Meski Bunga Rendah, Pengusaha Tak Minat Berutang ke Bank
Harapan Bank Indonesia (BI) memangkas secara agresif suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate untuk memacu penyaluran kredit, tampaknya masih sulit terwujud. Para pengusaha yang berhimpun di dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) belum berminat meminjam uang ke bank untuk ekspansi usaha. Alasannya, permintaan pasar belum pulih.
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani memperkirakan, pelaku usaha baru akan melakukan ekspansi usaha pada kuartal kedua tahun depan. “(Sekarang) mau pinjam tidak begitu berminat, karena pasar turun, ekspansi usaha direm, maka penyaluran kredit juga turun,” katanya kepada Katadata, Jumat (21/10).
(Baca juga: Ekonomi Lambat, OJK Revisi Pertumbuhan Kredit Jadi 7 Persen)
Meski begitu, Hariyadi tetap menyambut positif langkah BI menurunkan suku bunga acuan. Dengan begitu, tingkat bunga kredit akan semakin menarik. Seperti diketahui, dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 Oktober lalu, BI menurunkan BI 7-Day Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75 persen.
Namun, untuk mendorong dunia usaha, Hariyadi berpendapat, kuncinya terletak pada pemerintah. “Harus didorong betul kebijakan-kebijakan untuk menggerakkan sektor riil,” katanya. Contohnya, kebijakan pembelian minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk campuran solar. Jika dijalankan, kebijakan itu akan mengangkat harga CPO dan mengerek pendapatan petani.
Selain itu, kebijakan menekan impor dan mendorong ekspor. Menurut dia, substitusi impor harus didorong agar pasar domestik berkembang. Sebaliknya, ekspor beragam produk perlu didorong, contohnya ekspor ikan. “Potensinya banyak. Kalau Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) ambil kebijakan yang positif, bangkit industri,” kata Hariyadi.
Sebelumnya, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga mengatakan, dalam kondisi perlambatan ekonomi seperti saat ini dibutuhkan lebih dari sekadar kebijakan moneter. Sebab, pangkal masalahnya adalah perlambatan ekonomi telah mengakibatkan permintaan masyarakat berkurang dan ujungnya menurunkan keuntungan bisnis.
Dalam kondisi seperti ini, bank lebih selektif menyalurkan kredit agar kredit bermasalah tidak membengkak. Di sisi lain, korporasi menahan ekspansi. Tak ayal penyaluran kredit melambat. (Baca juga: Kredit Masih Lemah, Pemerintah Didorong Turun Tangan)
“Dalam kondisi siklus bisnis seperti ini yang bukan business as ussual, menurut saya pelonggaran kebijakan moneter perlu dikombinasikan dengan kebijakan lain yang sebenarnya akan krusial mendorong kembali pemulihan sisi permintaan perekonomian,” kata Josua.
Langkah yang paling benar, menurut dia, pemerintah harus menjaga inflasi agar daya beli masyarakat tidak semakin terpuruk. Selain itu, pemerintah harus memperluas kesempatan kerja melalui proyek infrastruktur dan program padat karya. Lebih lanjut, pemerintah juga perlu memperlonggar fiskal untuk meningkatkan aktivitas ekonomi.
“Tapi untuk kondisi saat ini, pemerintah perlu memastikan optimalisasi penerimaan pajak sehingga ruang pelonggaran kebijakan fiskal dapat diimplementasikan,” kata Josua. Jika tidak, belanja pemerintah harus terus dipangkas untuk menutupi kekurangan penerimaan negara. Alhasil, kemampuan pemerintah menggenjot ekonomi menjadi terbatas.
Hal senada disampaikan Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual. Menurutnya, perlu kebijakan-kebijakan pemerintah guna mengangkat permintaan. “Kebijakan moneter tak selalu alat efektif dorong perekonomian. Perlu ada kebijakan lain, kebijakan di bidang perdagangan, kebijakan fiskal,” katanya.
Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo juga tidak yakin penurunan suku bunga acuan bakal berpengaruh banyak terhadap perekonomian tahun ini. “Tahun ini, penurunan (suku bunga acuan) itu sebenarnya ingin mendorong optimisme usaha lebih lanjut ke depan,” ujarnya.
Dengan begitu, BI berharap investasi swasta akan meningkat tahun depan. Saat ini, ia mencatat, kapasitas produksi perusahaan masih berkisar 76 persen. Padahal, pada saat ekonomi kuat, kapasitas produksi biasanya melebihi 80 persen.
(Baca juga: BI: Pertumbuhan Ekonomi di Batas Bawah)
BI meyakini pelonggaran moneter ini akan mendorong ekonomi tumbuh hingga 5,2 persen tahun depan. Perekonomian juga bakal terbantu oleh masuknya dana repatriasi milik peserta pengampunan pajak (tax amnesty). Adapun tahun ini, Perry tak begitu yakin pengaruh pelonggaran moneter akan terasa. Apalagi pemerintah sudah memangkas anggaran belanja dua kali, yakni Rp 50 triliun dan Rp 133 triliun tahun ini.
Sekadar catatan, pertumbuhan kredit hingga Agustus lalu cuma sekitar 6,8 persen secara tahunan (year on year). Melihat perkembangan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun memangkas proyeksi pertumbuhan kredit dari semula 10 - 12 persen, menjadi 6-8 persen tahun ini.
Sementara itu, perekonomian di kuartal III diprediksi lebih lambat dari perkiraan, yaitu cuma sekitar 4,9-5 persen. Alhasil, menurut prediksi BI, pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun ini bakal mendekati batas bawah kisaran 4,9-5,3 persen.