Selamat Datang Kementerian Investasi
Dalam dunia migas, ada tiga isu besar yang selalu menjadi perhatian para investor global dalam memilih dan memilah tempat untuk berinvestasi. Pertama menyangkut prospectivity. Hal ini menyangkut potensi geologis, rasio historis keberhasilan eksplorasi hingga ke tahapan produksi.
Kedua terkait fiscal terms. Ini menyangkut hal-hal yang diperjanjikan dalam kontrak seperti sistem bagi hasil, perpajakan, dan insentif yang disediakan. Ketiga yakni easeness of doing business (indeks kemudahan berusaha). Hal ini menyangkut urusan perizinan dan pengadaan barang dan jasa. Kualitas layanan birokrasi sangat menentukan dalam hal ini.
Posisi Indonesia dalam index of doing business (“IODB”) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, dari tahun ke tahun, berkutat pada peringkat 70-an dari 190 negara. Indonesia bahkan kalah dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN. Ini mungkin salah satu penyebab, mengapa banyak pemodal baru lebih memilih berinvestasi di negara tetangga.
Di mata investor global, easeness of doing business –kemudahan berusaha dan kepastian hukum- berpengaruh langsung dengan daya saing, yang diterjemahkan dalam rasio-rasio keuangan dan permodalan. Semakin lama urusan perizinan dan semakin tidak pasti dalam berbisnis, maka IRR (tingkat keuntungan dan pengembalian modal) semakin kecil. IRR adalah salah satu ukuran klasik konvensional dalam seleksi portofolio investasi.
Undang-Undang Cipta Kerja dan Kemudahan Berusaha
Esensi, semangat, benang merah dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah yang memfasilitasi kemudahan berusaha, menjamin kepastian hukum, serta menciptakan ekosistem yang sehat untuk terciptanya lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi dunia usaha besar, menengah, kecil hingga perorangan.
Berbagai substansi undang-undang yang mengatur hal yang sejenis disatukan, diharmoniskan, disederhanakan termasuk dengan memangkas berbagai aturan, proses dan prosedur yang dipandang memperlemah daya saing.
Itulah esensi Undang-undang yang populer dengan sebutan omnibus law. Salah satu turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja adalah Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP Perizinan).
Perizinan Kegiatan Usaha Migas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) membagi dua rezim pengaturan usaha di bidang minyak dan gas bumi, yaitu kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hilir seperti pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga dikendalikan melalui mekanisme izin.
Sedangkan kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama. Pengaturan detilnya ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Hulu Migas).
Perbedaan pengaturan tersebut karena esensi dan substansi kegiatan usaha hulu migas dengan kegiatan hilir sangat berbeda, baik menyangkut spektrum jangka waktu usaha, permodalan dan persaingan.
Kegiatan usaha hulu sarat dan erat dengan risiko eksplorasi, risiko operasional, dan risiko permodalan. Karena itu, Undang-Undang Migas dengan tegas menyatakan bahwa modal dan risiko sepenuhnya ditanggung badan usaha di bidang hulu migas.
Usaha hulu migas berspektrum jangka panjang, dengan modal di bilangan ratusan juta dolar mulai dari kegiatan eksplorasi hingga eksploitasi. Rata-rata diperlukan di atas 12 tahun sejak masa eksplorasi hingga produksi pertama.
Dengan konteks inilah maka pembuat undang-undang dengan bijak membedakan kegiatan usaha hulu dengan kegiatan usaha hilir. Serta memastikan bahwa kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan dan dikendalikan (governed by) kontrak kerja sama, bukan dengan mekanisme perizinan.
Lalu apakah ada pertentangan Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya terkait dengan perizinan, dengan Undang-Undang Migas? Sesungguhnya tidak, sepanjang dapat diharmonisasi dalam konsep, regulasi, maupun implementasinya secara konsisten dan taat asas. Kedua undang-undang ini tidak saling menafikan. Namun semakin melengkapi dan menguatkan.
Terkait dengan sektor energi dan sumber daya mineral, khususnya migas, Undang-Undang Cipta Kerja mengubah Pasal 5 Undang-Undang Migas, sehingga ayat 1 berbunyi kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Selanjutnya dalam PP Perizinan pada Pasal 45 secara eksplisit dinyatakan bahwa kontrak kerja sama dilaksanakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerja sama.
Kontrak kerja sama ini diperlakukan sebagai izin dalam kegiatan usaha hulu. Penerapan perizinan berusaha tidak menghapus keberlakuan seluruh ketentuan dalam kontrak kerja sama.
Undang-Undang Cipta Kerja dengan tegas mengakui dan mendemonstrasikan dua asas hukum yang sangat terkenal, terhadap subjek maupun objek, dan tingkat peraturan yang sama. Asas lex posterior derogat legi priori, menyatakan hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior). Dalam hal ini, terkait dengan perizinan, pengaturan di Undang-Undang Cipta Kerja mengesampingkan Undang-Undang Migas.
Mengingat kekhususan kegiatan hulu migas yang secara spesifik diakui di dalam Undang-Undang Migas, pengaturan lanjut dari Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan bahwa kontrak kerja sama hulu migas diakui dan diperlakukan sebagai izin. Hal ini merupakan pengakuan terhadap asas hukum lex specialis derogat legi generali (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum).
Secara substansi kegiatan hulu migas termasuk dalam sektor yang lingkup domain tanggung jawab pembinaannya berada pada kementerian yang membidangi energi dan sumber daya mineral. Kegiatan hulu migas beririsan dengan lintas kewenangan kementerian dan lembaga lain, maupun dengan Pemda.
Secara kategoris lintas kewenangan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat kluster. Pertama, tata ruang yang meliputi tanah darat, hutan, pesisir, laut, kawasan peruntukan tertentu. Kedua, lingkungan, keselamatan dan keamanan. Ketiga, pemanfaatan sumber daya dan infrastruktur, keempat terkait dengan perlindungan serta pemberdayaan produk barang dan jasa dalam negeri.
Setiap instansi dan institusi yang berwenang perlu taat asas dan konsisten dalam penerbitan regulasi yang terkait dengan perizinan dalam berbagai jenis. Misalnya, standardisasi, rekomendasi, atau dispensasi yang sifatnya lintas sektoral.
Perpres 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, antara lain mengatur bahwa setiap kementerian atau lembaga yang mempunyai kewenangan perizinan berusaha dapat membentuk satuan tugas (satgas) lintas kementerian yang berfungsi sebagai leader. Leadership dan koordinasi yang efektif adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap regulasi ramah kepada industri, memberi perlindungan kepada pelaku usaha, serta kemanfaatan kepada masyarakat.
Kementerian Investasi
Baru saja kita mendengar berita bahwa DPR menyetujui Kementerian baru, yang bernama Kementerian Investasi. Kemungkinan fungsi kementerian ini adalah perluasan dan peningkatan peran, kewenangan, dan tanggungjawab dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kementerian ini diharapkan benar-benar merupakan clearing house urusan investasi. Investor yang hadir cukup membawa teknologi, modal, dan kewirausahaan. Seluruh urusan perizinan ditangani Kementerian ini. Entah caranya melalui pelimpahan atau pendelegasian kewenangan kementerian / lembaga, atau dengan mem-BKO (bawah kendali operasi) kan satuan-satuan kerja pada seluruh kluster di Kementerian Investasi.
Dalam praktek yang berjalan selama ini dalam sistem pelayanan terpadu satu pintu, sebagai implementasi dari Perpres 91 Tahun 2017, kementerian/lembaga telah melimpahkan banyak urusan perizinan ke BKPM. Untuk kemudahan komunikasi di BPKM ada liason officer/ penghubung.
BKPM merupakan muara yang mengeluarkan satu izin, satu pintu. Namun, karena evaluasi menyangkut segala hal hal teknis tetap berada pada kementerian / lembaga terkait, sesungguhnya pengaruhnya tidak terlalu signifikan untuk memangkas mata rantai perizinan. More or less adalah sekadar mengganti kop surat kementerian / lembaga terkait. Tidak membaiknya secara signifikan index of doing business mengkonfirmasi sinyalemen ini.
Presiden bersama DPR telah menunjukkan niat baiknya. Memangkas dan mempermudah perizinan. Masyarakat dan dunia bisnis berharap, hadirnya Kementerian Investasi akan menggairahkan investasi. Easeness of doing business kita akan membaik, syukur-syukur dapat ke kelompok nomor 60-an, yang akan diperhitungkan di kawasan Asia.
Tujuan hukum dan regulasi adalah untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan kemanfaatan baik bagi para pelaku bisnis, masyarakat luas dan regulator/ pengambil kebijakan itu sendiri. Kita menghadapi persaingan global yang tajam, kelangkaan permodalan, serta tantangan ekonomi negara serta masyarakat yang berat.
Di tengah pandemi yang melanda dunia, adalah penting dan mendesak menciptakan dan menjaga ekosistem serta iklim berusaha yang sehat, berdaya saing, serta memberi manfaat kepada seluruh stakeholders. Demi Indonesia yang lebih baik.
Praktisi Migas, Sarjana Hukum, Mahasiswa doktoral Universitas Pertahanan
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.