Terbebani Utang Jumbo, Cina Berpotensi Krisis Nilai Tukar
Sejumlah ekonom menghawatirkan dampak utang Cina pada kuartal pertama 2016 yang mencapai 237 persen. Tingkat utang yang tinggi berpeluang besar memicu terjadi krisis atau memperpanjang perlambatan ekonomi Negeri Panda itu.
Ekonom Daiwa Capital Markets Hongkong Kevin Lai, misalnya, memprediksi peluang Cina mengalami krisis nilai tukar sebesar 30 persen berdasarkan posisi utang tersebut. Tingginya utang menunjukan risiko keuangan negara tersebut juga meningkat. Dampak selanjutnya, mata uang yuan akan terpukul.
Apalagi mata uang ini masih menghadapi kenaikan suku bunga Amerika Serikat atau Fed Rate. Bila bank sentral Amerika (The Fed) jadi menaikkan suku bunga acuannya, kata Kevin, hampir bisa dipastikan dapat menekan penguatan yuan. (Baca: Perlambatan Cina Memukul Tiga Bagian Perekonomian Indonesia).
Lebih jauh lagi, kondisi tersebut bisa memicu keluarnya dana asing dalam jumlah besar. Maka mau tak mau pemerintah Cina harus menggunakan cadangan devisa (cadev) yang saat ini berada di posisi US$ 3,21 triliun per Maret 2016. Lebih disayangkan lagi, kata Kevin, 30 persen dari nilai cadev tersebut senilai beban utang Cina. (Baca: Dalam Waktu Dekat, Cina Sulit Capai Pertumbuhan 7 Persen)
Kami melihat potensi terjadi krisis mata uang di Cina. Tingginya utang juga membuat perlambatan ekonomi berlanjut,” kata Kevin dalam diskusi bertajuk ‘Understanding China Risks’ di Graha Niaga, Jakarta, Selasa, 14 Juni 2016.
Pandangan serupa disampaikan Yoga Affandi. Secara lebih detail, Kepala Grup Riset Ekonomi Direktorat Kebijakan Ekonomi Bank Indonesia ini menyatakan banyak masyarakat di sana memanfaatkan shadow banking atau peminjaman melalui internet, lantaran bunga yang ditawarkan perbankan Cina relatif tinggi.
Sikap masyarakat yang berimbas pada kenaikan utang dalam jumlah besar ini pun dikhawatirkan berdampak buruk terhadap yuan. Efek berantainya akan berpengaruh terhadap mata uang negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market) lainnya, termasuk rupiah. (Lihat pula: Indonesia Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Asia).
Untungnya, ia memandang dampak tersebut terhadap Indonesia tidak begitu besar. Sejauh ini, berdasarkan kajiannya, perekonomian Amerika Serikat lebih berpengaruh terhadap kanal finansial Indonesia. Ketidakpastian kenaikan Fed Rate, misalnya, selalu berpengaruh terhadap gejolak nilai tukar rupiah. Meski begitu, kondisi ekonomi Cina ini masih harus diwaspadai terhadap Indonesia.
Dampaknya lebih banyak dari Amerika. Tetapi ini kan data yang dikaji ketika ekonomi Cina stabil, yakni 2009-2013. Jadi tetap harus diwaspadai,” kata Yoga.
Akan tetapi, dia mengingatkan pula bahwa kenaikan utang Cina juga berdampak pada perlambatan ekonomi yang berkepanjangan. Pada akhirnya akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. (Baca: Darmin Minta Cina Bantu Atasi Defisit Dagang Indonesia)
Hasil kajian BI mencatat, jika ekonomi Cina melambat selama setahun maka perekonomian Indonesia bisa menurun 0,52 persen. Lalu jika melambat hingga dua tahun, maka ekonomi Tanah Air bisa terkontraksi 0,75 persen. Dan bisa terkikis 0,84 persen, jika ekonomi Cina melambat selama tiga tahun.