Menteri Susi Protes Kuota Tuna Indonesia di Bawah Taiwan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memprotes batas maksimal penangkapan tuna yang ditetapkan oleh Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT). Apalagi, batasan atau kuota untuk Indonesia cuma sebesar 1.002 ton, bahkan lebih kecil dibandingkan Taiwan sebanyak 1.240 ton --yang wilayah lautnya tak seluas Indonesia.
"Kenapa kuota tuna Indonesia sedikit? Taiwan ketiga terbesar. Kenapa organisasi internasional membiarkan ini? Bagaimana bisa?" ujar Susi saat berbicara di forum World Ocean Summit di Nusa Dua, Bali, Jumat (24/2). (Baca: Tuna Indonesia Terancam Punah dalam 3-10 Tahun)
Dalam daftar kuota yang dikeluarkan CCSBT, Indonesia menempati peringkat kelima di bawah Jepang dan Australia dengan kuota masing-masing 6.165 ton. Sedangkan peringkat ketiga dan keempat ditempati Taiwan dan Selandia Baru masing-masing 1.088 ton.
Kuota itu berlaku untuk periode penangkapan tahun 2018-2020. Adapun, penetapan kuota tersebut bertujuan menjaga populasi tuna dari ancaman kepunahan akibat penangkapan berlebihan.
Namun, menurut Susi, penetapan kuota tersebut tidak adil, mengingat Indonesia merupakan pemilik sumber daya terbesar. Oleh sebab itu, ia berjanji akan memperjuangkan penambahan kuota. “Kita yang punya sumber daya, kita akan terus berjuang di organisasi internasional," ujarnya. (Motion: Tuna Indonesia di Ambang Kepunahan)
Selain perbandingan luas wilayah, Susi menganggap kuota yang diberikan tidak masuk akal karena selama ini Indonesia sudah menunjukkan komitmen dan tindakan untuk memerangi pencurian ikan atau illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF). Sejumlah tindakan tegas yang diambil antara lain penenggelaman kapal ilegal.
Di samping pemberantasan IUUF, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menerapkan kebijakan moratorium penangkapan ikan oleh kapal eks asing. Selama moratorium, yang berlangsung sejak 2015, populasi ikan di perairan Indonesia meningkat karena ada periode untuk bereproduksi. “Kami konsisten menjaga stok ikan,” ujar Susi.
Sebelumnya, di forum yang sama, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan pentingnya penegakan hukum untuk mendukung pengelolaan laut yang berkelanjutan. Penegakan hukum itu ditunjukkan pemerintah selama ini melalui sikap tegas terhadap penyimpangan di sektor perikanan. Harapannya, kelestarian laut dapat terjaga, termasuk kelangsungan tuna.
Tuna merupakan merupakan komoditas unggulan perikanan Indonesia. Dengan nilai kontribusi mencapai Rp 6,5 triliun pada 2015, tuna menyumbang nilai ekspor terbesar setelah udang. Selain menjadi sumber pendapatan negara, tuna merupakan sumber pencarian jutaan nelayan di Tanah Air.
(Baca: Soroti Kebijakan Susi, Luhut: Masak Moratorium Bertahun-Tahun)
Adapun World Ocean Summit merupakan konferensi dua tahunan yang dihadiri para diplomat, pemerhati lingkungan hidup, organisasi nonpemerintahan, dan para pemangku kepentingan sektor kelautan dari seluruh dunia. Selain Wapres Kalla dan Menteri Susi, pejabat Indonesia yang hadir di acara tersebut antara lain Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan
Laporan dan Penulis: Jeany Hartriani (Nusa Dua)