Kisah Jalan Raya Anyer-Panarukan yang Perluas Layanan Pos Indonesia
Sejarah PT Pos Indonesia begitu panjang. Kantornya pertama kali berdiri di Batavia (sekarang Jakarta) pada 26 Agustus 1746 atas instruksi Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff.
Tujuan pendirian kantor tersebut adalah untuk menjamin keamanan surat para penduduk. Terutama bagi mereka yang berdagang dari luar Jawa dan penduduk yang datang atau pergi ke Belanda.
Namun, pemicu utama pembangunan adalah wabah malaria pada 1733 dan tragedi pembunuhan terhadap warga Tiongkok pada 1740. Kedua peristiwa itu menyebabkan kerugian besar ke sektor perdagangan.
Mengutip dari buku The Archives of Dutch East India Company (VOC) and the Local Institution in Batavia (2007) Karya Louisa Baik dan kawan-kawan, van Imhoss yang berkuasa dari 1743 sampai 1750 mencari jalan keluar untuk masalah itu.
Salah satunya dengan pembentukan perusahaan pos. Gedung pos tersebut kini masih ada di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Sekarang banyak orang menyebutnya Gedung Filateli.
Van Imhoff kemudian membuka kantor pos keduanya di Semarang pada 1750. Fungsinya untuk menciptakan jalur perhubungan pos yang teratur antara Semarang dan Batavia.
Rute perjalanan pos ketika itu adalah melalui Karawang, Cirebon, dan Pekalongan. Jalur tersebut kemudian menjadi lebih singkat setelah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di awal abad ke-19.
Kehadiran Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg kian memperlancar akses distribusi informasi di Hindia Belanda. Dalam Colonial Exploitation and Economic Development (2013) karya Ewout Frankema menyebutkan, jalan itu dibangun pada masa awal Gubernur Daendels berkuasa (1808-1811).
Ia juga menginstruksikan bawahannya untuk membangun pos-pos yang dilengkapi penginapan dan kandang kuda bagi kereta pos di sepanjang Jalan Anyer-Panarukan.
Kehadiran pos-pos tersebut mempermudah komunikasi dengan bawahannya di seluruh Jawa. Setelah Jalan Raya Pos ini selesai, Daendels mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan pengaturan dan pengelolaan jalan raya ini.
Ketiga aturan itu berisi tentang pemanfaatan jalan raya, pengaturan pos surat dan pengelolaanya, penginapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta pos, komisaris pos, dinas pos dan jalan.
Pergantian Nama Pos Indonesia
Sepeninggal van Imhoff peranan kantor pos semakin penting dan berkembang, seiring dengan penemuan telegraf dan telepon. Saat masa peralihan dari era Gubernur Jendral James Loudon (1872-1875) ke Johan Wilhelm van Lansberge (1875-1881), Dinas Pos digabung dengan Dinas Telegraf dengan status jawatan milik pemerintah.
Nama institusinya pun berubah menjadi Post En Telegraafdienst. Kemudian berkembang menjadi Post Telegraafend Telefoon Dienst atau Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT) pada 1906 seiring dengan mulai krusialnya kebutuhan telekomunikasi dengan telepon.
Dan akhirnya setelah Indonesia merdeka Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon diambil alih oleh negara. Pada 1961, Jawatan PTT menjadi perusahaan milik negara dan namanya diganti menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel).
Kemudian pada masa kekuasaan Orde Baru, pada 1978, institusi pos negara berganti status menjadi Perusahaan Umum Pos dan Giro. Dan sekali lagi berubah status pada tahun 1995 menjadi Perseroan Terbatas (PT). Sejak saat itu hingga sekarang, nama institusinya adalah PT Pos Indonesia (Persero).
Penyumbang bahan: Dhia Al Fajr (magang)