Telkom Gagas Eduvice, Ubah Sampah Elektronik Menjadi Bermanfaat
Sampah elektronik merupakan salah satu isu lingkungan yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan, volume sampah elektronik akan mencapai 120 juta ton pada tahun 2050.
Sampah elektronik bisa berupa baterai, kabel listrik, bola lampu pijar, telepon genggam, televisi, setrika, maupun barang elektronik lain yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, timbunan sampah elektronik pada 2021 mencapai 2 juta ton. Pulau Jawa menyumbang sampah elektronik paling besar mencapai 56 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengakui, pengelolaan sampah elektronik di Tanah Air memang belum optimal. Oleh sebab itu, persoalan limbah sampah elektronik ini perlu segera dituntaskan.
Kondisi di lapangan menjadi semakin menantang, mengingat era digital saat ini disertai sifat konsumtif masyarakat terhadap barang elektronik. Situasi di dalam negeri semakin mengkhawatirkan lantaran kita adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia.
Sebab, sampah elektronik masuk dalam klasifikasi bahan berbahaya dan beracun (B3). KLHK mengeluarkan peraturan soal ini, khususnya terkait e-waste atau sampah elektronik, yaitu PP No. 27/2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik.
Di dalam peraturan itu, pemerintah mengatur mengenai pengurangan dan penanganannya. Program pengurangan sampah spesifik atau sampah elektronik dilakukan melalui beberapa cara, a.l. pembatasan timbulan sampah spesifik, daur ulang, dan pemanfaatan kembali.
Sedangkan terkait penanganan ialah dengan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
PP tersebut juga menjelaskan, pemerintah ingin produsen turut serta bertanggung jawab. Dengan kata lain, penanganan dan pengelolaan sampah elektronik butuh keterlibatan banyak pihak, tidak hanya mengandalkan pemerintah.
Telkom dan Restorasi Limbah Elektronik
TelkomGroup menyadari berbagai tantangan yang menghantui pengelolaan sampah elektronik di Tanah Air. Oleh karena itu, perusahaan menghadirkan program bantuan Electronic Device Donation for Education (Eduvice) sejak 24 Juni 2022.
Hal tersebut merupakan bentuk komitmen Telkom untuk membantu mengurangi sampah elektronik. Caranya dengan memberdayakan siswa-siswi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Telkom mengajak para siswa-siswi untuk melakukan perbaikan alat elektronik. Dengan begitu, alat tersebut bisa digunakan kembali menjadi media pembelajaran digital oleh sekolah atau siswa yang membutuhkan.
Eduvice membuka donasi sampah elektronik dari keluarga besar TelkomGroup berupa laptop, ponsel, dan tablet berspesifikasi Android. Individu yang hendak berpartisipasi cukup melakukan registrasi melalui laman www.eduvice.id kemudian menyerahkan sampah elektronik mereka ke drop box yang tersedia.
Drop box tersedia di empat titik lobi kantor Telkom, yaitu Graha Merah Putih di Gatot Subroto, Jakarta Selatan; Menara Multimedia Telkom di Kebon Sirih; Kantor Witel Jakarta Barat; dan Graha Merah Putih Telkom Japati di Bandung.
Sampah elektronik yang terkumpul akan dipilah terlebih dahulu untuk diperbaiki dan didistribusikan kepada sekolah atau siswa yang membutuhkan terutama di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Alat elektronik yang tidak memungkinkan untuk diperbaiki, akan disalurkan pada lembaga pengolah sampah elektronik yang memiliki legalitas sehingga diolah dengan tepat.
Sampah elektronik yang berbahaya bagi lingkungan ternyata dapat memberikan banyak manfaat untuk anak-anak sekolah di daerah tertinggal.
Sejauh ini terdapat 171 perangkat, terdiri dari 72 smartphone, 15 laptop, 13 tablet, dan 72 uncategorized devices telah diperbaiki dan akan segera didistribusikan kepada penerima manfaat di sekitar wilayah operasional Telkom.
“Berkat Eduvice, anak-anak di sini dapat mengakses pembelajaran secara digital dan harapannya dapat lebih melek teknologi seperti anak-anak yang berada di wilayah urban,” ujar pengelola Komunitas Taman Baca PEKA.
Digitalisasi di sekolah merupakan salah satu strategi Menteri Pendidikan untuk melakukan leap frog kualitas pendidikan di Indonesia. Tapi, kebutuhan perangkat TIK hingga kini belum optimal terpenuhi, khususnya di wilayah 3T.
Dari 43,5 pelajar se-Indonesia, hanya sekitar sepuluh juta siswa yang mengakses materi pembelajaran melalui platform daring. Beberapa alasan pelajar di dalam negeri tak mampu mengakses pembelajaran daring, misalnya karena tidak memiliki ponsel, sebagian siswa tinggal di daerah yang tak terjangkau jaringan internet, dan rerata dari mereka masuk kategori sosial ekonomi rendah.