Kejaksaan: Setya Novanto Bisa Dijerat Undang-undang Korupsi
KATADATA - Kisruh percaloan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia mulai ditelisik penegak hukum. Satu per satu, Kejaksaan Agung memanggil para tokoh yang terkait. Setelah akhir pekan lalu Presiden Direktur Freeport Maroef Sjamsuddin menyerahkan bukti rekaman dugaan intervensi oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, hari ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dimintai keterangannya.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah mengatakan Setya Novanto bisa dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Ini kan di depan mata kita semua apa yang terjadi, dan kami cermati ada indikasi mufakat yang merugikan. Mufakat terkait tindak pidana korupsi, kita bisa tindak,” kata Arminsyah di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin, 7 Desember 2015. (Baca pula: Tanpa Alasan Jelas, Sidang Setya Novanto Diundur).
Bila mengacu pada Pasal 12 huruf e, Setya Novanto dapat dipidana dengan penjara seumur hidup. Atau, pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Adapaun pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak satu miliar rupiah. Pasal tersebut kemudian menjelaskan kategori subjek pelaku.
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.”
Adapun pada Pasal 3 berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun.” Sementara itu, si pelaku akan dikenai denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak satu miliar rupiah.
Arminsyah mengatakan saat ini Kejaksaan masih dalam tahap penyelidikan. Jika memang ada bukti tindak pidana maka akan ditingkatkan menjadi penyidikan. (Baca juga: Sudirman Beberkan Rekaman Kongkalikong Calo Freeport ke Kejaksaaan).
Dalam pengumpulan bukti dan bahan, Kejaksaan sudah memanggil Maroef Sjamsuddin. Kejaksaan bahkan sempat mengambil bukti autentik berupa telepon genggam bermerk Samsung yang digunakan untuk merekam pertemuan Maroef, Setya Novanto dan M. Riza Chalid. Namun Arminsyah belum bisa mengatakan apakah rekaman tersebut sama dengan rekaman yang beredar dan diperdengarkan di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD).
Setelah memeriksa Maroef, hari ini Jampidsus juga meminta keterangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said terkait asal rekaman tersebut. “Karena beliau menteri yang membidangi Freeport, beliau mengatakan itu jadi tanggung jawab saya untuk membuat laporan, sebatas itu. Juga apa saja yang menimbulkan potensi dan lain-lain,” ujar dia. (Lihat pula: Takut Rakyat Marah, Reza Diperiksa Setelah Setya Novanto).
Dari keterangan dua orang tersebut, dia belum bisa mengatakan apakah Setya Novanto sudah bisa dijadikan tersangka. Arminsyah juga belum memastikan untuk memanggil pihak lain seperti Setya Novanto, Riza Chalid, atau Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM Luhut Binsar Panjaitan. Yang pasti, Kejaksaan akan berkoordinasi dengan pihak lain, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kasus ini bermula pada pertengahan bulan lalu ketika Setya Novanto dilaporkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said karena dinilai mengintervensi perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Upaya Setya cawe-cawe ini terungkap melalui rekaman pertemuan Setya dengan pengusaha migas Muhamad Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin di Pacific Place pada 8 Juni 2015. Pertemuan tersebut merupakan ketiga kalinya mereka berkumpul yang diprakarsai oleh Setya.
Dengan rentetan kejadian itu, Sudirman menganggap tindakan Setya bukan saja melanggar tugas dan tanggung jawab seorang anggota Dewan mencampuri eksekutif, tetapi juga mengandung unsur konflik kepentingan. Lebih tidak patut lagi tindakan ini melibatkan pengusaha swasta dan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.