Bongkar Pasang Struktur BIN dan Operasi Khususnya di Era Orde Baru

Sorta Tobing
20 Juli 2020, 18:17
sejarah bin, badan intelijen negara, bin di bawah presiden
ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Ilustrasi. Badan Intelijen Negara (BIN) tak lagi berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, tapi langsung di bawah Presiden RI.

Badan Intelijen Negara (BIN) tak lagi berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Dengan munculnya Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2020 pada 3 Juli lalu, badan ini sekarang berada langsung di bawah Presiden RI.

Dengan sistem baru ini harapannya Presiden akan lebih cepat, tepat, efektif, dan efisien dalam mengambil kebijakan, serta mampu memperketat kerahasiaan informasi tersebut. “Semua ditujukan untuk efisiensi agar terjadi percepatan distribusi informasi," kata Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto dalam keterangan resminya, Minggu (19/7).

Presiden sebagai single client BIN dinilai perlu mendapat penyampaian informasi secara langsung. Namun, koordinasi dengan kementerian atau lembaga lainnya tetap bisa dilakukan, demikian juga dengan Kemenkopolhukam.

BIN merupakan Ketua Kominpus (Komite Intelijen Pusat). Artinya, semua lembaga intelijen di Indonesia berada di bawah koordinasi BIN. Rapat Kominpus juga melibatkan kementrian atau lembaga terkait yang tidak memiliki unit intelijen.

Secara terpisah, Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan, BIN langsung berada di bawah Presiden karena produk intelijen negara dinilai langsung dibutuhkan oleh Presiden. Tapi setiap Kemenko bisa meminta info intelijen kepada BIN.

"Saya sebagai Menko Polhukam selalu mendapat info dari Kepala BIN dan sering meminta mereka memberi paparan di rapat-rapat kemenko," kata Mahfud dalam akun Twitter miliknya, @mohmahfudmd.

Wakil Ketua MPR RI dari fraksi Partai Demokrat Syarif Hasan menyebut kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) akan lebih leluasa dengan berada di bawah perintah langsung Presiden. Tugas intelijen yang diemban BIN banyak berhubungan dengan tugas rahasia negara, sehingga tepat apabila hal tersebut hanya diketahui langsung oleh Presiden.

Berdasarkan Perpres Nomor 34 Tahun 2010 tentang Badan Intelijen Negara memang disebutkan BIN adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Syarif menyebut sejumlah negara juga menerapkan kebijakan yang sama untuk badan intelijen negaranya, contohnya Central of Intelegence Agency (CIA) yang bertanggung jawab kepada Presiden AS. Lalu, Joint Intellegence Committee (JIC) di bawah Perdana Menteri Inggris, dan Intelijen SVR di bawah Presiden Rusia.

Pada pasal 4 Perpres Nomor 73 Tahun 2020 tidak tertuang nama BIN dalam lembaga negara yang berkoordinasi di bawah Kemenkopolhukam. Lembaga yang tercantum hanya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Lalu, ada juga Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kejaksaan Agung, Tentara Nasional Indonesia, dan Polri. Pengalihan kooordinasi BIN ke Presiden ini membuat badan itu tidak wajib melapor ke Kemenkopolhukam.

Perpres ini juga mengugurkan ketentuan Perpres Nomor 43 Tahun 2015 yang menyebut BIN adalah lembaga yang berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

BIN GELAR RAPID TEST MASSAL DI TEROWONGAN KENDAL
Ilustrasi. Badan Intelijen Negara atau BIN. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.)

Bermula di Bawah Menteri Pertahanan

Melansir dari situs resminya, BIN dibentuk sesaat setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika itu namanya Badan Istimewa yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis.

Badan ini diisi oleh lulusan sekolah intelijen militer Nakano bentukan Jepang pada 1943. Zulkifli dan 40 mantan tentara Pembela Tanah Air (PETA) menjadi penyidik militer khusus pertama di Indonesia.

Pada 1946, namanya berubah menjadi Badan Rahasian Negara Indonesia alias BRANI. Sebanyak 30 pemuda mendapat pelatihan khusus di daerah Ambarawa, Jawa Tengah, pada bulan Mei tahun itu untuk mengisi lembaga tersebut. Beberapa unit ad hoc terbentuk hingga terlibat dalam operasi intel di luar negeri.

BRANI ketika itu berada di badan pertahanan baru buatan Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin pada Juli 1946. Setahun kemudian Menteri Pertahanan menyatukan seluruh badan intelijen. BRANI masuk Bagian V dari Badan Pertahanan B.

Pada awal 1952, Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang menurunkan lembaga intelijen menjadi Badan Informasi Staf Angkatan Perang atau BISAP. Di tahun tersebut, Indonesia menerima tawaran pelatihan dari lembaga intelijen Amerika Serikat alias CIA untuk para calon intel profesional di Pulau Saipan, Filipina.

Presiden Sukarno kemudian membentuk Badan Koordinasi Intelijen pada 5 Desember 1958. Tujuannya, untuk menyatukan seluruh lembaga intelijen di angkatan dan kepolisian agar menjadi solid. Kolonet Laut Pirngadi ditujuk sebagai kepala BKI.

Setahun kemudian, BKI berganti nama menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) dan dikepalai oleh Soebandrio pada 1959. Di era 1960-an terjadi perang ideologi komunis dan non-komunis di tubuh militer, termasuk intelijen.

Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Melansir dari Historia.id, pengadilan tak memiliki bukti keterlibatannya dalam gerakan tersebut, maka ia divonis bersalah karena dianggap subversif terkait ucapannya membalas teror dengan kontra-teror.

Tapi vonis ini berubah karena Soebandrio memiliki rekam jejak sebagai duta besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi itu dan juga mantan Menteri Luar Negeri menghindarinya dari senapan regu tembak. Presiden AS Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth mengintervensi proses hukum Soebandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup.

Intelijen dalam Lingkaran Soeharto

Setelah peristiwa 1965, Soeharto memimpin Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib. Setiap daerah atau komando daerah militer (Kodam) lalu membentuk satuan tugas intelijen (STI).

Ketika menjabat Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan pada 1966, Soeharto mendirikan Komando Intelijen Negara atau KIN yang dipimpin Brigjen Yoga Sugomo. Kepala KIN bertanggung jawab langsung kepada Soeharto.

Sebagai lembaga strategis, BPI kemudian dilebur ke dalam KIN dan memiliki Operasi Khusus atau Opsus di bawah komando Letnan Kolomel Ali Moertopo. Asistennya ketika itu adalah Leonardus Benyamin Moerdani dan Aloysius Sugiyanto.

Kurang dari setahun, pada 22 Mei 1967 Soeharto yang telah menjabat presiden RI mengeluarkan keputusan untuk mengubah KIN menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara atau BAKIN. Kepala lembaga ini adalah Mayor Jenderal Soedirgo.

Mulai 1970 terjadi reorganisasi BAKIN dengan tambahan Deputi III Pos Opsus di bawah Ali Moertopo. Sebagai orang yang berada di lingkaran dalam Soeharto, Opsus dipandang paling prestisius di BAKIN. Divisi ini terlibat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat dan kelahiran mesin politik Orde Baru, yaitu Golongan Karya (Golkar).

Tirto.id menuliskan, meskipun bukan kepala BAKIN, Ali Moertopo bisa berbuat lebih ketimbang jenderal-jenderal lainnya. Opsus yang ia pimpin sangat dominan, baik urusan luar dan dalam negeri.

Soeharto mempercayakan penggalangan dukungan politik kepada Moertopo. Ia menyederhanakan partai politik dari 10 partai menjadi tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golkar pada 1971.

Di tahun yang sama, ia mengambil perang penting bagi kemenangan Golkar, melalui Badan Pengendali Pemilihan Umum atau Bappilu. Sejak itu, selama Orde Baru berkuasa, Golkar selalu memenangkan pemilu di Indonesia.

LB Moerdani kemudian memperluas kegiatan intelijen menjadi Badan Intelijen Strategis atau Bais pada 1983. Hal ini membuat BAKIN menjadi sebuah direktorat kontra-subversi Orde Baru.

Satu dekade kemudian Soeharto mencopot LB Moerdani sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Mandat BAIS berkurang dan namanya diganti menjadi Badan Intelijen ABRI atau BIA. Di era Reformasi, tepatnya pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengubah BAKIN menjadi BIN.

Penyumbang Bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)

Reporter: Ekarina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...