Efek The Fed Surut, BI Berpeluang Turunkan Bunga Acuan BI Rate
Kamis (16/6) siang ini, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil rapat Dewan Gubernur BI mengenai suku bunga acuan BI rate. Para ekonom memperkirakan bank sentral berpeluang menurunkan suku bunga acuan berdasarkan pertimbangan faktor di luar negeri dan ekonomi domestik.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan memperkirakan, BI punya peluang menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,5 persen. Alasannya, pelaku pasar tidak lagi terpaku pada ketidakpastian kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS).
Apalagi, rapat komite pasar terbuka federal atau Federal Open Market Committee (FOMC) yang digelar bank sentral AS (Federal Reserve), Kamis dini hari tadi, memutuskan menahan suku bunga acuan Fed rate di kisaran 0,25 persen-0,5 persen. Keputusan itu akan menopang kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Minimal dia (BI) tes pasar dengan cut (BI Rate) di Juni,” kata Anton. Setelah itu, BI masih dapat melihat dampak rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) terhadap pasar keuangan global dan di dalam negeri.
(Baca: Terbebani Utang Jumbo, Cina Berpotensi Krisis Nilai Tukar)
Menurut Anton, efek Brexit memang tidak secara langsung terasa terhadap Indonesia lantaran porsi dagang dengan Inggris masih kecil.
Tetapi, jika Inggris merealisasikan rencana tersebut, tentu akan berpengaruh terhadap penguatan dolar AS, yang efek lanjutannya melemahkan rupiah. Faktor inilah yang masih perlu diwaspadai oleh BI ke depan.
Head of Corporate Strategy & Research Bahana Sekuritas Harry Su juga meyakini BI berpeluang menurunkan BI rate sebanyak dua kali dengan besaran 50 basis poin dalam waktu dekat ini. Alasannya, kondisi ekonomi domestik, seperti inflasi yang terkendali, semestinya tak lagi menjadi hambatan untuk menurunkan BI rate. Risiko kenaikan Fed rate juga semakin berkurang lantaran kebijakan itu kemungkinan baru direalisasikan Desember mendatang.
(Baca: Bunga Acuan Baru Efektif, BI Siap Longgarkan Kebijakan Moneter)
Harry juga melihat pelonggaran kebijakan moneter dengan memangkas suku bunga dalam waktu dekat ini menjadi penting, untuki mengantisipasi risiko perlambatan ekonomi Cina. Beban utang yang kian membengkak menyebabkan peluang terjadinya krisis nilai tukar di Cina semakin besar. Jika bank sentral AS menaikkan Fed rate, maka dana asing berpotensi keluar (capital outflow) dari Cina.
Ia menyebut, beban utang Cina sebesar 237 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. “Risiko debt bubble (Cina) yang kemungkinan bisa terjadi cukup cepat, saya rasa sebaiknya (penurunan BI rate) dilakukan sebelum itu,” kata Harry. Dengan begitu, bank sentral punya amunisi lagi untuk menaikkan BI rate jika diperlukan untuk menjaga nilai tukar rupiah.
Sebaliknya, Ekonom Group Research DBS Bank, Gundy Cahyadi, memperkirakan bank sentral masih akan mempertahankan BI rate.
Alasannya, masih ada ketidakpastian terkait suku bunga AS hingga akhir tahun nanti. Selain itu, pemotongan BI rate selama ini tidak berdampak signifikan terhadap penurunan bunga pinjaman dan kenaikan penyaluran kredit.
(Baca: Rupiah Anjlok 1,4 Persen, BI Pertahankan Dua Suku Bunga Acuan)
Di sisi lain, Anton melihat, kebijakan pelonggaran moneter lain yang dapat dilakukan BI adalah merevisi aturan rasio kredit terhadap nilai agunan (Loan to Value/LTV) dan rasio kredit terhadap pendanaan (Loan to Funding Rasio/LFR). Dengan menurunkan syarat batasan uang muka pinjaman, maka BI dapat mendorong kenaikan permintaan kredit perbankan.
Sementara itu, kebijakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 1,5 persen pada kuartal I lalu ternyata tidak mampu mendorong permintaan kredit. Sebab, penyesuaian GWM tidak signifikan menurunkan suku bunga jangka pendek yang langsung berpengaruh terhadap penurunan bunga deposito.
Pangkal soalnya adalah BI rate mencerminkan suku bunga bertenor setahun, sehingga tidak cepat mempengaruhi bunga perbankan. Karena itulah, BI mengubah acuan kebijakannya dari BI rate menjadi BI 7-Days Repo Rate mulai medio Agustus mendatang.