Tantangan Berat Seniman Pertunjukan di Masa Pandemi Corona

Luki Safriana
Oleh Luki Safriana
18 April 2020, 06:00
Luki Safriana
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
T. . . S. Sebuah simulasi kebocoran pada masker yang longgar (ki) dan rapat (ka) dalam animasi yang dirilis untuk memerangi penularan virus corona (COVID-19), Minggu (12/4/2020).

Industri seni pertunjukan Indonesia mengalami guncangan hebat akibat dampak global pandemi corona. Tercatat sekitar 40.081 seniman tergerus Covid-19 akibat pembatalan pertunjukan dan festival seni. Daerah-daerah episentrum pekerja seni mayoritas didominasi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

Koalisi Seni pada 25 Maret 2020 menyebutkan jumlah acara seni yang dibatalkan atau ditunda akibat efek Corona di Indonesia cukup signifikan. Tidak hanya berbicara Jakarta, juga seluruh daerah di Tanah Air. Disebutkan sepuluh proses produksi dan rilis film tertunda, begitu pula 40 konser, tur, dan festival musik; delapan pameran pada museum seni rupa; tiga pertunjukan tari; serta sembilan pentas teater, pantomim, dan boneka.

Nampaknya data tersebut akan terus bertambah hingga waktu yang tidak dapat dipastikan. Dengan sebaran data tersebut, potensi kehilangan dapat diprediksi menyentuh angka miliaran rupiah. Kehilangan di sini termasuk mata pencaharian maupun karier.

Data tersebut memiliki multiplier effect terhadap berbagai dimensi industri lain yang terkait seni pertunjukan, sebut saja pariwisata dan pendidikan sebagai dua yang paling terpuruk. Seni pertunjukan -teater, tari, musik- menuntut sinergi empat area utama yaitu: waktu, ruang, tubuh si seniman, dan hubungan seniman dengan penonton. Dengan kebijakan work from home, social distancing, dan yang terbaru pembatasan sosial skala besar (PSBB), tak berlebihan mengatakan sektor industri seni pertunjukan secara alamiah akan telak terpengaruh.

Dunia Daring dan Dimensi Digital

Karakteristik seni pertunjukan identik dengan “ruang pentas” yang terdominasi secara fisik seperti gedung seni pertunjukan, studio mini, lapangan, hingga ruang-ruang terbuka alternatif. Masa pandemi ini membuat seniman pertunjukan harus berkompromi jika tidak ingin hancur. Mengubah medium ruang pentas tersebut menjadi daring (online) jelas membuat seniman pertunjukan harus dan rela melakukan coding kembali akan daya artistiknya terhadap ciptaannya agar sesuai dengan atmosfir online.

Unsur estetika pun akhirnya terkoreksi tajam. Alhasil kualitas karya rentan berubah derajatnya. Jarak penonton dan seniman pertunjukan yang harus dikalkulasi cermat jelas terpisahkan oleh sekat layar digital layaknya pada gawai, laptop, dan televisi. Tantangan yang muncul kemudian ialah ketercukupan akses data internet agar tampilan tidak malah tersendat atau tetap dapat diakses hingga akhir pertunjukan demi tersampaikannya pesan.

Migrasi besar-besaran dari dimensi luring (offline) menuju online dalam konteks live show pada berbagai lini seni petunjukan terasa berat. Dimensi lain yang menarik diperhatikan ialah product knowledge sang seniman dalam memainkan sistem online beserta perilaku penonton penikmatnya. Tontonan seni pertunjukan jelas lebih terasa murni dan menyentuh ketika dilihat langsung menampilkan sudut pandang luas. Kini dipaksa mengecil sehingga berpotensi membuat penonton kehilangan hasrat menikmati pertunjukan.

Halaman:
Luki Safriana
Luki Safriana
Pengajar Paruh Waktu Prodi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya, Mahasiswa Doktoral PSL-IPB University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...