Tak Mampu Capai Target, Dirjen Pajak Mundur
KATADATA - Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mengundurkan diri dari jabatannya. Alasannya, sejak memangku jabatan tersebut pada awal Februari lalu hingga awal Desember ini, dia tidak sanggup mengejar target penerimaan pajak. “Tadi pagi surat pengunduran dirinya disampaikan,” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dengan suara rendah di kantornya, Jakarta, Selasa (1/12).
Untuk mengisi posisi yang lowong tersebut, Menteri Keuangan telah melantik Ken Dwijugiasteadi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pajak pada Selasa pagi. Sebelumnya, Ken memangku jabatan Staf Ahli Dirjen Pajak. Saat pemilihan Dirjen pajak awal tahun ini, Ken sempat menjadi salah satu kandidat kuat bersaing dengan Sigit. Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak Jawa Timur I.
Sekadar informasi, penerimaan pajak per 4 November lalu mencapai Rp 774,4 triliun atau 59,8 persen dari total target penerimaan pajak tahun ini. Artinya, selisih antara realisasi dengan target (shortfall) penerimaan pajak mencapai Rp 155 triliun. Ini mempengaruhi penerimaan negara yang baru mencapai 63 persen dari pagu Rp 1.761,6 triliun. Sedangkan belanja pemerintah hingga 5 November 2015 sekitar 71 persen dari pagu Rp 1.984,1 triliun. Artinya, defisit anggaran mencapai Rp 298,9 triliun atau 2,55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun, pekan lalu, Bambang Brodjonegoro memprediksi defisit anggaran tahun ini bakal mencapai 2,7 persen dari PDB. Hal ini didasarkan kepada angka penerimaan pajak yang hanya terealisasi 85 persen dari total target sebesar Rp 1.294 triliun.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution memandang persoalan paling mendasar yang dihadapi pemerintah dalam menjalankan perekonomian tahun ini adalah seretnya penerimaan negara, terutama penerimaan dari sektor perpajakan. Sebagian besar penerimaan negara bersumber dari pajak perusahaan. Padahal, di negara lain yang perekonomiannya sudah lebih mapan, mayoritas penerimaan pajak dari perorangan alias individu.
Alhasil, ketika terjadi guncangan perekonomian, konsumsi masyarakat tidak banyak berubah sehingga penerimaan pajak tak ikut terganggu. Berbeda kalau penerimaan didominasi pajak perusahaan, ketika perekonomian melambat maka setoran pajak akan ikut menurun.
Darmin membandingkan kondisi yang terjadi tahun ini dengan tahun 2009. Penerimaan juga sempat terganggu karena krisis ekonomi yang mulai terjadi setahun sebelumnya. Bedanya, seretnya penerimaan negara tahun ini berdampak pada terganggunya pengeluaran pemerintah. Padahal, pengeluaran pemerintah diharapkan menjadi tumpuan dan motor penggerak pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyoroti seretnya penerimaan pajak tahun ini. Ia menaksir, kekurangan pajak (shortfall) mencapai Rp 430 triliun atau sekitar 33 persen dari target penerimaan tahun ini Rp 1.294 triliun. “Terbuka (terus terang) saja, tidak mungkin selama Desember bisa (bertambah penerimaan pajak) Rp 400 triliun. Artinya kurang pajak,” katanya.
Konsekuensinya, pemerintah mengurangi belanja, seperti pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur. “Kesulitannya adalah, yang bisa dikurangi sebagian anggaran pembangunan karena tidak mungkin (memotong) gaji (pegawai),” imbuhnya.