Mencuri Kejernihan di Masela
KATADATA - Di tengah silang-sengkarut isu Blok Masela, perlu rasanya kita meminjam istilah “Mencuri Kejernihan”, yang pernah dipopulerkan pemandu talkshow kondang Wimar Witoelar. Saking peliknya, rapat terbatas kabinet pada 1 Februari lalu tak berhasil melahirkan keputusan.
Perbedaan pendapat rupanya cukup tajam dalam pemilihan opsi terbaik untuk pengembangan Blok Masela. Menko Maritim Rizal Ramli bahkan sempat cekcok (lagi) dengan Menteri ESDM Sudirman Said lantaran soal ini.
Sudirman yang didukung oleh Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, sepakat dengan usulan kontraktor Inpex dan Shell bahwa pengolahan gas alam cair yang menggunakan kapal terapung (Floating LNG) merupakan opsi terbaik.
Rizal sebaliknya. Konsep kilang darat (Onshore LNG) dengan mengalirkan gas ke pulau Tanimbar atau Aru lah yang dianggapnya paling cocok. Alasannya, ada efek berganda bagi masyarakat Maluku, seperti pengembangan industri petrokimia.
Berbagai kajian telah dihasilkan. Yang terakhir, laporan Poten & Partners. Konsultan asal Inggris dengan rekam jejak lebih dari 75 tahun ini ditunjuk SKK Migas untuk melakukan studi independen. Pemerintah belum membuka laporan ini. Namun, dari sejumlah informasi yang diperoleh penulis, kesimpulan Poten menguatkan opsi terapung.
Ada sejumlah aspek yang membuat opsi LNG Laut lebih meyakinkan . Pertama, aspek finansial. Menurut Inpex dan perhitungan lainnya, dengan opsi terapung negara bisa meraup pendapatan $52-57 miliar. Sedangkan LNG Darat hanya $43-48 miliar. Terpaut $9 miliar (hampir Rp 120 triliun) untuk rentang produksi 22-24 tahun.
Perbedaan ini disebabkan oleh belanja modal dan operasional yang lebih tinggi pada LNG Darat. Menurut Inpex, belanja modal LNG Laut hanya $14,8 miliar. Sementara LNG Darat, yang mengharuskan pembuatan pipa 200 km ke Tanimbar, mencapai $19,3 miliar. Apalagi jika ditarik hingga Aru yang berjarak 600 km, biaya melesat menjadi $22,3 miliar.
Mahalnya biaya LNG Darat, dipicu oleh tingginya tingkat kesulitan pengelolaan Blok Masela. Selain terletak di laut dalam dan area terpencil, komposisi gasnya mengandung lilin dan berkadar CO2 tinggi. Itu sebabnya, tetap diperlukan fasilitas lepas pantai atau floating production storage offloading (FPSO).
Ini membuat selisih belanja modal LNG Laut dan Darat cukup lebar, yakni $4,5-7,5 miliar atau Rp 60-100 triliun! Dampaknya, beban cost recovery alias penggantian biaya eksplorasi kepada pihak kontraktor bakal membengkak. Padahal, jika tak ada tambahan biaya itu, 60 persen dana tersebut akan menjadi jatah penerimaan negara.
Meski begitu, kalkulasi tim Kantor Staf Presiden yang diperoleh Katadata punya angka berbeda, bahkan berkebalikan dengan versi Inpex. Menurut kajian KSP, belanja modal LNG Laut justru lebih mahal, yakni $ 18,2 miliar, sedangkan LNG Darat hanya $12,9 miliar.
Perbedaan ini, menurut kajian KSP, dikarenakan Inpex mematok belanja modal LNG Laut yang kelewat murah, sedangkan biaya LNG Darat justru kemahalan. Untuk menengahi perbedaan ini, hasil studi independen Poten penting dijadikan rujukan.
Kedua, aspek waktu. Masa konstruksi LNG Laut direncanakan dimulai pada 2019 dan beroperasi pada 2024. Sementara, konstruksi LNG Darat baru pada 2021 dan beroperasi pada 2026, berhubung lahan yang harus dibebaskan mencapai 600-800 hektare.
Belum lagi risiko molor, seperti dialami ExxonMobil di Blok Cepu. Proses akuisisi lahan terhambat, karena tanah-tanah di sana sudah diborong para makelar, yang membuat harganya melambung. Dengan kebutuhan lahan yang hanya 40-60 hektare, LNG Laut jelas lebih tidak berisiko. Apalagi ancaman krisis energi sudah di depan mata.
Ketiga, aspek nilai tambah. Ide membangun industri petrokimia, tampaknya tidak cukup tepat. Karakteristik Lapangan Abadi dan lokasi Blok Masela yang terpencil, membuat harga pasokan gas untuk industri petrokimia menjadi mahal.
Sebaliknya, LNG Laut memberi peluang bagi Indonesia untuk membangun industri galangan nasional—meniru sukses Korea dan Jepang—sejalan dengan visi maritim pemerintahan Jokowi. Nilai plus lainnya, tambahan keahlian dalam penguasaan teknologi LNG Laut diperlukan untuk eksplorasi migas ke depan, khususnya di kawasan timur Indonesia, yang rata-rata di laut dalam.
Keempat, tentu saja perlu dipertimbangkan aspek tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) bagi kontraktor. Menjadi persoalan jika LNG Darat menghasilkan IRR yang jauh lebih rendah, sehingga dianggap tak layak investasi.
Kajian Poten mengindikasikan ini. Untuk menutup gap itu, pemerintah harus memberikan insentif fiskal berupa tax holiday atau porsi bagi hasil yang lebih tinggi kepada kontraktor. Ujung-ujungnya, penerimaan negara tergerus.
Masela adalah salah satu dari empat rencana pengembangan blok migas—selain IDD Chevron,Train 3 Tangguh, dan Muara Bakau—dengan total investasi $43 miliar atau lebih dari Rp 560 triliun! Bandingkan dengan penanaman modal langsung ke Indonesia sepanjang 2014 yang hanya $28,5 miliar.
Di tengah anjloknya harga minyak yang membuat animo eksplorasi migas di seluruh dunia loyo, Masela sebuah kesempatan emas yang tak boleh disia-siakan. Kejernihan berpikir dan langkah tepat pemerintah dinantikan.
*) Tulisan ini dipublikasikan di Koran Tempo, 10 Februari 2016
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.