Paceklik Masih Bayangi Industri Pers Nasional, Stimulus Belum Terasa

Image title
22 Agustus 2020, 09:05
Ilustrasi. Industri media nasional mengalami penurunan pendapatan di tengah pandemi. Pekerja pers pun terdampak PHK. Di sisi lain stimulus pemerintah dianggap belum dapat berpengaruh memulihkannya.
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/pras.
Ilustrasi. Industri media nasional mengalami penurunan pendapatan di tengah pandemi. Pekerja pers pun terdampak PHK. Di sisi lain stimulus pemerintah dianggap belum dapat berpengaruh memulihkannya.

Paceklik melanda industri pers nasional di tengah pandemi virus corona. Seperti sektor lain yang juga terpukul di tengah ketidakpastian ekonomi dan ancaman resesi, bisnis media pun jatuh bangun berusaha selamat. Salah satunya dengan cara efisiensi yang berdampak kepada pekerja.

Pukulan terhadap industri media nasional sudah terjadi sejak bulan pertama Covid-19 melanda negeri ini. Menurut data dari Nielsen, total belanja iklan ke media turun sebesar 25% menjadi Rp 3,5 triliun pada minggu ketiga April 2020. Momentum Ramadan pun belum bisa mengerek perusahaan untuk belanja iklan di media.

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan Ramadan tahun lalu. Tercatat 15 perusahaan besar yang meningkatkan belanja iklannya. Ramadan tahun ini hanya empat perusahaan besar yang tercatat meningkatan belanja iklan di media.

Keempat perusahaan tersebut antara lain Shopee yang meningkatkan belanja iklan sebesar 18% secara year on year, Marjan yang mengeskalasi belanja iklan sebesar 82%, produsen mie Indomie dan Sedap yang masing masing meningkatkan belanja iklan sebesar 24% dan 4%.

Serikat Perusahan Pers (SPS) dalam surveinya pada April lalu kepada 44 perusahaan menyatakan seluruhnya mengalami penurunan pendapatan.  Sementara, 71% perusahaan pers kehilangan lebih dari 40% pendapatannya.

Lalu, sebanyak 38,63%  responden mengaku kehilangan pendapatan sebanyak 40% hingga 60% dari sebelum pandemi. 31,81% responden pun menyatakan kehilangan pendapatan 60%.

Berdampak ke Pekerja

Berdasarkan survei yang sama, 38% dari seluruh responden menyatakan berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya sebagai salah satu upaya menyelamatkan ekonomi perusahaan. Data posko pengaduan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang dibuka pada 3 April untuk pekerja perusahaan pers pun menunjukkan kecenderungan serupa.  

Hingga Kamis (13/08), LBH telah menghimpun sebanyak 114 aduan. Pengaduan didomonasi oleh masalah pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) sebanyak 53 aduan. Lalu, sebanyak 42 aduan masuk memperosoalkan perumahan sementara dengan potongan dan penundaan gaji. Sementara, 39 pengadu lainnya terkait PHK.

Bambang (39), yang meminta namanya disamarkan, adalah salah satu yang terdampak kebihakan efisiensi perusahaan media nasional. Ia bekerja di salah satu stasiun televisi nasional. Namun, sejak awal Mei, ia dan 36 karyawan lain di bidang pemberitaan terpaksa dirumahkan dengan potongan gaji sebesar 50% tanpa ada kejelasan batas akhir pemotongan tersebut.

Bambang menyatakan, sempat mengembalikan surat pemberitahuan pemotongan gaji yang diterimanya ke perusahaan sebagai penolakan atas kebijakan tersebut.  “Saat kami mempertanyakan hal ini, perusahaan menolak untuk bertemu dan komunikasi. Bahkan kami dihadang security saat ingin berdialog dengan HRD,” kata pria asal Surabaya ini kepada katadata.co.id (13/08).

Upaya komunikasi dengan HRD yang dilakukan Bambang dan kawan-kawannya pun tak berjalan mulus. Direktur HRD tempatnya bekerja tak menghadiri pertemuan tersebut. Perusahaan hanya diwakili pemimpin redaksi. Walhasil, sampai saat ini belum jelas sampai kapan ia akan dirumahkan dan gajinya dipotong.

Bambang dan kawan-kawannya yang menjadi korban tak lantas berhenti memperjuangkan haknya. Mereka melayangkan surat somasi pertama pada 8 Mei 2020. Langkah ini mengacu kepada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja (SE Menaker) No. 5 Tahun 1998 yang mengharuskan kebijakan pemotongan gaji didahului perundingan dan kesepakatan dengan karyawan.

Tak cukup dengan somasi pertama, mereka kembali melayangkan somasi kedua sebulan setelahnya. Hasilnya adalah terselenggaranya pertemuan bipatrit dengan perusahaan dengan Dinas Tenaga Kerja danTransmigrasi DKI Jakarta sebagai mediator. Perusahaan kemudian menawarkan dua opsi: resign with benefit (RWB) atau PHK.

Tenggat penawaran RWB hingga 1 Agustus 2020. Jika lebih dari itu, maka perusahaan menyatakan benefit berupa 1 N (gaji pokok x 1 kali masa kerja) dan asuransi rawat inap sampai Februari 2021 gugur. Selain itu, perusahaan akan mem-PHK karyawan pada Agustus 2020 dan tidak akan memberikan pesangon sesuai aturan ketenagakerjaan.

“Di akhir Juli, karena saya jengah dengan kondisi ini dan karena alasan pribadi, saya memutuskan resign dan menantangai pernyataan keputusan ini sebagai keinginin pribadi dan tanpa paksaan,” jelasnya.

Direktur eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin kepada Katadata.co.id, berdasarkan aduan yang diterima lembaganya menyatakan, “ada semacam keadaan modus untuk efisiensi di tubuh perusahaan, jadi semacam aji mumpung.”

Kata Ade, ini tercermin dari pernyataan kerugian perusahaan yang tidak dilengkapi bukti laporan keuangan. Hingga kini, LBH Pers masih mendampingi aduan-aduan yang diterima.

Stimulus Pemerintah Dinilai Kurang Berpengaruh

Pemerintah Indonesia merespons hal ini dengan memberikan tujuh insentif kepada perusahaan media, yakni: penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kertas koran; penundaan biaya listrik; penangguhan kontribusi BPJS Ketenagakerjaan; penangguhan premi BPJS Kesehatan; keringanan cicilan pajak korporasi; membebaskan pajak penghasilan (PPh) karyawan; dan alokasi belanja iklan ke media lokal.

Meski demikian, Ade menilai stimulus pemerintah tidak berpengaruh banyak terhadap kondisi perusahaan, terutama pekerja media yang terdampak. Berbagai insentif itu tidak akan menutup defisit keuangan perusahaan media.

“Insentif ini membantu, tapi belum mampu menutup ‘bolongnya’ keuangan perusahaan media sekarang,” terang Ade.

Di sisi lain, Ade menilai insentif pemerintah bisa menggoyahkan independensi pers. Maka, pengawasan terhadap insentif tersebut perlu dilakukan secara ketat. Salah satunya dengan melibatkan Dewan Pers. Hal ini demi menghindari penyetiran produk pers oleh pemerintah.  

“Saya rasa proses ini harus ditempuh setransparan mungkin,” kata Ade.

Penulis: Muhamad Arfan Septiawan (Magang)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...