Satu Wajah, Dua Warga Negara
SUDAH jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib Florita Mag-Aso. Ia tak hanya harus menerima nasib berpisah dengan suami dan kedua anaknya karena ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kota Bitung sejak Januari 2015, tapi juga kehilangan jejak anggota keluarga lainnya yang masih bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) pump boat di sana.
Dua tahun lalu, Mateo G. Mag-Aso, suaminya, bersama kedua anaknya: Jeffrey Mag-Aso dan Jeric Mag-Aso, diciduk aparat kapal patroli Kementerian Kelautan. Penyebabnya, kapal asing Garuda-05 dan 06 yang mereka gunakan untuk menangkap ikan di perairan Talaud, Laut Sulawesi, tak berizin.
Rupanya peristiwa nahas itu tak membuat jeri para nelayan Filipina. Banyak di antara mereka yang tetap mengadu nasib di perairan Indonesia. Salah satunya, kata Florita, anggota keluarganya yang hingga kini masih bekerja sebagai ABK pumpboat di Bitung. Dia menumpang sebuah kapal yang berangkat dari General Santos, Filipina, lalu menetap di Bitung, dan belum kembali sejak itu.
“Saya tidak tahu dia bekerja untuk siapa, tapi bosnya berada di Bitung dan dia tinggal di kapal,” katanya saat ditemui di kediamannya di Sarangani, Davao, Filipina, Jumat dua pekan lalu (17/3). “Nahkoda kapal tempat dia bekerja juga seorang Bisaya (suku bangsa di Filipina), tetapi sudah menikahi wanita lokal.”
Cerita miris juga disampaikan Junel Abadiyon. Nahkoda KM D’Von ini juga ditangkap aparat, dan didakwa telah melakukan tindak pidana perikanan dengan ancaman hukuman penjara plus denda Rp 1 miliar.
“Istri sudah tahu kalau saya ditangkap. Saya sempat telepon dia. Sambil menangis dia bilang, bagaimana menghidupi anak-anak?” ujarnya sembari tertunduk saat ditemui di detensi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Bitung, pertengahan Januari lalu.
Kapal pengawas itu mendeteksi adanya aktivitas KM D’Von di sana. Bukan perkara sulit bagi dua mesin Hiu Macan Tutul berdaya 2028 PK itu untuk mengejar D’Von yang hanya didorong mesin 60 PK. Tak sampai satu jam, kapal patroli sepanjang hampir 37 meter itu berhasil memepet D’Von yang panjangnya sekitar tujuh meter saja.
Berselang empat hari, giliran kapal pengawas Hiu Macan 306 menangkap KM. Triple D-00 di perairan yang sama. Bersama kedua kapal itu, ditangkap pula enam kapal lainnya, yang semuanya berbobot di bawah 5 gross ton. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa tak secuil dokumen pun mereka kantongi untuk masuk perairan Indonesia.
Yang menarik, di enam kapal selain D’Von dan Triple D, seluruh awak kapalnya berwarga negara Filipina. Sedangkan di D’Von dan Triple D, masing-masing hanya terdapat 1 awak asal Filipina. Sisanya, 21 awak lainnya berkewarganegaraan Indonesia.
Kecurigaan muncul ketika 21 awak itu juga tampak sulit berbicara dalam bahasa Indonesia. Padahal dari hasil pemeriksaan, mereka semua memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia.
Berbekal kejanggalan tersebut, KM D'Von dan KM Tripel D ditarik ke Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Bitung. Lantas, penelisikan lebih dalam digelar.
Hasilnya, muncul dugaan bahwa 21 ABK itu merupakan warga negara Filipina yang mengaburkan jati dirinya dengan menggunakan KTP Indonesia. Dengan kata lain, telah terjadi pemalsuan dokumen identitas kependudukan.
Mengaku Warga SAPI
Indikasi ini setidaknya terlihat dari bukti-bukti awal pemeriksaan. Sebanyak 11 ABK pada KM D’Von diketahui memiliki KTP elektronik yang dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil Kota Bitung pada 11 Agustus 2016 dan berlaku seumur hidup.
“Modus mereka memang menyamar sebagai orang SAPI,” ujar salah seorang anggota Satuan Tugas 115 Kementerian Kelautan, yang khusus dibentuk untuk memerangi praktek perikanan ilegal. Orang SAPI yang dimaksud adalah penduduk Sangir-Filipina, warga keturunan Filipina yang telah lama menetap di Sangir, kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Untuk menelusuri lebih jauh modus ini, penyidik PSDKP Bitung mencoba memverifikasi keaslian KTP tersebut kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kota Bitung.
“Klarifikasi dilakukan 30 September (2016). Dua hari setelah penyerahan (berkas) oleh pihak pengawas (PSDKP Bitung),” ujar Youdi Ronni Suawa, Penyidik Pegawai Negeri Sipil PSDKP Bitung dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Bitung, pertengahan Januari lalu. Tapi sayang, surat yang dilayangkan ke Kepala Dinas itu tak berbalas.
Titik terang mulai muncul ketika tim penyidik memeriksa “Personal History Statement”. Formulir yang disediakan oleh Konsulat Jenderal Filipina di Manado ini harus diisi dengan benar oleh para awak kapal yang ditangkap, jika mereka ingin direpatriasi alias dipulangkan ke Filipina.
Dari dokumen itu akhirnya diketahui bahwa seluruh awak kapal sesungguhnya berkebangsaan Filipina. Tempat tinggal mereka pun di Saeg Calumpang, General Santos, Filipina.
Di persidangan kemudian terungkap pula bahwa pengurusan KTP elektronik palsu itu diinisiasi oleh Denis Luas, pemilik KM D’Von. Dengan biaya Rp 500 ribu per KTP, Nancy Sinombor, Pegawai Negeri Sipil Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bitung mengurusnya dalam waktu lima hari kerja.
Sosok lain di Bitung yang juga disebut-sebut dapat membantu proses perizinan kapal nelayan Filipina untuk bisa menangkap ikan di laut Indonesia adalah Annabel Luas. Benar-tidaknya soal keterlibatan Tein dan Annabel hingga kini masih samar.
Berbeda halnya dengan Denis Luas dan Nancy Sinombor yang sudah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bitung. Keduanya didakwa telah melakukan pemalsuan surat, sehingga masing-masing dijatuhi hukuman kurungan lima bulan 15 hari dan enam bulan penjara.
Modus hampir sama terjadi pada 9 awak kapal KM Triple D. Hanya saja, KTP palsu yang mereka miliki berupa KTP lama model laminating yang dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara. Sementara itu, 1 KTP lainnya dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil Kota Sorong, Papua Barat.
Dari hasil pemeriksaan diperoleh fakta ternyata KTP tersebut tidak pernah dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil Boltim. Sebab, sejak 2012, kantor ini tidak lagi mengeluarkan blanko KTP lama, melainkan format baru e-KTP alias KTP elektronik.