalam perspektif teori sistem, menjaga jarak dari sensasionalisme dan memahami komunikasi secara lebih struktural menjadi kunci. Viralitas seharusnya tidak membuat kita kehilangan perspektif, melainkan mendorong kita melihat bahwa diplomasi Indonesia di 2025 berjalan dalam logika sistem yang jauh lebih stabil daripada yang tampak di layar gawai kita.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
