Maskapai Murah Rajai Pasar Bebas Penerbangan ASEAN
Kelompok maskapai berbiaya rendah, low-cost carrier (LCC), serta pabrikan pesawat penumpang berukuran sedang menjadi penguasa dalam pasar bebas penerbangan ASEAN atau ASEAN Open Sky sejak bulan lalu. Rativikasi kesepakatan oleh Indonesia dan Laos pada April kemarin memungkinkan maskapai meluncurkan berbagai penerbangan tanpa batas dari negara asal ke tujuan mana pun di Asia Tenggara, sesuai dengan ketersediaan slot bandara.
Hal ini berbeda dari sebelumnya ketika maskapai masih dibebani tarif tambahan untuk membuka penerbangan baru lintas negara di kawasan ini. “Bisa membuka penerbangan internasional sebanyak-banyaknya, selama pasar mendukung,” kata professor hukum penerbangan dari National University, Singapura, Alan Tan, seperti dikutip Reuters, Selasa, 17 Mei 2016. (Baca: Jokowi Pastikan Terminal 3 Bandara Soetta Beroperasi Juni 2016).
Bandar udara pengumpul (hub), seperti Bandara Changi di Singapura, telah mengantongi rencana pengembangan yang matang dan mampu meningkatkan keuntungan dari pertambahan layanan penerbangan. Demikian juga dengan LCC yang mengoperasikan penerbangan jarak pendek.
Melihat perkembangan itu, maskapai berbiaya rendah jajaran atas seperti AirAsia dari Malaysia, Lion Air asal Indonesia, serta Cabu Pacific milik Filipina juga merencanakan hal tersebut. AirAsia, misalnya, ingin membuka lebih banyak penerbangan internasional dari Filipina dan Indonesia. Langkah ini membantu maskapai yang terafiliasi dengannya menembus pasar domestik.
AirAsia menyatakan konektivitas yang berkembang di tingkat regional akan menarik para wisatawan sekaligus memperkuat ASEAN dalam bidang ekonomi. Sementara itu, maskapai full service seperti Thai Airways, Garuda Indonesia dan Philippine Airlines, yang sudah kehilangan pangsa pasarnya sejak kehadiran LCC sepuluh tahun silam, berencana fokus pada penerbangan jarak jauh di Asia Tenggara.
Adapun Grup Singapore Airlines mendulang keuntungan dari ASEAN Open Sky dengan mengoperasikan penerbangan berbiaya rendah serta full service. (Lihat: Bandara Soekarno-Hatta Tersibuk Ke-8 di Asia)
Pembukaan penerbangan ke berbagai destinasi baru di kawasan Asia Tenggara juga mendorong produksi pesawat dengan kapasitas 70 hingga 130 kursi oleh pabrikan pesawat seperti Embraer asal Brazil, Bombardier dari Kanada, serta ATR yang merupakan joint venture antara Airbus dan perusahaan Italia, Finmeccanica.
Pesawat-pesawat tersebut mampu melayani penerbangan untuk rute yang lebih menguntungkan dibanding pesawat besar seperti Airbus A320 dan Boeing 737. “Banyak maskapai regional yang mulai menyadari adanya keunggulan daya saing dengan meratifikasi ASEAN Open Sky,” ujar Vice President Embraer Commercial Aviation untuk kawasan Asia Psifik, Mark Dunnachie.
Dari sini makin terlihat maskapai yang akan menguasai open sky. Namun masih ada yang menjadi kendala yaitu terkait kapasitas bandara yang kadang tidak mencukupi. (Baca: 9 Maskapai Indonesia di Jajaran Terburuk Dunia).
Bandara Suvarnabhumi, Bangkok; Bandara Ninoy Aquino, Manila; serta Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang merupakan tiga bandara terbesar di Asia Tenggara yang melayani pasar penerbangan domestik untuk Thailand, Filipina dan Indonesia. Ketiganya sudah mencapai titik kapasitas maksimal dengan sederet kepadatan dan keterlambatan penerbangan. Hal ini akhirnya menciptakan persoalan pada bandara-bandara lain. "Kapasitas penerbangan tanpa batas tidak ada artinya jika pemerintah tidak menyelesaikan masalah kepadatan di bandara,” kata Tan.
Sementara itu, Direktur Bandara International Air Transport Association (IATA) untuk kawasan Asia Pasifik, Vinoop Goel menyatakan kebijakan tentang penerbangan nasional dalam jangka panjang diperlukan untuk terminal serta runway bandara. Sebab, kegagalan dalam menangani persoalan infrastruktur bandara mengakibatkan pemborosan.
IATA memprediksikan negara-negara ASEAN akan membuka 25 juta pekerjaan serta pemasukan US$ 298 miliar untuk produk domestik bruto (PDB) Asia Tenggara pada 2035 melalui investasi di sektor infrastruktur penerbangan. Angka ini naik signifikan dibandingkan 2014, yaitu mencakup 11,6 juta pekerjaan dan PDB sebesar US$ 144,4 miliar.