Kontroversi Program Bela Negara di Kampus yang Diusulkan Kemenhan

Sorta Tobing
19 Agustus 2020, 16:55
evergreen, program bela negara di kampus, menwa, Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono
ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Peserta Mahasiswa Angkatan 34 pada tahun akademik 2019/2020 mengikuti upacara Pendidikan Bela Negara (PBN) di Lapangan Universitas Negeri Siliwangi (Unsil), Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (27/1/2020).

Kementerian Pertahanan tengah menjajaki kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar para mahasiswa yang duduk di bangku perkuliahan dapat mengikuti program bela negara. Setelah universitas, program itu akan masuk pula ke sekolah.

“Kami turunkan lagi ke level SMA (sekolah menengah atas), kemudian SMP (sekolah menengah pertama), kemudian sekolah dasar, dan nanti ke usia dini,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono, dikutip dari Kompas.com, Rabu (19/8).  

Advertisement

Implementasinya masih dalam tahap pembahasan dengan Kemendikbud. Bentuk program bukan pendidikan militer dan tak hanya ditujukan bagi para mahasiswa. “Semua milenial, termasuk yang dewasa pun harus punya jiwa bela negara,” ucapnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam, melansir dari BBC, mengatakan pendidikan bela negara rencananya masuk melalui skema Kampus Merdeka yang telah berjalan sejak Januari lalu. Dalam skema itu, mahasiswa diberikan waktu hingga dua semester untuk menjalani mata kuliah di luar program studi. Hasil pendidikannya akan masuk dalam satuan kredit semester atau SKS mahasiswa.

Targetnya, pada tahun depan program ini mulai dapat menjadi pilihan mahasiswa. Kemendikbud memastikan perkulihannya tidak akan sia-sia dalam pencapaian gelar. “Menurut Pak Menhan (Menteri Pertahanan Prabowo Subianto) dan Pak Wamenhan, nanti mahasiswa yang mengikuti program komponen cadangan selama 10 bulan saat lulus sarjana sekaligus mendapatkan pangkat perwira cadangan,” kata Nizam.

Kritik terhadap Program Bela Negara di Kampus

Rencana ini mendapat penolakan dari berbagai pihak. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti menyebut pendidikan militerisme dalam ranah pendidikan formal sangat bahaya. Pemerintah seolah memelihara kultur kekerasan.

Selain itu, Fatia juga melihat ada upaya pemerintah meredam sikap kritis mahasiswa terhadap negara. “Upaya-upaya kritis, dari anak muda khususnya, itu mulai dibungkam secara perlahan lewat wajib militer ini," katanya, dikutip dari BBC.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan, penyelenggaraan program bela negara di perguruan tinggi memang diperlukan, tapi bukan berbentuk pendidikan militer. "Untuk mendaftar menjadi komponen cadangan sifatnya harus sukarela. Pemaksaan di sini bisa berpotensi melanggar hak asasi manusia," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement