Peluang Emas Papua Mengejar Ketertinggalan Teknologi Pendidikan

Garry Pawitandra Poluan
Oleh Garry Pawitandra Poluan
21 Oktober 2021, 09:10
Garry Pawitandra Poluan
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Sejumlah anak-anak meneganakan seragam berangkat sekolah di Distrik Segun, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Minggu, (19/9/2021).

Pendidikan di Papua sangat tertinggal dari berbagai provinsi lain di Indonesia – baik dalam hal capaian pembelajaran siswa maupun infrastruktur digital.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indeks Pengembangan Manusia maupun Indeks Pengembangan Teknologi wilayah ini secara konsisten merupakan salah satu yang terendah di negara ini. Capaian para pelajar Papua dalam Ujian Nasional (UN) juga tetap rendah sepanjang 2017 hingga 2019.

Pada 2020, di tengah pentingnya online learning, persentase rumah tangga di Papua yang memiliki akses internet merupakan salah satu yang terendah – hanya 29,5 % dibandingkan Jakarta yang memiliki 89 %. Ini menandakan bahwa Papua kesulitan menghadapi tuntutan online learning selama krisis Covid-19.

Menariknya, bisa jadi ini justru merupakan momen yang tepat untuk berinvestasi dan mengembangkan teknologi pendidikan di Papua.

Ada Pergeseran Pola Pikir di Antara Pengajar Papua

Studi tahun 2015 dari Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) – suatu kolaborasi antara pemerintah Indonesia, Asian Development Bank (ADB), Australian Aid, dan Uni Eropa (EU) – mengidentifikasi beberapa prasyarat penting untuk mengembangkan teknologi pendidikan di Papua.

Di antaranya adalah:

1) Meningkatkan kesadaran di antara tenaga pendidik tentang pentingnya penggunaan teknologi

2) Memastikan ketersediaan infrastruktur digital

3) Menyiapkan pendidik supaya memiliki kemampuan untuk benar-benar menerapkan berbagai alat dan layanan digital terkait pendidikan.

Poin pertama adalah yang paling susah untuk diwujudkan – bagi guru dan pengajar di Papua, dan bahkan juga di seluruh dunia. Walaupun memang pembangunan infrastruktur dan peningkatan kapasitas digital bisa dilakukan pemerintah, butuh tenaga yang besar dan waktu yang lama untuk mengubah pola pikir.

Temuan dari studi di atas, misalnya, menunjukkan bahwa pada saat itu, sekitar 70 % guru di Papua menggunakan teknologi hanya untuk kebutuhan administratif atau menyiapkan materi, bukan sebagai bagian dari proses belajar. Padahal, studi tersebut sebenarnya juga menemukan bahwa banyak siswa sudah memiliki laptop dan smartphone.

Bahkan di dunia Barat, sebelum sekitar tahun 2019, platform yang menyediakan kelas daring (Massively Open Online Courses, atau MOOC) memiliki tingkat penyelesaian kursus yang rendah – meski berbagai platform tersebut didukung penyedia kelas papan atas termasuk universitas ternama. Ini menunjukkan juga bahwa menggeser pola pikir siswa untuk menyelesaikan kelas online, saat mereka terbiasa melakukannya secara offline, adalah hal yang sulit.

Penggunaan papan tulis putih dan spidol pun butuh waktu lama sebelum diadopsi oleh sekolah. Walau sudah tersedia sejak tahun 1960-an, sekolah baru mulai mengganti papan kapur dengan papan putih pada tahun 1990-an ketika kelas mulai memakai banyak komputer sehingga ruangan harus bebas debu.

Di sini, pandemi Covid-19 memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengubah sikap dan perilaku, terutama dalam pendidikan. Tutupnya sekolah mendorong pengajar di Papua untuk meninjau kembali kebiasaan mengajar mereka dan mulai mempertimbangkan pentingnya teknologi pendidikan.

Meski infrastruktur digital di Papua belum memadai, ada berbagai indikasi bahwa penggunaan teknologi pendidikan meningkat tajam di wilayah ini.

Studi tahun 2020 dari Bank Dunia, misalnya, menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pendidikan (termasuk platform seperti Ruangguru, Zenius, dan Google Classroom) di Papua mendekati 10%. Ini setara dengan provinsi lain yang jauh lebih maju seperti Riau dan Sulawesi Selatan. Capaian Papua bahkan melebihi beberapa daerah lain di Sumatra (seperti Aceh dan Bengkulu), Sulawesi, dan Kalimantan.

Di tengah pandemi, guru dan pengajar di Papua nampaknya bersedia untuk melakukan online learning jika diberikan lingkungan yang mendukung.

Ini adalah peluang yang langka bagi pemegang kepentingan di sektor pendidikan Indonesia. Untuk pertama kali dalam sekian lama, guru dan pengajar di Papua bisa berada di medan yang setara dengan rekan-rekan pengajar mereka di seluruh Indonesia.

Proses belajar-mengajar di salah satu sekolah di Papua
Proses belajar-mengajar di salah satu sekolah di Papua (The Conversation)

Banyak Jalan Papua ke Depan

Ada banyak cara supaya Papua bisa memanfaatkan momentum ini. Dari segi infrastruktur, menyediakan sambungan internet secara umum adalah tanggung jawab pemerintah. Namun, ada juga banyak peluang lain untuk menyediakan konektivitas bagi sekolah, guru, dan siswa, yakni dalam bentuk pendanaan swasta atau kemitraaan pemerintah-swasta.

Sekalipun konektivitas di Papua masih rendah, solusinya bahkan tidak harus bersifat online.

Selama ini, misalnya, sudah ada beragam perangkat alternatif di luar online learning, seperti Raspberry Pi – komputer dengan ukuran sekecil kartu kredit yang awalnya didesain untuk mengajarkan ilmu komputer dasar di sekolah dan negara berkembang – yang memiliki kapasitas setidaknya 16 GB untuk menyimpan buku dan materi digital.

Ada juga peluang pendanaan swasta untuk menyediakan perangkat digital maupun bantuan teknis untuk tenaga pendidik. Misalnya, selama pembatasan aktivitas masyarakat di sepanjang pandemi, Kementerian Pendidikan (Kemendikbud-Ristek) bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi untuk memberikan dukungan data internet kepada guru di seluruh Indonesia.

Studi dari ACDP juga menyebutkan pentingnya monitoring dan evaluasi untuk memastikan berbagai perangkat dan layanan digital ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Ahli pendidikan dapat membantu mengembangkan sistem pengawasan semacam ini di sekolah dan lembaga pendidikan.

Sekolah dan pemerintah daerah juga bisa melatih guru untuk menggunakan teknologi pendidikan melalui kerja sama dengan berbagai lembaga yang khusus bergerak di bidang pengembangan kapasitas guru. Bahkan sudah ada program seperti Sekolah Penggerak – yang mendorong kolaborasi antar sekolah dan guru untuk saling berbagi praktik pembelajaran yang inovatif – supaya menutup kesenjangan kualitas guru di wilayah ini.

Semua itu membutuhkan kerja keras, tapi hasilnya kelak tidak akan sia-sia.

Memperbaiki infrastruktur digital dan juga kapasitas pengajar untuk menggunakannya dengan baik, akan mendorong guru dan siswa untuk bereksperimen dengan materi dan teknik belajar di luar tradisi sekolah. Sistem monitoring dan evaluasi yang baik akan mendukung kepemimpinan sekolah, dan pada akhirnnya, berujung pada proses belajar mengajar yang lebih baik.

Hanya ada dua kemungkinan setelah pandemi ini selesai, dan sangat tergantung dengan apa yang dilakukan oleh setiap pemangku kepentingan selama periode kritis ini. Pendidikan di Papua bisa mendapatkan dukungan yang baik sehingga bisa menjadi kompetitif, serta menutup ketimpangan dengan provinsi lain, atau Papua tidak mendapatkan dukungan yang baik sehingga malah semakin tertinggal.

Apa pun yang dilakukan, pandemi ini adalah peluang emas untuk meninggalkan jejak perubahan yang besar bagi pendidikan di Papua.

Catatan: Artikel ini ditulis berdua dengan Sherine Hassan, Education Consultant, ACER Indonesia

The Conversation

Garry Pawitandra Poluan
Garry Pawitandra Poluan
Senior Project Officer for Research, ACER Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...